Showing posts with label heartspeak. Show all posts
Showing posts with label heartspeak. Show all posts

Sunday, July 19, 2009

the plan

aL and I face to face. a low round table with a tiny glass of oil between us. wicked on a thread, floating on a three clover shaped cork. why didn’t they make it four?

aL blew her smoke on me, I coughed, she laughed.

"I remember that exhibist near my campus" she said.

"why?"

"he liked it when his victim scream or scared. but some one has shrunk him and made him gone forever

"oh ya? who? how? "

"I did. I stared at what he showed me. I told him, his penis was ugly, small, and it didn’t attract me at all. the thing shrank. he was ashamed and gone "

aL roared. I was dumbfounded.

"that's what we should do to those crazy people who bombed those hotels," she said again.

"do what...?"

"shrink them"

"how?"

"show them that the action was stupid and useless," aL put her smoke down to the ashtray.

I just wait. aL has begun to bend her body to me, ready to spoil more advanced sentence.

"I am resentful that SBY was afraid to come to the location right then. with the reason that the location has not been sterilized. even showed us an evidence that he was once a sniper target. "

"that’s normal, right?"

"no it’s not! it is normal that he was a target. come on, he is #1 person in this country. but if he is afraid to be shot, don't show up everywhere. no need to visit here and there, nor open the car window, nor wave his hand to the people awaiting for him along the road. just dwell in the palace. or ride an anti-bomb car.. "

"I think he was just being aware. in normal situations he can move freely. but in this case ... "

"in the situation like now, it IS stupid to shoot the president in the bomb location. too many police. what seem normal and safe is some times actually dangerous "

tension in aL's face started flagging. again she relied. her legs raised, be embraced. eyes closed. and began to speak again, as in the delirious mumble.

"who can convince the world that Indonesia is safe, if not us, the Indonesian? president SBY has been so silly. pretending that he was worried that Manchester United would cancel their visit. but he him self could not ensure that Indonesia is safe. even scared the world by himself did not dare to come to the location of the incident. no wonder if MU finally decided not to come "

" people died aL ... beside, may be our government couldn’t give them security guarantees"

aL revived.

"so what? every one could die anytime, any where. you can not avoid death. if SBY did not come to the location, is there any guarantee that he would be safe anyway? at least don’t make it look worse. that’s the plan. that’s what the terrorists wanted, to scare us. don’t you get it ....?" aL seemed so annoyed.

"are you annoyed because MU canceled their visit?"

"I don’t really care about MU. I am annoyed because SBY has made the terrorist thought they succeeded scaring people"

aL slammed her body again. another brake again. shut up. I thought aL was right.

the news flash in the TV was still about what we were talking about. this time it was an interview with one hotel visitor from South Korea, a designer who was in a visit to Indonesia for a fashion show of his latest designs. he said he was okay and didn’t feel any trauma. shortly after the incident he was still running his mission, to prepare all he has planned. he also planned to come again for his next show, next month.

still in eyes closed, aL pointed right to the TV.

"that’s how it should be. don’t give the suicide bomb a damn. never let the terrorists managed to drop our mental. we should drop theirs. their bomb may blow us, but never let them proud for succeeding frightening us. SBY should be ashamed with that Korean designer "

aL asleep, really asleep. snoring. damn.

***

for this week's sundayscribblings prompt: the plan

my deepest sympathy to all victims at JW Marriot and Ritz Carlton, Jakarta. and go to hell who ever has blown your selves together with the bomb...

Read more!

Tuesday, June 30, 2009

Mau ngga jadi selingkuhanku?

Enak ngga jadi selingkuhanmu?
"Banget," katamu.
Ya, boleh deh. Rasanya seperti anak SMA nembak jadi pacar. Kalau sudah bilang 'ya' terus apa? Apa enaknya selingkuh? Orang selingkuh itu ngapain?
"Mana ku tahu? Aku belum pernah," jawabmu.
Oh, jadi aku bahan percobaan? Aku juga bingung mesti ngapain kalo udah proklamasi 'kita selingkuh'. Kamu panggil aku 'sayang'. Huahahahaha... geli di kuping, dan malah aku bikin tertawa.
"Sudah makan, sayang?"
Eh, memang apa pedulimu aku sudah makan atau belum? Mau nraktir?

***

"Kamu ke sini dong..."
Kenapa ngga kamu aja yang ke sini?
Mau apa memangnya? Biasanya tanpamu dunia baik-baik saja. Aku ga peduli kamu sudah makan atau belum. Aku tidak peduli kamu sibuk atau tidak. Aku tidak peduli kamu kerjakan apa. Juga sebaliknya.
Kenapa tiba-tiba kita harus saling tahu kita sedang apa? Kenapa tiba-tiba pilekku jadi membuatmu khawatir?

