Saturday, November 15, 2008

"Aku bisa", jawabku.

Kulirik jam tanganku, pukul 15.57.

“Kamu di mana sekarang?”, tanya dia lagi.

“Masih di kantor”

“Kelasnya jam lima lho, keburu?”

“Insya Allah”

“Ok, jam lima ya. Tolong, soalnya aku bener-bener ngga bisa berangkat”

“Iya, aku berangkat sekarang juga”

Kumatikan komputer dan berbenah untuk pulang. Kalau aku cepat mungkin aku masih bisa naik bis.

“Lho, Di, mau ke mana?”, boss-ku yang melihat aku siap-siap pulang seperti tidak rela.

“Pulang, Pak”

“Itu bahan buat hari Kamis lho, jangan sampai ngga siap”

“Ini masih hari Selasa, Pak, santai saja. Saya ada perlu penting nih. Besok saya akan selesaikan, kalau perlu sampai lembur”

Punya bawahan ndableg sepertiku harus sabar, dan percaya. Untung atasanku sedang lega hatinya, dan dia cuma bisa bilang, “Terserah…”

***

Aku belum membawa kostum dan sepatu. Kalau naik bis, mampir ke kos… biar naik ojek juga sepertinya tidak akan keburu. Akhirnya kulambaikan tangan pada taksi pertama yang lewat di depanku.

“Ke atas, Pak. Ngebut”

Dan si supir benar-benar ngebut.

***

Jam lima kurang lima menit aku sampai di depan sanggar, argometer menunjukkan angka 47.800. Kuulurkan selembar lima puluh ribuan, “Ambil aja kembaliannya, Pak. Makasih”. Lalu setengah berlari aku menuju pintu sanggar yang setengah terbuka.

Sanggar sudah penuh. Beberapa member bahkan sudah berdiri mencari tempat. Aku bergegas menuju pojok ruangan tempat CD playernya. Tapi seseorang sedang jongkok di sana menyiapkan musik, dan sudah memakai baju senam. Itu… Tammy.

“Hai, Tam!”

Yang kusapa mendongak dan tersenyum, “Hai, Di. Oh, kamu datang. Monik bilang kamu tidak bisa, jadi dia memintaku datang. Kamu mau mengajar?”

Aku menggeleng, “Mereka tahunya kamu yang datang mengajar, udah kamu aja”, kuletakkan ransel, dan mulai kubuka jaket dan jeansku.

Aku membaca raut muka merasa tidak enak di wajah Tammy. Beberapa member berbisik-bisik sambil melihat ke arah aku dan Tammy, entah apa yang mereka bicarakan.

“Atau kita paroan yuk, nanti aku berhenti di low, kamu masuk ke high dan pembentukan”

“Ngga usah…. Aku sih kalau mau mengajar nyiapin bahannya satu paket. Kamu pasti juga. Kalau dadakan bawa separo-separo mana bisa sinkron?”, dan bagaimana bayarannya, separo-separo juga?– tambahku dalam hati.

Tammy mengangkat bahu dan menyalakan musiknya, “Yooo….k!!” teriaknya memanggil semua yang ada di ruangan untuk bersiap.

“Yoo…k!!”, teriakku menyahut sambil bertepuk tangan. Menyahut? Pura-pura. Karena sebenarnya aku ingin berteriak, “Kurang ajar kau Monik!”

Dadaku sakit rasanya. Marah, kesal, kecewa. Sebegitunya Monik tidak percaya padaku. Aku sudah bilang aku bisa. Dan aku jungkir balik supaya tidak terlambat. Dan aku naik taksi bayar lima puluh ribu, sementara dia cuma akan memberikan padaku fee-nya yang dua puluh lima ribu. Aku ngga peduli rugi buat menolongnya. Tapi tega banget dia mendatangkan Tammy, tanpa memberitahuku pula…

Aku bergerak mengikuti Tammy sambil menggigit bibirku dan berusaha tersenyum. Terserah, sebut saja aku cengeng, tapi aku memang ingin menangis. Aku sakit hati.

Sepuluh menit kemudian pintu sanggar terbuka pelan, Monik masuk dan berjalan menyusur tembok belakang, meletakkan tas dan melepas jaket, lalu mendekati aku.

“Hai Di, kamu datang jam berapa?”

“Jam lima kurang lima menit, seperti yang kujanjikan”, jawabku sambil terus bergerak, tak peduli Monik yang beberapa kali harus menghindar supaya tidak terkena ayunan tanganku.

