Tuesday, December 23, 2008

Sabtu sore yang mendung....

Di tengah lapangan SD di pingggir desa, sekumpulan anak sedang bermain kasti. Matahari sudah hampir jatuh di garis cakrawala, tapi permainan sedang seru-serunya. Kelompok pemukul bola hampir meloloskan semua pelarinya. Pitik si pemukul terakhir memukul keras, tepat mengarah ke tangkapan Bayu.Bayu memegang bolanya, tapi tiba-tiba terpaku. Penonton berteriak-teriak untuk dia melakukan sesuatu.

“Yu! Lempar ke sini cepat!!”, teriak Wawan yang menghadang di dekat penclokan terakhir.
Tapi Bayu masih membeku.
Teman sekelompoknya ribut berseru. Pemain lawan sudah berlari dan menyentuh empat tongkat yang ditancapkan di sudut-sudut lapangan.
Satu…
Dua…
Tiga…

Empat pelari sudah masuk ke garis rumah. Tinggal Pitik yang masih kurang satu penclokan lagi.
“Bayu! Jangan ngalamun! Bolanya-bolanya-bolanya…!!!” teman-temannya mulai marah.
Bayu tergagap. Dilemparnya bola ke arah Wawan yang menangkap dengan sigap dan siap menghadang Pitik.

Bayu tidak menghiraukan lagi bolanya, tidak peduli teman-temannya, tidak menggubris permainannya. Sekuat tenaga dia berlari meninggalkan lapangan menuju rumahnya. Meninggalkan Wawan yang terbengong-bengong. Meninggalkan Pitik yang berlari terus melewati garis.

Semua pemain kelompok Pitik sudah masuk garis, bersorak berjingkrak memenangkan satu putaran. Bola masih di tangan Wawan, yang terdiam bersama kelompoknya yang sedang berjaga. Dibantingnya bola ke tanah, tanpa ampun. “Sialan Bayu!. Cah edan! Kenapa sih anak itu?”

***

Bayu terus berlari seperti kesetanan. Membelok di dua tikungan, melewati jembatan, membuyarkan sekumpulan ayam yang sedang mencari makan. Membiarkan Mbah Tumi berteriak, “Le… Yu! Ada apa kamu kok lari kaya gitu…?”

Bapak datang, aku harus pulang. Bapak datang, aku harus pulang. Bapak datang, aku Harus pulang.

Hanya itu yang terus diucapkannya dalam hati dan kepalanya. Langkahnya melambat ketika memasuki gang depan rumahnya, semakin lambat di depan pintu masuk pekarangannya, dan berhenti dua meter di depan pintu rumahnya.

Sesaat dia terdiam, memandang ke dalam. Sepi.

Perlahan langkahnya memasuki bagian depan rumah yang luas dan lengang. Kakinya terus mengayun pelan menuju ruang makan yang tak beda senyapnya. Penuh ragu dibukanya pintu kamar barat yang nyaris tak pernah dibuka.

Gelap. Pengap. Dan tidak ada siapa-siapa. Tidak ada suara, hanya nafasnya sendiri yang sedikit tersengal setelah berlari pulang dari lapangan.

Bayu berbalik dan berjalan menuju dapur. Mbah Putri sedang membetulkan letak kayu dan meniup api di tungku.

“Mbah…”, panggilnya pelan. Tapi tak urung membuat Mbahnya terkejut.“Hey, Le… Mbah ngga denger kamu masuk. Kamu kenapa, kok menggeh-menggeh gitu?”

Bayu mendekat dan jongkok di samping Mbah Putri.

“Bapak mana, Mbah?”

Mbah Putri meletakkan kayu, mengusapkan kedua tangannya ke kainnya yang sudah bertabur abu, lalu membelai rambut cucunya penuh kasih.

“Bapakmu masih di Lombok, Le…”“Tapi tadi aku merasa Bapak datang. Aku merasa Bapak sudah di rumah, dan membawakan aku oleh-oleh banyak…”

Mbah Putri merengkuh Bayu ke dalam peluknya.