***

"Besok aku ke Semarang. Kita ketemu ya?"
Di mana? Jam Berapa? Nah, sekarang aku jadi harus cari alasan supaya bisa pergi sendirian, dan ketemu kamu tanpa ketahuan. Kalau ke tempat yang kau sebut itu, aku takut nanti ketemu anakku di jalan.
"Kita ke Bandungan aja, atau ke Kopeng"
Mau apa ke sana? Kenapa aku bertanya? Mestinya aku bisa menduga apa yang bakalan dilakukan orang yang selingkuh ke sana. Apa kita juga akan melakukannya?
"Kita jalan-jalan saja."
Lalu apa?

***

Sudahlah. Kita putus aja. Selingkuh itu membingungkan buatku. Ribetnya clintat clintut. Pertaruhannya tidak sebanding. Kalo kamu ke Semarang, boleh kita ketemuan. Ajak suamimu, biar kuajak juga anak dan istriku.
Jangan lagi panggil aku 'sayang'. Kau masih boleh telpon, sms, email, chat. Anything. Tapi balikkan bahasamu ke masa kita belum mencoba-coba cari perkara. Begitu lebih nyaman. Dan aman. Read more!

Tuesday, December 23, 2008

Aku menggali keyakinanku (2)

Bisa kurasa nafasku tak lagi memburu. Dan jantungku tak lagi berpacu. Hanya peluhku masih mengalir, membasahi rambutku. Mengalir lewat di sela kedua mata, di tepi bibir, ke dagu. Bertemu dengan yang mengalir menyusur telinga. Menyatu dengan semua yang keluar dari seluruh pori-pori. Bercampur darah di kedua kaki. Perih.

Angin lembut meniup. Membawa pergi molekul demi molekul peluh dan air mata, mengeringkan darahku. Menyejukkan hati dan jiwa. Mengalunkan senandung kerinduan dan cinta. Membuai sukma yang penat berat.

Kupejam mata dan serasa tubuhku mengambang terayun perlahan. Kuhirup aroma bunga di udara. Tak lagi kurasa gelap pekat kabut dan dingin yang menusuk semula, tergantikan terang dan hawa hangat. Bagai bayi diemban bunda, bagi diri dibuai kekasih, aku terlena.

Inikah ia… kebahagiaan itu?

Braak!!! Aku jatuh terhempas di atas batu yang menjulang dari dasar jurang. Semua yang baru saja kurasa tiba-tiba hilang. Angin kembali menjadi dingin. Awan berkumpul menebal, hitam menghadang setiap cahaya yang coba menyentuhku. Setitik air jatuh di ujung hidungku. Lantas di dahiku. Pipi. Tangan. Rambut. Dan makin banyak lagi di sekujur tubuhku, hingga kusadar ini hujan.

Petir menggelegar dan air seperti ditumpahkan dari bejana maha besar. Badai kurasa. Karena angin menderu keras menerpaku yang tersungkur di atas batu. Menelungkup berpegang pada lekuk dan tonjolan kasarnya. Aku takut jika aku berdiri, angin akan menghempasku, atau petir menyambarku. Dingin air hujan seperti ribuan jarum menusuk tubuhku. Aku ingin berpeluk lututku sendiri mencari kehangatan. Tapi kedua tanganku harus berpegang atau aku akan terlempar masuk jurang.

Entah berapa lama aku bertahan. Tapi kemudian mendung menepi seiring hujan berhenti dan angin pergi. Kabut juga lari. Lalu muncul matahari yang seperti wajah smiley melemparkan senyum kepadaku. Menghangatkan lagi tubuh beku. Perasaan nyaman luar biasa setelah apa yang baru saja mendera.

Inikah ia… kebahagiaan itu?

Aku berdiri mendongak merentangkan kedua tanganku. Memejam mata menghayati setiap kehangatan yang merasuki pori-pori. Mengeringkan lagi badanku yang basah kuyup. Dan angin semilir sekali lagi menghembusku.

Kudengar lagi lagu cinta itu. Lembut, merayu. Menyunggingkan senyum di bibir yang lama terkatup butut. Membungakan lagi hati yang lama kering sepi. Menghidupkan lagi jiwa yang lama gersang mati.

Lalu kurasa hangat meningkat. Menjadi panas yang lambat laun semakin menyengat. Aku mulai berkeringat. Kukipas tangan mencoba menyejukkan, tapi aku tahu itu sia-sia. Karena panas tak berhenti merambat. Dan peluhku semakin deras membasahi lagi baju dan tubuhku.