“Sorry…”, katanya, “aku kira kamu tidak akan bisa sampai tepat waktu, soalnya pengalamanku sendiri kalau naik bis dari sana tidak akan cukup waktu. Jadi kupikir kalau….”

“UUUUH!!!” aku tidak mendengarkan Monik dan berteriak seolah membakar semangat isi kelas. Monik masih ingin berkata sesuatu, tapi aku tidak peduli. Aku terus melihat ke arah Tammy dan bergerak dengan tenaga yang mungkin bisa merubuhkan Monik.

Monik menyingkir, mengambil tempat di pojok belakang. Aku sempat melirik wajahnya yang gelisah. Peduli setan, aku yang harusnya bermuka tidak enak. Tapi aku terus berusaha tersenyum. Benar-benar tidak lucu bergerak sambil merengut. Aku terus menggigit bibirku, atau berteriak seperti orang gila. Kalau tidak, aku akan benar-benar menangis.

Break sebelum pendinginan Monik mendekatiku lagi, “Di, aku…”

“Sudahlah Mon, minggir. Aku mau senam, jangan ngeribetin”, sergahku. Dan dia mengambil air minum lalu kembali ke belakang.

Begitu selesai, aku langsung mengenakan jeansku dan menyambar ranselku. Aku tidak peduli baju dan badanku yang masih basah oleh keringat. “Tam, makasih ya. Aku pulang dulu. Sudah mau maghrib ini”

“Kamu naik apa, Di? Tunggu sebentar deh, aku antar”

“Alah, ngga usah… di depan banyak ojek. Yuk ya, dah”, aku melambaikan tangan sambil berjalan menjinjing jaketku, “duluan ya…!!” teriakku, yang dibalas lambaian tangan beberapa member yang sudah mengenalku.

Sambil berjalan keluar aku mengenakan jaketku. Monik agak berlari mendekatiku.

“Di, jangan marah ya. Sorry, aku bener-bener minta maaf. Karena Tammy sedang tidak ada kelas, aku pikir lebih baik dia yang gantiin aku. Kosnya cuma lima belas menit dari sini, sedang kamu harus…”

“Aku naik taksi. Dan kamu bisa kira-kira berapa ongkosnya. Mon, biar aku kasih tahu kamu satu hal. Fee sama sekali bukan tujuanku mengajar. Aku sudah cukup dapat uang dari pekerjaanku. Aku bersedia gantiin kamu karena aku sedang bisa bantu kamu, dan siapa tahu suatu saat aku yang butuh bantuan kamu. Tapi kamu ngga percaya banget sama aku. Tega kamu datengin Tammy, tanpa ngasih tahu aku pula”

“Aku…”

“Aku pulang dulu..”, dan kutinggalkan Monik yang tidak mungkin akan menyusulku keluar sanggar dengan hotpants dan sport bra.

Aku pulang berjalan, setengah berlari, dan membiarkan sedikit air mataku mengalir. Dan untuk sementara, kurasa, aku tidak akan menemui Monik. Aku bisa meledak.

Read more!

Friday, November 14, 2008

The stranger I've known

for this week's prompt in suncayscribblings, stranger
and I'm not worried about my bad English :D


***

The second our eyes met, time stopped. And I saw thousands fireworks sparkling, becoming an amazing background to a wonderful sight, as he walked to my direction in a slow motion. “Hi, I am Yusril’, he raised his hand to me.

“Kia”, I gave my hand to welcome his.

In my hart, I was still grumbling to the man who has sent me to this time and place. A Training for Health Database Management.

“But Sir, this is about health” I said.

“Yes, it is about working on health database. But what is required here is ability in using computer. That’s all.”, Mr. Heru tried to convince me.

“I don’t understand computer that much. All I can do is operating some programs”

“Oh that’s fine. We don’t need programmers. The program’s been built. This training is for trainer to work on the programs, which is about health data base management”

Mr. Heru isn’t my direct boss. He is the chief from the next room department, who has asked permission from my boss, to let me join this training, on his advice. Unfortunately, (or fortunately?) my boss said ‘yes’. “I like to see my kids improve themselves,” he said. O yeah, of course.

“Ratna said she wanted to go,” I still tried to find a reason for me not to go. Five days. If only the training would be held in one or two days, I’ll be glad to. But I never left my daughter Tiara, that long.

“O , I knew it. If I asked her, I’m sure she’ll say yes right then. But I prefer you to go. This training is a national level. We bring our institution’s name. There’s no way I will send Ratna”

“What is wrong with Ratna anyway?”