“Belum, Le. Bapakmu belum pulang”

Bayu meringkuk. Air matanya mulai mengalir di kedua pipinya.

“Kapan Bapak pulang, Mbah?”
“Tiga bulan lagi, tiga bulan lagi. Sabar ya Le, cah bagus..”
“Aku kangen Bapak Mbah..”
“Aku tahu Le. Tapi Bapakmu harus cari uang di sana. Sabarlah, tiga bulan lagi dia akan datang, membawakanmu oleh-oleh, banyak…”

Bayu terisak. Bahunya berguncang.

“Kamu mau baca lagi surat Bapakmu?”

Bayu menggeleng, lalu bangun dan berjalan menuju kamarnya.
Dipandanginya potret yang selalu berdiri di meja belajarnya. Bapak, Ibu, dia. Setelah menikah, kedua orang tuanya merantau ke Lombok. Dia masih sempat tinggal bersama mereka di sana beberapa masa. Tapi sejak TK, dia ditinggal di desa, menemani Mbah Putri yang sendiri. Bapak dan Ibu hanya pulang dua kali setahun.

Dua tahun terakhir, hanya Bapak yang pulang setiap enam bulan, Ibu sudah meninggal karena kanker payudara. Dua tahun terakhir, hanya Bapaknya yang dinanti-nantikannya.
Diingatnya lagi, memang baru tiga bulan yang lalu Bapak pulang. Jadi Mbah Putri benar, dia harus menunggu tiga bulan lagi.

Ayat-ayat suci Al-Qur’an terdengar dilantunkan dari masjid di belakang rumah. Sebentar lagi maghrib. Bayu meletakkan foto itu, dan beranjak untuk mandi lalu pergi ke masjid. Dia akan memohon kepada Allah untuk kesehatan Bapak, agar dia bisa bertemu dengannya, tiga bulan lagi…
Berbagi Read more!

Aku menggali keyakinanku (2)

Bisa kurasa nafasku tak lagi memburu. Dan jantungku tak lagi berpacu. Hanya peluhku masih mengalir, membasahi rambutku. Mengalir lewat di sela kedua mata, di tepi bibir, ke dagu. Bertemu dengan yang mengalir menyusur telinga. Menyatu dengan semua yang keluar dari seluruh pori-pori. Bercampur darah di kedua kaki. Perih.

Angin lembut meniup. Membawa pergi molekul demi molekul peluh dan air mata, mengeringkan darahku. Menyejukkan hati dan jiwa. Mengalunkan senandung kerinduan dan cinta. Membuai sukma yang penat berat.

Kupejam mata dan serasa tubuhku mengambang terayun perlahan. Kuhirup aroma bunga di udara. Tak lagi kurasa gelap pekat kabut dan dingin yang menusuk semula, tergantikan terang dan hawa hangat. Bagai bayi diemban bunda, bagi diri dibuai kekasih, aku terlena.

Inikah ia… kebahagiaan itu?

Braak!!! Aku jatuh terhempas di atas batu yang menjulang dari dasar jurang. Semua yang baru saja kurasa tiba-tiba hilang. Angin kembali menjadi dingin. Awan berkumpul menebal, hitam menghadang setiap cahaya yang coba menyentuhku. Setitik air jatuh di ujung hidungku. Lantas di dahiku. Pipi. Tangan. Rambut. Dan makin banyak lagi di sekujur tubuhku, hingga kusadar ini hujan.

Petir menggelegar dan air seperti ditumpahkan dari bejana maha besar. Badai kurasa. Karena angin menderu keras menerpaku yang tersungkur di atas batu. Menelungkup berpegang pada lekuk dan tonjolan kasarnya. Aku takut jika aku berdiri, angin akan menghempasku, atau petir menyambarku. Dingin air hujan seperti ribuan jarum menusuk tubuhku. Aku ingin berpeluk lututku sendiri mencari kehangatan. Tapi kedua tanganku harus berpegang atau aku akan terlempar masuk jurang.

Entah berapa lama aku bertahan. Tapi kemudian mendung menepi seiring hujan berhenti dan angin pergi. Kabut juga lari. Lalu muncul matahari yang seperti wajah smiley melemparkan senyum kepadaku. Menghangatkan lagi tubuh beku. Perasaan nyaman luar biasa setelah apa yang baru saja mendera.