Semakin lama panas bukan lagi hawa. Dia membakar. Laksana api yang melilit aku. Kurasa akan hangus tubuhku ini dalam beberapa waktu. Menggigit bibir sama sekali tidak membantu. Panasnya menyiksa, dan aku meronta, tapi tak berguna. Aku menjerit, berteriak, mengumpat, menyumpah. Tapi tetap tak membawa apa-apa.

Panas tak berhenti membakar. Aku pasrah. Ayo, hanguskan, musnahkan aku! Biar aku akan tahu inilah yang kudapat dari perjalananku melintasi jembatan sebatang meraih batu yang menjulang dari dasar jurang.

Aku sudah bersiap mati. Tapi matahari menjadi ramah lagi. Dan angin meniupkan kesejukan pagi. Membuatku mengira aku telah terbang ke atas awan, bersayap dan berlingkar emas di atas kepala. Maka kubuka mata dan aku masih saja, berdiri di ujung batu yang menjulang dari dasar jurang. Melihat terang namun teduh. Perasaan nyaman luar biasa setelah panas yang tak terkira mencabik tubuhku.

Inikah ia… kebahagiaan itu?

Udara berhenti di kecepatan nol. Temperatur berhenti di dua lima derajat celcius. Intensitas cahaya berhenti di100 candela.

Aku menunggu apa lagi yang akan terjadi. Siksa yang akan berakhir bahagia, untuk bersiklus lagi menjadi siksa dan bahagia dan siksa dan bahagia dan siksa dan bahagia…

Aku mengumpat pada hati dan keyakinanku. “Keparat, kau beri aku bahagia yang bersela derita… Atau derita bersela bahagia?” Read more!

Aku menggali keyakinanku....

Masih dari tempatku berdiri, di tepi jurang kehancuran, gelap berkabut pekat. Dingin menggigit tulang. Sunyi sepi mencekam. Aku bisa saja memutar badan lalu kembali pulang. Tapi hatiku berkata jangan. Dia ingin aku melangkah meniti jembatan sebatang, menuju sebuah batu yang menjulang dari dasar jurang. Katanya di sana ada bahagia.

Aku masih ragu. Karena aku tidak tahu dari apa jembatan itu. Tidak tampak seberti batu, atau kayu. Kayu baru atau rapuh. Tidak seperti beton atau besi. Besi baru atau berkarat. Aku bahkan tidak tahu dia berselimut tanah atau debu, yang jelas itu membuatku tak bisa menduga.

Aku masih ragu. Benarkah ada kebahagiaan itu? Karena di sana tak kulihat apapun selain batu itu, tempat aku nanti akan berdiri di atasnya. Berselimut kabut, berlingkup dingin, berpeluk sepi. Apa? Siapa yang akan membawa kebahagiaan padaku? Aku takut hatiku menipu.

Lalu mulai kulangkahkan kakiku, perlahan. Setapak, dan aku maju. Dua tapak, dan aku mampu. Berkali aku berdesir, singunen setiap kali melirik ke bawah, dasarnya tidak nampak. Aku memilih mendongak, karena dengan begitu aku tak akan menyadari, ada jurang di kanan kiriku.

Ugh!! Apa ini yang menghantam dari kananku? Angin yang begitu kuat membantingku, aku terpelanting. Hatiku habis, jantungku berhenti berdetak. Tapi sesaat kemudian kusadari sebelah tanganku masih berpegang di jembatan sebatang, dan sisa tubuhku terayun menggelantung.
Kupejamkan mata rapat. Menggapaikan sebelah tanganku yang lain. Walau sudah kedua tanganku meraba, aku masih belum bisa mengatakan jembatan itu terbuat dari apa. Kasar, keras, dan menyengat tanganku, dengan suhu yang tak bisa kujelaskan – panas yang amat, atau dingin sangat. Beberapa saat aku terombang-ambing.

Sekuat tenaga kuangkat tubuhku. Kuayunkan kaki hingga bisa mengait jembatan sebatang. Susah payah, tapi akhirnya aku berhasil kembali berada di atas jembatan, menelungkup, mengatur nafas dan hatiku. Aku tidak mau berdiri lagi. Aku masih merasakan hembusan angin itu. Aku tidak mau jatuh lagi.

Aku kembali diliput ragu. Harus kembali atau maju. Karena kini aku berada di tengah perjalananku. Aku kembali dan perjuanganku sia-sia, atau terus dan entah akan mendapatkan apa.

Perlahan aku merangkak maju. Telapak tanganku mulai melepuh, dengkulku tersayat. Aku berpeluh, berdarah. Angin itu masih menghembusku. Terkadang lembut dan hangat menyeka letihku, membuatku melupakan semua kesakitanku. Terkadang keras menerpa, memaksaku berhenti dan erat berpegang.

….