Ah, no need to answer, I already knew. She would be too busy hunting for men than concentrating on the training.

Now look at what’s happening here. This is a training for health database management. But aren’t we supposed to understand the components of the data? The first sessions was to generalize the perceptions of those. Mother’s mortality, baby’s mortality, K1, K4, preg-mom…

The training participants are doctors, nurses, midwives, masters in society health… I’m the only engineer. Along the session, I kept in silence.

“Kia, say something. Come on, what are you thinking?” the moderator of my discussion group tried to dig something from me.

“I’m sorry, sir. I’m trying to figure out some thing. These problems are much too complicated for me. My knowledge about this is just too shallow. This shallow”, I made a space of an inch with my thumb and my point finger, “What is K1? I don’t know what K1, K4 are. What I know is K-225. That’s a concrete mix with the pressure capacity of 225 kilograms per square centimeters”.

No body could hold them selves not to laugh. And they made a nickname for me: K1 engineer.

***

Day two lunch. Yusril was having the dessert for this meal time.

“Why are you using your left hand to eat?” I asked.

The answer sounded like an echo to words in my head.

“I think I am basically left handed. But old people were right hand oriented. The said left hand wasn’t right. So it’s kind of something I was pushed to. I finally write with my right hand, so badly. But I play badminton with my left hand. I do hard things such is hammering, sawing, with left hand too”

“I don’t mind to do thing with left hand, but I think you still should eat using your right hand”

“When there are spoon and fork, I’d hold the spoon with my right hand. But if there only a spoon, it will end up like this”, he showed me a little spoon he was holding.

You don’t have to explain, I already knew.

***

Third day, after visiting the people in the village, which was so tiring because we needed to walk to reach the house of the pregmoms (finally I understood the meaning: pregnant mom), we had to go right back to our class to work on the data we took. So we turned on our notebooks.

I peaked a little to Yusril’s wallpaper. A family photo. Him, a beautiful lady carrying a baby like 10 months old, and a boy of 7 years old who was so proudly showing his plane toy.

“Your family?”

Yusril nodded. I felt strange. I don’t know about this. I waited for a moment, may be some visions of Yusril family will come. But it didn’t happen.

***

Dinner.

I knew he would get some shrimp. ”my favorite”, He showed me the biggest one.

“I know”

“How do you know?”

Ya, how do I know? I just knew it. I knew you like shrimp. And I knew you don’t like football. I knew your shoulder was once wounded when you were playing badminton, that made you had to stop doing that sport. But I don’t know how I knew it all. I knew it, that’s all. I knew everything about you, except your name, which I knew because you mentioned it in our first met.

***

It was almost midnight. I was still watching television in my hotel room. National programs. This hotel doesn’t have Cable TV, I can not watch CNN, AXN, HBO, Cartoon Network…

I grabbed the remote controller and turned it off. I laid down and tried to get some sleep. I was so tired but could not close my eyes. I kept thinking about Yusril. No, its not Yusril I was thinking of. But me, how suddenly I knew everything about him. I really didn’t understand. I was so sure I never met him before.

My cell phone rang. Sindhu.

“Hi honey, still awake?”

“I’m trying to sleep. What about you?”

“Soon. I’m still watching a film. How was the day? Tired?”

“Quite. We did a field trip today”

“Take a rest. I don’t want you to be sick”

“OK”

“Good night Kia, Love you”

“Good night, Sindhu, love you too”

I usually called Sindhu. I didn’t know why I forgot to. The day was so crowded. And my head was full of my can-not –understood thought about Yusril…

***

Last day. A tour. Beach. Nothing I like more than beaches. I love beaches. Especially the clean ones. So I could walk barefoot along the sandy shore. And felt the waves came over and splashed on me. And the cool wind blew my hair. Some times it was too strong I had to struggle to stay standing.

But this time we sat. Afar from the water, under the palm tree. Yusril was sitting beside me, holding a cola can he bought from an old lady who didn’t stop following us

“Kia, I wanted to asked you some questions. But I apologize if it made you feel uncomfortable”

“What is it?”

“Have we ever met?”

“I don’t think so. Why?”

He took a breath, and went on.

“Where did you spend your childhood?”

Malang, you?”

Bandung”, of course, the answer was just another echo in my head.

“So we’re not childhood friends”

“No”

“But why do I feel I’ve known you?”

I looked at him. I looked into his eyes and found confusions as I was feeling.