Inikah ia… kebahagiaan itu?

Aku berdiri mendongak merentangkan kedua tanganku. Memejam mata menghayati setiap kehangatan yang merasuki pori-pori. Mengeringkan lagi badanku yang basah kuyup. Dan angin semilir sekali lagi menghembusku.

Kudengar lagi lagu cinta itu. Lembut, merayu. Menyunggingkan senyum di bibir yang lama terkatup butut. Membungakan lagi hati yang lama kering sepi. Menghidupkan lagi jiwa yang lama gersang mati.

Lalu kurasa hangat meningkat. Menjadi panas yang lambat laun semakin menyengat. Aku mulai berkeringat. Kukipas tangan mencoba menyejukkan, tapi aku tahu itu sia-sia. Karena panas tak berhenti merambat. Dan peluhku semakin deras membasahi lagi baju dan tubuhku.

Semakin lama panas bukan lagi hawa. Dia membakar. Laksana api yang melilit aku. Kurasa akan hangus tubuhku ini dalam beberapa waktu. Menggigit bibir sama sekali tidak membantu. Panasnya menyiksa, dan aku meronta, tapi tak berguna. Aku menjerit, berteriak, mengumpat, menyumpah. Tapi tetap tak membawa apa-apa.

Panas tak berhenti membakar. Aku pasrah. Ayo, hanguskan, musnahkan aku! Biar aku akan tahu inilah yang kudapat dari perjalananku melintasi jembatan sebatang meraih batu yang menjulang dari dasar jurang.

Aku sudah bersiap mati. Tapi matahari menjadi ramah lagi. Dan angin meniupkan kesejukan pagi. Membuatku mengira aku telah terbang ke atas awan, bersayap dan berlingkar emas di atas kepala. Maka kubuka mata dan aku masih saja, berdiri di ujung batu yang menjulang dari dasar jurang. Melihat terang namun teduh. Perasaan nyaman luar biasa setelah panas yang tak terkira mencabik tubuhku.

Inikah ia… kebahagiaan itu?

Udara berhenti di kecepatan nol. Temperatur berhenti di dua lima derajat celcius. Intensitas cahaya berhenti di100 candela.

Aku menunggu apa lagi yang akan terjadi. Siksa yang akan berakhir bahagia, untuk bersiklus lagi menjadi siksa dan bahagia dan siksa dan bahagia dan siksa dan bahagia…

Aku mengumpat pada hati dan keyakinanku. “Keparat, kau beri aku bahagia yang bersela derita… Atau derita bersela bahagia?” Read more!

Aku menggali keyakinanku....

Masih dari tempatku berdiri, di tepi jurang kehancuran, gelap berkabut pekat. Dingin menggigit tulang. Sunyi sepi mencekam. Aku bisa saja memutar badan lalu kembali pulang. Tapi hatiku berkata jangan. Dia ingin aku melangkah meniti jembatan sebatang, menuju sebuah batu yang menjulang dari dasar jurang. Katanya di sana ada bahagia.

Aku masih ragu. Karena aku tidak tahu dari apa jembatan itu. Tidak tampak seberti batu, atau kayu. Kayu baru atau rapuh. Tidak seperti beton atau besi. Besi baru atau berkarat. Aku bahkan tidak tahu dia berselimut tanah atau debu, yang jelas itu membuatku tak bisa menduga.

Aku masih ragu. Benarkah ada kebahagiaan itu? Karena di sana tak kulihat apapun selain batu itu, tempat aku nanti akan berdiri di atasnya. Berselimut kabut, berlingkup dingin, berpeluk sepi. Apa? Siapa yang akan membawa kebahagiaan padaku? Aku takut hatiku menipu.

Lalu mulai kulangkahkan kakiku, perlahan. Setapak, dan aku maju. Dua tapak, dan aku mampu. Berkali aku berdesir, singunen setiap kali melirik ke bawah, dasarnya tidak nampak. Aku memilih mendongak, karena dengan begitu aku tak akan menyadari, ada jurang di kanan kiriku.