Tangan kananku meraih. Tangan kiriku menggapai. Kaki kananku menapak. Kaki kiriku menjejak.
Aku berdiri di atas batu yang menjulang dari dasar jurang, mencari kebahagiaan yang dijanjikan hatiku. Read more!

Anak kecil itu...

Aku baru pulang kerja dan ada latihan jam lima. Sore ini aku sedang tidak ingin naik bis Damri yang biasa lewat di depan kantorku. Aku memilih naik angkot, sedikit berjalan kaki, berbecek-becek melewati segerombolan pekerja proyek pembangunan sebuah gedung raksasa. Katanya mal. Oh please, dulu jalan tempat kantorku berada ditetapkan sebagai kawasan perkantoran dan sekolahan. Sekarang mal bermunculan…

Angkot yang kutumpangi kosong, hanya ada aku yang baru saja naik dan meletakkan ransel di sebelahku. Aku sudah bersiap-siap untuk bersabar menunggu angkot itu mendapat satu dua penumpang lagi, tapi ternyata supirnya langsung menyalakan mesin dan menjalankan mobilnya.

Tadinya aku tidak terlalu memperhatikan angkot ini ataupun supirnya. Memang tidak ada yang istimewa yang bisa membuat aku mengingatnya. Misalnya ada stiker dengan kata-kata lucu atau saru. Atau mungkin jok yang warnanya ngejreng. Atau supir yang ganteng… ahem!

Tapi ketika melihat anak kecil itu, bocah umur antara dua-tiga tahun, yang duduk di bangku depan… Dia bertelekan tangan di jendela, memandang lepas ke jalanan sambil sesekali menguap. Aku duduk di bangku sisi kanan tepat di belakang supir, dan aku bisa melihat wajah polosnya dari kaca spion kiri.

Aku jadi ingat aku pernah menumpang angkot ini. Waktu itu, ada anak kecil ingusan ini, bersama ibunya. Perempuan itu masih cukup muda, kutebak usianya belum lebih dari 25. kulitnya gelap tapi bersih, badannya langsing cenderung kurus, rambutnya hitam lurus panjang melampaui bahunya. Hidungnya mancung sedikit naik, sempurna. Mulanya kukira dia penumpang biasa seperti aku, tapi setelah beberapa menit aku tahu bahwa mereka adalah anak dan istri si supir. Bocah itu, waktu itu, rewel bukan main. Merengek minta ini itu.

Aku dibuat terpana dengan kata-kata yang keluar dari mulut ibunya, “Diam, atau aku hajar kamu!”.

Anak itu menangis makin keras. Sang ibu lantas menjewer, mencubit, membekap mulutnya dengan gemas. Tidak berhasil. Anak itu tidak mau diam. Dia lantas menggelayut di leher supir yang ternyata adalah ayahnya. Sang ayah pun tidak mengacuhkannya, sibuk melambai-lambai ke luar, memanggil calon penumpang.

Sampai saat aku turun, anak itu masih menangis. Kuserahkan tiga ribu rupiah kepada ayahnya, dan kugenggamkan lima ribu rupiah ke tangan si bocah, “Ssst… diamlah. Nanti ajak ibu beli es krim ya…”

Dia diam waktu aku turun. Entah jadi beli es krim atau tidak.
Dan sore ini, dia sendiri. Sepertinya bosan melihat jalanan. Lalu dia merosot di tempat duduknya, dan mulai merengek. Seperti sebelumnya, ayahnya lebih konsentrasi ke jalanan mencari penumpang. Setelah beberapa saat dicueki, dia diam sendiri. Lalu berdiri bersandar sambil melihat lurus ke depan.

Kucolek pundaknya.

“Hai… kamu ganteng kalo ngga nangis”

Dia menoleh padaku dan tersenyum.

“Siapa namamu?”
“Ian”
“Mana Ibu?”
“Kerja”

Aku keluarkan susu kotak dari tasku, yang sebenarnya kusiapkan untuk kuminum nanti selesai aku latihan.

“Ian mau ini?”
Dia menyambutnya.
“Terima kasih. Tolong bukain sedotannya”, pintanya.

Dan kubantu.Tidak sampai lima menit dia menghabiskannya.

“Pak, habis”, dia lapor ke ayahnya.

“Ya, pinter. Buang”

Dan dilemparkannya ke jalan kotak susu yang sudah kosong itu. Aku hampir berteriak karena dia membuang sampah sembarangan. Tapi untung bisa kutahan. Ian bukan Ibit atau Ar Ir yang selalu ribut mencari tempat sampah kalau mau membuang sesuatu. Mungkin orang tuanya belum mengajarkan itu. Dan aku tidak berhak memprotesnya.