“Oh really? Why are you feeling that way?”

“Suddenly I know everything about you. I know what you like and what you don’t. I know your habits. I know everything. This kind of… bothering”

I could not say a word.

“Kia, forgive me, but can I see your back?”

“Yus, you know it’s indecent”

“Ya, ya, I know. I’m sorry. Just tell me then. Do you have a scar, there, cut with a knive by your sister when you both were playing cooking?”

Oh my God. What’s happening to us? I drooped. I felt like I’ve known this guy all my life. A stranger I met few days ago.

“Kia. Answer me”

“Do I have to? I believe you already knew it, though I don’t know how”

“Are you experiencing this strange feeling too?”

“Ya”

For a while we didn’t say a thing. Drown in our own thought. Trapped and mixed up in confusions

“Kia”

“Ya?”

“I wanted to tell you this, but I was afraid I might upset you”

“Just say it. I think whatever you wanted to say, is already stick in my head”

“I don’t know why I feel I’ve known you, to the details. And this is so confusing. I mean, we really never met before, did we?”

“I don’t thing you know me to all details”

“What do you mean?”

“I know your knowledge about me stop at a point of time. You don’t know anything about my husband, my daughter, my marriage. You know nothing about my life after I got married”

“Is that what you…” he didn’t continue his sentence, he didn’t need to.

“What’s happening, Yus?”

“I don’t know. I don’t know. What confused me most, and made me so not comfortable at the same time, is, the feeling that, I don’t know when, some time in our past, you are… my wife”

I stared at him. I never thought he would be able to say that.

“I only got married once. With Sindhu, my present husband”

“I know. I also got married once, with Dewi, my present wife. I just don’t understand. I… I….”

Suddenly my tears fell down my face. I didn’t know what tears were those. A huge happiness filled my heart. A happiness cause I felt like I’ve found some one I’ve been waiting for, for hundred years. Hundred years…. Oh I’m 27 and I felt a longing paid off after hundred years! But at the same time I felt pain. This guy was surely nobody. He was just a guy who came to me few days ago, raised his hand and said his name.

I laid my head on his chest. Closed my eyes. But I didn’t sleep. I could feel him kissing my hair. May be he thought I was sleeping. Or he knew I wasn’t so he did that? I didn’t care. I only wanted to stay in that moment, a moment I didn’t know if I will ever have a chance to find again or not.

I’ll go home and back to Sindhu tomorrow, and may be I’ll just forget all this weirdness. Or I'll keep thousands questions stay in my head.

Read more!

Wednesday, November 12, 2008

08.45 dan message sent….

dan delivered.
tapi tidak ada balasan. aku menunggu. sejam…. dua jam…
aku ingin menelepon. tapi sms pun tidak dijawab, apalagi telepon?
dial. calling. dan tidak diangkat.
….
3 jam… 4 jam… seharian.
begitu sibuknya kah kamu, mas? aku ingin mengajakmu makan siang. aku ingin wadul, ada orang yang menyebalkan. aku ingin cerita, ada hal yang menyenangkan.
….
hari ini sepi, kamu sama sekali tidak bisa dihubungi.
….
15.30 dan aku harus pulang. aku ada kelas jam 17.00 aku tidak ingin terlambat dan membuat kelasku menunggu.
‘aku pulang duluan ya…’ dan message sent, dan delivered. tapi tetap belum ada jawaban.
….
20.00 dan aku terkapar. sudah kutumpahkan jenuh dan kesalku, dengan meluapkan energiku, bergerak dan berteriak. mandi air hangat meluruhkan lelah, menyisakan kantuk menggelayutiku.
….
dari handphoneku terdengar michael buble menggumamkan ‘save the last dance for me’, masku menelepon.
‘sudah tidur?’
‘hampir’
‘bisa tunggu? aku ingin menculikmu’
….
21.22 dan kami duduk di bangku milik penjual nasi goreng pinggir jalan langganan kami, menunggu pesanan kami jadi.
‘maaf, hari ini aku sibuk sekali’, katanya sambil memainkan rambutku,’ tapi aku masih ingin menghabiskan sedikit waktu denganmu’
aku diam, memandang wajah lelahnya, mendengarkan cerita penat harinya.
….
terima kasih, mas. setidaknya terbayar sepiku tanpa sapamu hari ini….

