Showing posts with label around me. Show all posts
Showing posts with label around me. Show all posts

Tuesday, December 23, 2008

Sabtu sore yang mendung....

Di tengah lapangan SD di pingggir desa, sekumpulan anak sedang bermain kasti. Matahari sudah hampir jatuh di garis cakrawala, tapi permainan sedang seru-serunya. Kelompok pemukul bola hampir meloloskan semua pelarinya. Pitik si pemukul terakhir memukul keras, tepat mengarah ke tangkapan Bayu.Bayu memegang bolanya, tapi tiba-tiba terpaku. Penonton berteriak-teriak untuk dia melakukan sesuatu.

“Yu! Lempar ke sini cepat!!”, teriak Wawan yang menghadang di dekat penclokan terakhir.
Tapi Bayu masih membeku.
Teman sekelompoknya ribut berseru. Pemain lawan sudah berlari dan menyentuh empat tongkat yang ditancapkan di sudut-sudut lapangan.
Satu…
Dua…
Tiga…

Empat pelari sudah masuk ke garis rumah. Tinggal Pitik yang masih kurang satu penclokan lagi.
“Bayu! Jangan ngalamun! Bolanya-bolanya-bolanya…!!!” teman-temannya mulai marah.
Bayu tergagap. Dilemparnya bola ke arah Wawan yang menangkap dengan sigap dan siap menghadang Pitik.

Bayu tidak menghiraukan lagi bolanya, tidak peduli teman-temannya, tidak menggubris permainannya. Sekuat tenaga dia berlari meninggalkan lapangan menuju rumahnya. Meninggalkan Wawan yang terbengong-bengong. Meninggalkan Pitik yang berlari terus melewati garis.

Semua pemain kelompok Pitik sudah masuk garis, bersorak berjingkrak memenangkan satu putaran. Bola masih di tangan Wawan, yang terdiam bersama kelompoknya yang sedang berjaga. Dibantingnya bola ke tanah, tanpa ampun. “Sialan Bayu!. Cah edan! Kenapa sih anak itu?”

***

Bayu terus berlari seperti kesetanan. Membelok di dua tikungan, melewati jembatan, membuyarkan sekumpulan ayam yang sedang mencari makan. Membiarkan Mbah Tumi berteriak, “Le… Yu! Ada apa kamu kok lari kaya gitu…?”

Bapak datang, aku harus pulang. Bapak datang, aku harus pulang. Bapak datang, aku Harus pulang.

Hanya itu yang terus diucapkannya dalam hati dan kepalanya. Langkahnya melambat ketika memasuki gang depan rumahnya, semakin lambat di depan pintu masuk pekarangannya, dan berhenti dua meter di depan pintu rumahnya.

Sesaat dia terdiam, memandang ke dalam. Sepi.

Perlahan langkahnya memasuki bagian depan rumah yang luas dan lengang. Kakinya terus mengayun pelan menuju ruang makan yang tak beda senyapnya. Penuh ragu dibukanya pintu kamar barat yang nyaris tak pernah dibuka.

Gelap. Pengap. Dan tidak ada siapa-siapa. Tidak ada suara, hanya nafasnya sendiri yang sedikit tersengal setelah berlari pulang dari lapangan.

Bayu berbalik dan berjalan menuju dapur. Mbah Putri sedang membetulkan letak kayu dan meniup api di tungku.

“Mbah…”, panggilnya pelan. Tapi tak urung membuat Mbahnya terkejut.“Hey, Le… Mbah ngga denger kamu masuk. Kamu kenapa, kok menggeh-menggeh gitu?”

Bayu mendekat dan jongkok di samping Mbah Putri.

“Bapak mana, Mbah?”

Mbah Putri meletakkan kayu, mengusapkan kedua tangannya ke kainnya yang sudah bertabur abu, lalu membelai rambut cucunya penuh kasih.

“Bapakmu masih di Lombok, Le…”“Tapi tadi aku merasa Bapak datang. Aku merasa Bapak sudah di rumah, dan membawakan aku oleh-oleh banyak…”

Mbah Putri merengkuh Bayu ke dalam peluknya.

“Belum, Le. Bapakmu belum pulang”

Bayu meringkuk. Air matanya mulai mengalir di kedua pipinya.

“Kapan Bapak pulang, Mbah?”
“Tiga bulan lagi, tiga bulan lagi. Sabar ya Le, cah bagus..”
“Aku kangen Bapak Mbah..”
“Aku tahu Le. Tapi Bapakmu harus cari uang di sana. Sabarlah, tiga bulan lagi dia akan datang, membawakanmu oleh-oleh, banyak…”

Bayu terisak. Bahunya berguncang.

“Kamu mau baca lagi surat Bapakmu?”

Bayu menggeleng, lalu bangun dan berjalan menuju kamarnya.
Dipandanginya potret yang selalu berdiri di meja belajarnya. Bapak, Ibu, dia. Setelah menikah, kedua orang tuanya merantau ke Lombok. Dia masih sempat tinggal bersama mereka di sana beberapa masa. Tapi sejak TK, dia ditinggal di desa, menemani Mbah Putri yang sendiri. Bapak dan Ibu hanya pulang dua kali setahun.

Dua tahun terakhir, hanya Bapak yang pulang setiap enam bulan, Ibu sudah meninggal karena kanker payudara. Dua tahun terakhir, hanya Bapaknya yang dinanti-nantikannya.
Diingatnya lagi, memang baru tiga bulan yang lalu Bapak pulang. Jadi Mbah Putri benar, dia harus menunggu tiga bulan lagi.