Aku sudah sampai ke tujuanku, hanya ada satu penumpang lain yang naik sesaat sebelum aku turun. Kuberikan tiga ribu kepada pak supir. Dan kulihat Ian yang ternyata tertidur di bangku depan…

“Da Ian…”, bisikku.
Aku tidak tahu kapan ketemu Ian lagi. Bocah kecil yang terpaksa ikut menyusuri jalanan bersama ayahnya. Atau harus bertahan dengan ibunya yang cantik tapi keras sekali masa. Tapi mulai sekarang, aku menyimpan sebuah mainan mobil-mobilan di ranselku, untuk Ian, kalau nanti kami ketemu…

*sebenarnya ada foto close up si ganteng ian, tapi tidak berani pasang, belum minta ijin ke ybs atau ortunya...* Read more!

Friday, December 12, 2008

sudah pulang, sayang?

sms dari Han.

belum, aku masih klekaran di sini. mau jemput?

boleh. aku lagi cari sarapan di Ngesrep, habis main ke gombel. tunggu sebentar ya.

beja.

biasanya aku pulang harus jalan kaki dulu sekitar sekilo sampai ke jalan besar kalau mau pulang. di sini tidak ada ojek, dan aku tidak enak keseringan minta dianter suami mbak Atik, yang ngurusi sanggar. aku bisa saja mengacungkan tangan pada mobil atau motor yang lewat, numpang. tapi… ah, ngga keren blas. jalan sekilo aja kok pake nyegat kendaraan orang. aku bisa saja numpang peserta lain yang bawa motor atau mobil. tapi mereka biasanya langsung cabut begitu selesai kelas.

hari ini tidak ada mbak Endang, yang mungkin jadi penyebab tidak ada Evi GrEs, tidak ada Naning dan Evi SetBud. tidak ada gerombolan emak-emak sinting yang biasa betah ngobrol ngalor ngidul sambil ngetus keringet yang barusan sengaja diperas. padahal aku butuh ketemu mereka. seperti ayunan kaki dan tangan, dan lompatan, dan engkak- engkuk badan yang baru saja kami lakukan, dan musik menghentak yang menggetarkan kaca di sekeliling dinding kelas; aku membutuhkannya seperti mereka yang doyan alkohol menenggak minuman keras untuk sesaat membakar masalah di kepala.

jadi aku ngisis sendiri di samping jendela. mencoba menenangkan hatiku yang masih berantakan. aku memang sudah tidak menangis. mungkin air mataku telah habis keluar bersama keringat yang kualirkan setiap sore, mm… bisa kah? tapi aku masih belum bisa tersenyum, karena senyumku adalah palsu. tawaku dibuat-buat. dan aku masih belum bisa lagi bernyanyi, karena senandung yang keluar dari mulutku sesungguhnya adalah jeritan.

orang terakhir telah melambaikan tangan dan turun. aku menjejalkan lembaran baju senam yang basah dan bau ke ranselku. melongok sebentar ke arah parkiran, Han belum datang. tapi aku turun juga, harus membayar susu kotak yang tadi kupakai menenangkan perut yang belum puas dengan sebongkah donat.

ring ring…

‘ya… aku lagi mbayar, bentar ya..’
’sekalian beliin suara merdeka ya’

di mobil…

‘jadi dari tadi kamu belum ke kantor?’
‘belum, aku sudah pamit dan sekalian mengunjungi dealer gombel’
’sekarang kita pulang?’
‘lha kamu mau pulang atau mau ke mana?’
‘kamu ngga ke kantor?’
‘aku tetep ke kantor lah…’
‘katanya sudah pamit…’
‘pamit telat thok… bukan nggeblas sampai sore..’

yah, tiwas aku sudah seneng.

semangkuk soto di warung pak Niti, dan sebagasi penuh kasih sayang, mengisi perut dan hatiku, lalu kami pulang.

Han masih membaca koran sebentar. aku tengkurap di matras di depan tivi, ditindih Ar, dipeluk Ir, di dekat Ibit yang terpukau Oliver Twist.

sebuah kecupan di pipi membuatku membuka mata. menyadari tivi telah mati, anak-anak pergi menengok persiapan pentas wayang untuk apitan nanti malam.

‘aku berangkat..’

‘hmm..’

jam sebelas kurang seperempat. aku masih boleh merem seperempat jam lagi, sebelum masak sayur lodeh dan nggoreng tempe. toh aku cuma butuh 20 menit untuk itu.

hmm… hmmm…

Read more!