111008 Read more!

matanya berkaca-kaca menggenggam tanganku…

“anakmu berapa ndhuk?”
“tiga,budhe..”
“katanya ada yang kembar?”
aku mengangguk, dia memeluk.

aku telah menemukan yang kucari. tapi aku ragu apakah aku masih ingin menemui.
“dan dia, berapa anaknya budhe?”
dia menggeleng, “dia belum menikah, ndhuk. sudah dilangkahi adiknya, tapi dia masih belum mau juga. aku ndak tahu dia nunggu apa..”

aku telungkup di pangkuannya. perempuan setengah baya yang sudah lebih dari tujuh tahun tak kusapa. perempuan yang pernah menjadi tempat aku berlari ketika tak ada siapa-siapa. yang menyuapiku dengan nasi thiwul gurih asin. atau mendongengiku tentang ‘jakarta’. sambil dia menyibak-sibak rambutku mencari kutu. membuatku aku terkantuk-kantuk di pangkuannya, di bawah teduhnya pohon jambu.

air matanya menetes menjatuhiku, sedang milikku membasahi pangkuannya.
“aku senang melihatmu bahagia ndhuk. doakan kakangmu itu…”
“sampaikan salamku padanya, budhe. aku minta maaf, kali ini aku tidak cukup waktu untuk menemuinya”

sedang sesungguhnya aku tahu aku tak akan sanggup. aku takut dia tidak akan mau menemuiku, seperti dia tidak mau hadir di pernikahanku… entahlah, aku juga tidak yakin aku akan cukup kuat melihatnya. seperti beberapa tahun yang lalu ketika aku bergetar melihat tubuh pendeknya memikul tabung gas di kios di pasar kulon…

apakah aku telah menjadi sombong? apakah dia menjadi rendah diri? sialan, kenapa harus tercipta jurang ini?

karena semua hal telah menjadi berbeda. karena masa telah mengubah manusia, juga kami berdua. betapa aku ingin bersikap biasa saja, seperti anak-anak yang berteman tanpa prasangka. tapi jangan tanya, aku tak yakin aku bisa…



101008

Read more!

Hening di sepanjang perjalanan....

Kugenggam tanganmu tak ingin kulepaskan. Karena hari telah berlalu begitu cepatnya, dan melewatinya bersamamu membuatnya tak terasa….

Berbulan berharap akan sebuah pertemuan, bersabar dalam penantian. Telah kudapati waktu akhirnya aku bersamamu. Walau hanya sesaat duduk di sampingmu, berbicara tentang hal tak tentu. Menghirup teh yang tak terkecap rasanya oleh lidahku, karena aku lebih menikmati wajahmu..

Menumpahkan rindu yang lama tertahan. Melimpahkan rasa yang tak pernah terungkapkan. Hanya mengalir bersama setiap perkataan, dihayati bersama setiap tatapan, diresapi tanpa sedetik terlewatkan. Oh waktu, masihkah kau berpihak padaku?

“Kenapa waktu begitu cepat berlalu?”, tanyamu.

Karena kita telah begitu lama menunggu. Dan seolah yang kita miliki ini tak akan pernah cukup untuk membayar penantian itu. Karena kita tak tahu bagaimana melewati waktu, hingga dapat tercurahkan semua dendam selama aku jauh darimu…

Taksi telah berhenti di depan terminal 1A. Kau tuntun aku turun dan berjalan di selasarnya.

“Masih ada tiga puluh menit sebelum kau harus check in”, katamu.

Dan aku, seperti juga kau, tak akan membiarkan waktu itu hilang tak berguna. Aku masih ingin bersamamu. Aku belum ingin meninggalkanmu. Aku…. tak pernah ingin meninggalkanmu. Jadi kubiarkan kepalaku rebah di dadamu. Terdiam tanpa kata. Karena kata tak akan bisa mewakili perasaan kita. Kebahagiaan yang telah tereguk beberapa saat lalu. Ketakrelaan hati membiarkannya usai. Kegundahan hati terbayang berbulan penantian lagi…

“Kau harus pergi”, katamu.

Dan aku hanya bisa menatap matamu. Yang menghujam jauh ke dalam lubuk hatiku. Melebihi keindahan semua kata yang ada di dunia. Mengatakan betapa dalam perasaan yang kau punya. Dan tak pernah kau minta aku berkata kau pun telah mengetahuinya, bahwa aku merasakan yang sama.

Kau raih kepalaku, dan kau kecup lembut keningku.

“Terbanglah, sayang. Kau akan bawa sebagian diriku bersamamu”, katamu.

Dan sebagian diriku kutinggalkan bersamamu.