Ayat-ayat suci Al-Qur’an terdengar dilantunkan dari masjid di belakang rumah. Sebentar lagi maghrib. Bayu meletakkan foto itu, dan beranjak untuk mandi lalu pergi ke masjid. Dia akan memohon kepada Allah untuk kesehatan Bapak, agar dia bisa bertemu dengannya, tiga bulan lagi…
Berbagi Read more!

Friday, December 12, 2008

Anak kecil itu...

Aku baru pulang kerja dan ada latihan jam lima. Sore ini aku sedang tidak ingin naik bis Damri yang biasa lewat di depan kantorku. Aku memilih naik angkot, sedikit berjalan kaki, berbecek-becek melewati segerombolan pekerja proyek pembangunan sebuah gedung raksasa. Katanya mal. Oh please, dulu jalan tempat kantorku berada ditetapkan sebagai kawasan perkantoran dan sekolahan. Sekarang mal bermunculan…

Angkot yang kutumpangi kosong, hanya ada aku yang baru saja naik dan meletakkan ransel di sebelahku. Aku sudah bersiap-siap untuk bersabar menunggu angkot itu mendapat satu dua penumpang lagi, tapi ternyata supirnya langsung menyalakan mesin dan menjalankan mobilnya. Tadinya aku tidak terlalu memperhatikan angkot ini ataupun supirnya. Memang tidak ada yang istimewa yang bisa membuat aku mengingatnya. Misalnya ada stiker dengan kata-kata lucu atau saru. Atau mungkin jok yang warnanya ngejreng. Atau supir yang ganteng… ahem!

ian.JPG

Tapi ketika melihat anak kecil itu, bocah umur antara dua-tiga tahun, yang duduk di bangku depan… Dia bertelekan tangan di jendela, memandang lepas ke jalanan sambil sesekali menguap. Aku duduk di bangku sisi kanan tepat di belakang supir, dan aku bisa melihat wajah polosnya dari kaca spion kiri.

Aku jadi ingat aku pernah menumpang angkot ini. Waktu itu, ada anak kecil ingusan ini, bersama ibunya. Perempuan itu masih cukup muda, kutebak usianya belum lebih dari 25. kulitnya gelap tapi bersih, badannya langsing cenderung kurus, rambutnya hitam lurus panjang melampaui bahunya. Hidungnya mancung sedikit naik, sempurna. Mulanya kukira dia penumpang biasa seperti aku, tapi setelah beberapa menit aku tahu bahwa mereka adalah anak dan istri si supir. Bocah itu, waktu itu, rewel bukan main. Merengek minta ini itu. Aku dibuat terpana dengan kata-kata yang keluar dari mulut ibunya, “Diam, atau aku hajar kamu!”. Anak itu menangis makin keras. Sang ibu lantas menjewer, mencubit, membekap mulutnya dengan gemas. Tidak berhasil. Anak itu tidak mau diam. Dia lantas menggelayut di leher supir yang ternyata adalah ayahnya. Sang ayah pun tidak mengacuhkannya, sibuk melambai-lambai ke luar, memanggil calon penumpang.

Sampai saat aku turun, anak itu masih menangis. Kuserahkan tiga ribu rupiah kepada ayahnya, dan kugenggamkan lima ribu rupiah ke tangan si bocah, “Ssst… diamlah. Nanti ajak ibu beli es krim ya…”

Dia diam waktu aku turun. Entah jadi beli es krim atau tidak.

Dan sore ini, dia sendiri. Sepertinya bosan melihat jalanan. Lalu dia merosot di tempat duduknya, dan mulai merengek. Seperti sebelumnya, ayahnya lebih konsentrasi ke jalanan mencari penumpang. Setelah beberapa saat dicueki, dia diam sendiri. Lalu berdiri bersandar sambil melihat lurus ke depan.

Kucolek pundaknya.
“Hai… kamu ganteng kalo ngga nangis”
Dia menoleh padaku dan tersenyum.
“Siapa namamu?”
“Ian”
“Mana Ibu?”
“Kerja”

Aku keluarkan susu kotak dari tasku, yang sebenarnya kusiapkan untuk kuminum nanti selesai aku latihan.
“Ian mau ini?”
Dia menyambutnya.
“Terima kasih. Tolong bukain sedotannya”, pintanya. Dan kubantu.
Tidak sampai lima menit dia menghabiskannya.
“Pak, habis”, dia lapor ke ayahnya.
“Ya, pinter. Buang”
Dan dilemparkannya ke jalan kotak susu yang sudah kosong itu. Aku hampir berteriak karena dia membuang sampah sembarangan. Tapi untung bisa kutahan. Ian bukan Ibit atau Ar Ir yang selalu ribut mencari tempat sampah kalau mau membuang sesuatu. Mungkin orang tuanya belum mengajarkan itu. Dan aku tidak berhak memprotesnya.

Aku sudah sampai ke tujuanku, hanya ada satu penumpang lain yang naik sesaat sebelum aku turun. Kuberikan tiga ribu kepada pak supir. Dan kulihat Ian yang ternyata tertidur di bangku depan…

“Da Ian…”, bisikku.

Aku tidak tahu kapan ketemu Ian lagi. Bocah kecil yang terpaksa ikut menyusuri jalanan bersama ayahnya. Atau harus bertahan dengan ibunya yang cantik tapi keras sekali masa. Tapi mulai sekarang, aku menyimpan sebuah mainan mobil-mobilan di ranselku, untuk Ian, kalau nanti kami ketemu…

*sebenarnya ada foto close up si ganteng ian, tapi tidak berani pasang, belum minta ijin ke ybs atau ortunya...*

Read more!