Wednesday, November 12, 2008

08.45 dan message sent….

dan delivered.
tapi tidak ada balasan. aku menunggu. sejam…. dua jam…
aku ingin menelepon. tapi sms pun tidak dijawab, apalagi telepon?
dial. calling. dan tidak diangkat.
….
3 jam… 4 jam… seharian.
begitu sibuknya kah kamu, mas? aku ingin mengajakmu makan siang. aku ingin wadul, ada orang yang menyebalkan. aku ingin cerita, ada hal yang menyenangkan.
….
hari ini sepi, kamu sama sekali tidak bisa dihubungi.
….
15.30 dan aku harus pulang. aku ada kelas jam 17.00 aku tidak ingin terlambat dan membuat kelasku menunggu.
‘aku pulang duluan ya…’ dan message sent, dan delivered. tapi tetap belum ada jawaban.
….
20.00 dan aku terkapar. sudah kutumpahkan jenuh dan kesalku, dengan meluapkan energiku, bergerak dan berteriak. mandi air hangat meluruhkan lelah, menyisakan kantuk menggelayutiku.
….
dari handphoneku terdengar michael buble menggumamkan ‘save the last dance for me’, masku menelepon.
‘sudah tidur?’
‘hampir’
‘bisa tunggu? aku ingin menculikmu’
….
21.22 dan kami duduk di bangku milik penjual nasi goreng pinggir jalan langganan kami, menunggu pesanan kami jadi.
‘maaf, hari ini aku sibuk sekali’, katanya sambil memainkan rambutku,’ tapi aku masih ingin menghabiskan sedikit waktu denganmu’
aku diam, memandang wajah lelahnya, mendengarkan cerita penat harinya.
….
terima kasih, mas. setidaknya terbayar sepiku tanpa sapamu hari ini….

111008 Read more!

matanya berkaca-kaca menggenggam tanganku…

“anakmu berapa ndhuk?”
“tiga,budhe..”
“katanya ada yang kembar?”
aku mengangguk, dia memeluk.

aku telah menemukan yang kucari. tapi aku ragu apakah aku masih ingin menemui.
“dan dia, berapa anaknya budhe?”
dia menggeleng, “dia belum menikah, ndhuk. sudah dilangkahi adiknya, tapi dia masih belum mau juga. aku ndak tahu dia nunggu apa..”

aku telungkup di pangkuannya. perempuan setengah baya yang sudah lebih dari tujuh tahun tak kusapa. perempuan yang pernah menjadi tempat aku berlari ketika tak ada siapa-siapa. yang menyuapiku dengan nasi thiwul gurih asin. atau mendongengiku tentang ‘jakarta’. sambil dia menyibak-sibak rambutku mencari kutu. membuatku aku terkantuk-kantuk di pangkuannya, di bawah teduhnya pohon jambu.

air matanya menetes menjatuhiku, sedang milikku membasahi pangkuannya.
“aku senang melihatmu bahagia ndhuk. doakan kakangmu itu…”
“sampaikan salamku padanya, budhe. aku minta maaf, kali ini aku tidak cukup waktu untuk menemuinya”

sedang sesungguhnya aku tahu aku tak akan sanggup. aku takut dia tidak akan mau menemuiku, seperti dia tidak mau hadir di pernikahanku… entahlah, aku juga tidak yakin aku akan cukup kuat melihatnya. seperti beberapa tahun yang lalu ketika aku bergetar melihat tubuh pendeknya memikul tabung gas di kios di pasar kulon…

apakah aku telah menjadi sombong? apakah dia menjadi rendah diri? sialan, kenapa harus tercipta jurang ini?

karena semua hal telah menjadi berbeda. karena masa telah mengubah manusia, juga kami berdua. betapa aku ingin bersikap biasa saja, seperti anak-anak yang berteman tanpa prasangka. tapi jangan tanya, aku tak yakin aku bisa…



101008

Read more!

ini ruang rapat atau ruang sidang pengadilan?

bukan keduanya

ini adalah neraka, bagi jiwa yang sedang kau injak-injak harga dirinya. betapa kau menikmati suasana perang dan pertentangan. dan melihat orang lain bisa kau permalukan.

tak kau lihatkah raut yang gugup gelisah kehilangan kata? oh kau pasti melihatnya, karena itulah yang kau ingin lihat. karena itulah yang kau ingin semua orang lihat. dan kau bisa tambahkan kata pedas menjatuhkan. yang memerahkan telinga dan memadamkan wajah. menunjukkan ‘kelemahan’, ‘kesalahan’ dan ‘kebodohan’ seseorang?

demi Tuhan semua yang hadir tahu siapa yang lemah, salah dan bodoh.