Berlari aku meninggalkanmu, atau aku akan terpaku tak pernah sanggup meninggalkanmu. Melambai kepadamu yang tak henti menatapku hingga pandangan tak lagi sanggup beradu.

Telah kau penuhi hatiku hari ini, akan kusimpan setiap detik kenangan kebersamaan. Menjadi pegangan jika nanti kembali aku dihempas kerinduan. Karena entah kapan, kita bisa lepaskan rindu dendam…

*Bandara Soekarno Hatta, 2 Nopember 2008*

Read more!

ini ruang rapat atau ruang sidang pengadilan?

bukan keduanya

ini adalah neraka, bagi jiwa yang sedang kau injak-injak harga dirinya. betapa kau menikmati suasana perang dan pertentangan. dan melihat orang lain bisa kau permalukan.

tak kau lihatkah raut yang gugup gelisah kehilangan kata? oh kau pasti melihatnya, karena itulah yang kau ingin lihat. karena itulah yang kau ingin semua orang lihat. dan kau bisa tambahkan kata pedas menjatuhkan. yang memerahkan telinga dan memadamkan wajah. menunjukkan ‘kelemahan’, ‘kesalahan’ dan ‘kebodohan’ seseorang?

demi Tuhan semua yang hadir tahu siapa yang lemah, salah dan bodoh.

‘aduh dik… ini apa… suasana apa ini…?’
‘tutup kupingmu mbak… jangan dengarkan…’
‘aku banyak pekerjaan dan dia menyuruhku duduk di sini melihat tontonan tidak mengenakkan ini?’
‘pergi mbak, garap kerjaanmu’

tak tik tuk tak tik tik tuk tak tik tuk…

jari-jari yang asyik bermain di tuts handphone di genggaman masing-masing. bercakap tentang entah apa dengan entah siapa entah di mana. duduk di sini pikiran mengembara. muak dengan suguhanmu yang menjijikkan. tak tega tengadah menatap korban kebengisan hatimu yang sakit.

hingga kapan kau berada di situ, menatap sinis bicara sadis mengintimidasi? hingga kapan kau punya kekuatan itu, hingga kapan kau genggam kuasamu?

aku tidak bisa pergi dari sini. jadi aku akan bertahan denganmu, tinggal dua tahun lagi.



221008

Read more!

Pukul 12.20

“Aku ngantuk, Yud”, aku memeluk Yudi dari belakang dan menyandarkan kepalaku di bahunya.

“Tidurlah”

“Aku masih ingin menungguimu bekerja. Masih lama kah?”

Yudi mengangguk, “Kamu tiduran dulu aja di sofa, jadi bisa tetap menungguiku bekerja”

Perlahan kulepaskan rangkulanku, kukecup rambut Yudi. Yudi memutar kursi kerjanya hingga dia menghadap ke arahku, mengecup hidungku, dan membiarkan aku berbaring di sofa.

Yudi mulai bekerja lagi. Aku tak terlalu mengerti apa yang dikerjakannya. Tak mengerti sama sekali malah. Aku hanya tahu bahwa ada saat dia mengerjakan sesuatu yang menuntut konsentrasi penuh dan tak boleh putus sama sekali. Jika itu terjadi, dia mungkin harus mengulang lagi semuanya dari awal. Aku tidak mau. Selain kasihan Yudi yang jadi tak selesai-selesai pekerjaannya, itu berarti waktu untukku akan semakin sedikit tersisa.

Aku masih melihat dia mendongak, manggut-manggut, menggaruk kepala, sedikit corat-coret. Hanya beberapa saat….

***

Kurasakan kecupan lembut di antara dua mataku. Kubuka mata dan kulihat Yudi tersenyum lembut.

“Uhm…. sudah selesai?”

“Aku ngantuk”, katanya.

“Kenapa tidak tidur?”

“Ya, tapi aku ingin tidur sambil mendekapmu semalaman. Kalau di sini, aku takut jatuh”

Mau tak mau aku tersenyum dalam kantukku. Yudhi menyusupkan tangan kirinya ke bawah leherku, dan tangan kanannya kebawah lututku. Aku melingkarkan tangan dan menyusupkan wajahku ke lehernya, membiarkannya mengangkat dan membawaku ke kamar.

Kulirik jam dinding, sudah jam 02.45. Tidak tepat semalaman, tapi paling tidak aku masih punya dini hingga pagi hari ini, tidur dalam dekapan kekasihku.



181008

Read more!