Ugh!! Apa ini yang menghantam dari kananku? Angin yang begitu kuat membantingku, aku terpelanting. Hatiku habis, jantungku berhenti berdetak. Tapi sesaat kemudian kusadari sebelah tanganku masih berpegang di jembatan sebatang, dan sisa tubuhku terayun menggelantung.
Kupejamkan mata rapat. Menggapaikan sebelah tanganku yang lain. Walau sudah kedua tanganku meraba, aku masih belum bisa mengatakan jembatan itu terbuat dari apa. Kasar, keras, dan menyengat tanganku, dengan suhu yang tak bisa kujelaskan – panas yang amat, atau dingin sangat. Beberapa saat aku terombang-ambing.

Sekuat tenaga kuangkat tubuhku. Kuayunkan kaki hingga bisa mengait jembatan sebatang. Susah payah, tapi akhirnya aku berhasil kembali berada di atas jembatan, menelungkup, mengatur nafas dan hatiku. Aku tidak mau berdiri lagi. Aku masih merasakan hembusan angin itu. Aku tidak mau jatuh lagi.

Aku kembali diliput ragu. Harus kembali atau maju. Karena kini aku berada di tengah perjalananku. Aku kembali dan perjuanganku sia-sia, atau terus dan entah akan mendapatkan apa.

Perlahan aku merangkak maju. Telapak tanganku mulai melepuh, dengkulku tersayat. Aku berpeluh, berdarah. Angin itu masih menghembusku. Terkadang lembut dan hangat menyeka letihku, membuatku melupakan semua kesakitanku. Terkadang keras menerpa, memaksaku berhenti dan erat berpegang.

….

Tangan kananku meraih. Tangan kiriku menggapai. Kaki kananku menapak. Kaki kiriku menjejak.
Aku berdiri di atas batu yang menjulang dari dasar jurang, mencari kebahagiaan yang dijanjikan hatiku. Read more!

Anak kecil itu...

Aku baru pulang kerja dan ada latihan jam lima. Sore ini aku sedang tidak ingin naik bis Damri yang biasa lewat di depan kantorku. Aku memilih naik angkot, sedikit berjalan kaki, berbecek-becek melewati segerombolan pekerja proyek pembangunan sebuah gedung raksasa. Katanya mal. Oh please, dulu jalan tempat kantorku berada ditetapkan sebagai kawasan perkantoran dan sekolahan. Sekarang mal bermunculan…

Angkot yang kutumpangi kosong, hanya ada aku yang baru saja naik dan meletakkan ransel di sebelahku. Aku sudah bersiap-siap untuk bersabar menunggu angkot itu mendapat satu dua penumpang lagi, tapi ternyata supirnya langsung menyalakan mesin dan menjalankan mobilnya.

Tadinya aku tidak terlalu memperhatikan angkot ini ataupun supirnya. Memang tidak ada yang istimewa yang bisa membuat aku mengingatnya. Misalnya ada stiker dengan kata-kata lucu atau saru. Atau mungkin jok yang warnanya ngejreng. Atau supir yang ganteng… ahem!

Tapi ketika melihat anak kecil itu, bocah umur antara dua-tiga tahun, yang duduk di bangku depan… Dia bertelekan tangan di jendela, memandang lepas ke jalanan sambil sesekali menguap. Aku duduk di bangku sisi kanan tepat di belakang supir, dan aku bisa melihat wajah polosnya dari kaca spion kiri.

Aku jadi ingat aku pernah menumpang angkot ini. Waktu itu, ada anak kecil ingusan ini, bersama ibunya. Perempuan itu masih cukup muda, kutebak usianya belum lebih dari 25. kulitnya gelap tapi bersih, badannya langsing cenderung kurus, rambutnya hitam lurus panjang melampaui bahunya. Hidungnya mancung sedikit naik, sempurna. Mulanya kukira dia penumpang biasa seperti aku, tapi setelah beberapa menit aku tahu bahwa mereka adalah anak dan istri si supir. Bocah itu, waktu itu, rewel bukan main. Merengek minta ini itu.