‘aduh dik… ini apa… suasana apa ini…?’
‘tutup kupingmu mbak… jangan dengarkan…’
‘aku banyak pekerjaan dan dia menyuruhku duduk di sini melihat tontonan tidak mengenakkan ini?’
‘pergi mbak, garap kerjaanmu’

tak tik tuk tak tik tik tuk tak tik tuk…

jari-jari yang asyik bermain di tuts handphone di genggaman masing-masing. bercakap tentang entah apa dengan entah siapa entah di mana. duduk di sini pikiran mengembara. muak dengan suguhanmu yang menjijikkan. tak tega tengadah menatap korban kebengisan hatimu yang sakit.

hingga kapan kau berada di situ, menatap sinis bicara sadis mengintimidasi? hingga kapan kau punya kekuatan itu, hingga kapan kau genggam kuasamu?

aku tidak bisa pergi dari sini. jadi aku akan bertahan denganmu, tinggal dua tahun lagi.



221008

Read more!

Tuesday, October 14, 2008

par, di mana kamu?

ini sudah entah lebaran ke berapa belas kita tidak berjumpa. tiba-tiba aku pengen ketemu kamu, tapi tak ada yang tahu kabarmu.

par, masih ingatkah kamu padaku? aku tahu aku mengenalmu sejak bayi, tapi momen pertama yang kuingat tentangmu adalah hari itu, ketika kamu masih rembes bangun tidur, dan aku dengan semangat berangkat di hari pertama sekolahku.
‘ayo par, sekolah, biar pinter…’
tapi kamu masih saja jongkok di depan pintu, cemberut.

par, apa kabarmu? kepalaku masih penuh dengan kenangan masa kanak-kanak kita. saba kebon mencari bekicot, memanjat pohon jambu, perosotan di lumpur di dekat sekolah, mencuri singkong di pekarangan sebelah, balapan cepet-cepetan sampai di rumah, blusukan di hutan mencari kayu, jelungan, bancakan, betengan… berantem.

par, pernahkah kau merasa kehilangan aku? karena aku begitu. aku benci masa remaja yang mendatangi kita, merenggut mu yang jadi malu terlihat bersama. kenapa harus peduli? apa salahnya berteman dengan perempuan? harusnya kamu biarkan saja anak-anak itu menuduh kita pacaran. aku tak pernah keberatan, karena kita yang tahu yang sebenarnya. tapi kamu menjauh… menjauh…

par, kau ke manakan kecerdasanmu, yang kau bagi bersamaku setiap kita belajar bersama nunik, gatot dan yang lainnya?

par, kau apakan ketrampilanmu, yang kau berikan kepadaku setiap kali kau buatkan mainan untukku?

par, kau simpankah keras hatimu, yang tak pernah mau mengalah ketika beradu pendapat denganku?

par, masih adakah senyum pelitmu? masih adakah cemberutmu?

par, di mana kamu?

Read more!

Wednesday, May 21, 2008

Bapak

Seingatku Bapak adalah orang paling gesit sedunia. Dia jago pingpong, sekaligus jago badminton. Suatu perpaduan yang aneh, karena teknik keduanya sangat berlainan. Pingpong tak perlu banyak tenaga, sedang badminton sebaliknya. Pingpong lebih ke memantulkan dengan mengarahkan, badminton benar-benar memukul. Pemain pingpong akan kesulitan menyeberangkan shuttlecock melewati net, dan pemain badminton akan melemparkan bola pingpong jauh melampui ujung meja. Tapi Bapak tidak, Bapak bisa dua-duanya. Aku hanya bisa pingpong, tidak berhasil menguasai keduanya seperti Bapak.

Bapak paling gesit sedunia. Masih kuingat ketika Bapak berlari mengejar bola tennis ke sana kemari. Melambungkannya, memukulnya, dan tertawa baik dia berhasil atau mengacaukannya. Melepaskan penat dengan berteriak, berlari, memukul, menghajar, melompat, dan bahkan berguling di tengah lapangan.

Bapak paling cerdas sedunia. Nilai ijazahnya bagus semua, kecuali seni suara. Kata Bapak, ketika ujian baca not balok, hanya ‘matematika’nya yang bekerja. Dia membaca dengan tepat setiap sebutan dan ketukan nadanya, tapi salah nembak nadanya. Pengetahuannya sedunia. Dan selalu ingin lebih tahu. Dia menyebut dirinya orang yang belajar secara horizontal... tidak vertikal. Dia belajar banyak hal, tidak terpaku pada satu hal. Tapi katanya, itu membuat Bapak tidak benar-benar memahami secara mendalam tentang satu hal.

Bapak paling tenang sedunia. Aku hanya bisa mengingat satu dua marahnya. Bapak hampir tidak pernah marah. Hanya ketika marah, Bapak akan sanggup membuat semua orang gemetar, atau kaku hingga tak sanggup berkata-kata. Bapak selalu menasehatiku dengan benar-benar menasehati, tanpa nada menyalahkan atau menghakimi. Memilih saat berdua saja sehingga tidak membuatku merasa malu atau dipermalukan karena terlihat salah di depan orang lain.

Bapak pekerja keras sedunia. Sebagai guru Bapak sempat mengajar di 9 sekolah negeri dan swasta. Bapak berangkat jam setengah enam dengan vespa hijaunya, ke SMA di kecamatan tetangga. Lalu jam-jam siang hingga malamnya untuk sekolah-sekolah di kecamatan tempat kami tinggal. Dan Bapak baru akan pulang jam sembilan, untuk melanjutkan dengan melukis, ketika dia masih punya tenaga. Di akhir tahun ajaran, Bapak akan menulis mengisi Ijazah murid-murid yang akan lulus, demi sekian rupiah perlembarnya. Hingga larut malam. Tidak boleh salah, dan tulisan Bapak sangat indah...

Bapak paling indah sedunia. Aku masih ingat malam-malam ketika Bapak duduk memegang palet dan kuas, menghadapi kanvas di atas tripodnya. Mencoretkan cat minyak, melukis. Aku duduk di sebelahnya menunggui, tanpa berkata. Atau Bapak akan memberikanku sepotong triplek sisa gergajian Pakde Surad, dan kuas kecil serta sedikit cat minyak. Dan aku berlagak seperti Bapak, melukis dengan gayanya. Mencoret, memandang, menyapu, memandang lagi. Lalu pura-pura puas dengan hasil lukisanku, lalu menjualnya, seperti yang Bapak lakukan. Aku sedih karena semua lukisan Bapak dijual, meskipun memang Bapak melukis untuk menjualnya. Tapi tak ada yang bisa kusimpan dari kenangan Bapak sebagai pelukis...

Bapak paling indah sedunia. Kami sering duduk di atas tikar di halaman di malam bulan purnama, atau bahkan ketika tak ada bulan sama sekali. Bapak pendongeng terindah. Dongengnya dari yang lucu sampai yang sendu. Tentang binatang, orang, wayang. Semua dongeng dan kisahnya selalu membuat aku terdiam, terpaku, terpesona. Bapak mengajariku 11 tembang macapat. Dan setiap tembangnya, diceritakan maknanya, atau kisah di belakangnya. Aku paling ingat tembang Asmaradana yang Bapak ajarkan padaku, yang mengisahkan Damarwulan yang sekarat setelah bertarung dengan Minakjingga. Aku bahkan masih bisa menembangkannya untukmu, saat ini juga.

Bapak paling disiplin sedunia. Yang tak pernah membiarkan kami meninggalkan sholat. Yang selalu mengingatkan untuk mengaji, belajar. (Maafkan aku Bapak, karena aku bukan anak yang rajin belajar...) Yang tak pernah bosan mengingatkan: sholat shubuhmu Ndhuk... dijaga.. jangan sampai kesiangan....

Saat ini jika kupandangi Bapak, trenyuh saja yang ada. Kemampuan pandangan matanya jauh dari sempurna, dan lebih dekat kepada buta, karena terkena glaukoma yang sudah sangat parah. Berjalan lambat ke mana-mana, bukan karena tak lagi bertenaga, tapi karena Bapak tak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di sekitarnya. Beberapa bulan yang lalu orang tak akan terlalu bisa melihat kesulitannya. Tapi akhir-akhir ini, Bapak sudah tak bisa lepas dari tongkatnya. Bukan untuk menyangga tubuhnya, tapi untuk meraba apa yang akan dipijaknya....

Pagi ini ketika aku mengantar Bapak menunggu bis yang akan membawanya pulang setelah menginap semalam di rumahku, si kondektur berteriak, “Gak pake lama! Gak pake lama!”. Ingin kumaki rasanya. Tak dilihatkah aku menuntun Bapak yang tertatih, berusaha menyusul Ibu yang sudah lebih dulu berada di atas bis. Aku bahkan tak sempat menyalami dan mencium tangannya...

Apa yang bisa kuberikan pada Bapak. Yang telah membuatku seperti sekarang. Dengan segala jungkir-baliknya. Seakan tak akan pernah cukup apapun yang kulakukan untuk membalas pengorbanan Bapak. Segala prihatin yang dilaluinya. Dan aku merasa tak pernah bisa menjadi orang tua sehebat Bapak...

Aku hanya berusaha memberikan apa yang Bapak inginkan saat ini, selagi aku bisa memenuhinya. Hal-hal sepele yang mungkin serasa mengada-ada dan merepotkan. Minta dibelikan ini atau itu, minta diajak ke sana atau ke sana. Sama sekali bukan apa-apa.

Bagaimana aku berterima kasih, Bapak? Read more!