Aku dibuat terpana dengan kata-kata yang keluar dari mulut ibunya, “Diam, atau aku hajar kamu!”.

Anak itu menangis makin keras. Sang ibu lantas menjewer, mencubit, membekap mulutnya dengan gemas. Tidak berhasil. Anak itu tidak mau diam. Dia lantas menggelayut di leher supir yang ternyata adalah ayahnya. Sang ayah pun tidak mengacuhkannya, sibuk melambai-lambai ke luar, memanggil calon penumpang.

Sampai saat aku turun, anak itu masih menangis. Kuserahkan tiga ribu rupiah kepada ayahnya, dan kugenggamkan lima ribu rupiah ke tangan si bocah, “Ssst… diamlah. Nanti ajak ibu beli es krim ya…”

Dia diam waktu aku turun. Entah jadi beli es krim atau tidak.
Dan sore ini, dia sendiri. Sepertinya bosan melihat jalanan. Lalu dia merosot di tempat duduknya, dan mulai merengek. Seperti sebelumnya, ayahnya lebih konsentrasi ke jalanan mencari penumpang. Setelah beberapa saat dicueki, dia diam sendiri. Lalu berdiri bersandar sambil melihat lurus ke depan.

Kucolek pundaknya.

“Hai… kamu ganteng kalo ngga nangis”

Dia menoleh padaku dan tersenyum.

“Siapa namamu?”
“Ian”
“Mana Ibu?”
“Kerja”

Aku keluarkan susu kotak dari tasku, yang sebenarnya kusiapkan untuk kuminum nanti selesai aku latihan.

“Ian mau ini?”
Dia menyambutnya.
“Terima kasih. Tolong bukain sedotannya”, pintanya.

Dan kubantu.Tidak sampai lima menit dia menghabiskannya.

“Pak, habis”, dia lapor ke ayahnya.

“Ya, pinter. Buang”

Dan dilemparkannya ke jalan kotak susu yang sudah kosong itu. Aku hampir berteriak karena dia membuang sampah sembarangan. Tapi untung bisa kutahan. Ian bukan Ibit atau Ar Ir yang selalu ribut mencari tempat sampah kalau mau membuang sesuatu. Mungkin orang tuanya belum mengajarkan itu. Dan aku tidak berhak memprotesnya.

Aku sudah sampai ke tujuanku, hanya ada satu penumpang lain yang naik sesaat sebelum aku turun. Kuberikan tiga ribu kepada pak supir. Dan kulihat Ian yang ternyata tertidur di bangku depan…

“Da Ian…”, bisikku.
Aku tidak tahu kapan ketemu Ian lagi. Bocah kecil yang terpaksa ikut menyusuri jalanan bersama ayahnya. Atau harus bertahan dengan ibunya yang cantik tapi keras sekali masa. Tapi mulai sekarang, aku menyimpan sebuah mainan mobil-mobilan di ranselku, untuk Ian, kalau nanti kami ketemu…

*sebenarnya ada foto close up si ganteng ian, tapi tidak berani pasang, belum minta ijin ke ybs atau ortunya...* Read more!

Saturday, December 20, 2008

a cloudy saturday afternoon

for this weeks sundayscribbling's prompt, late

In the middle of a schoolyard, in the edge of the village, a group of boys were playing baseball. The sun was about to fall to the horizon line, but the game was in the climax. The hitter group almost had their players run home. Pitik the last hitter, hit the ball so strong, straight to Bayu's hand. Bayu held the ball, but he suddenly frozen. The supporter out of the area screamed and shouted, told him to do something with the ball.

“Yu! Over here! Throw the ball to me!!”, shouted Wawan who was standing next to the last base.

But Bayu just stood there still.

His friends screamed at him again. The other group players have one by one touched all the bases.

One…

Two…

Three…

Four runners run across the home line. Only Pitik left to touch the last base.

“Bayu! Stop daydreaming! The ball the ball the ball…!!!” his friends started to get mad.

Bayu haw. He threw the ball to Wawan who caught it right and ready to stop Pitik.

Bayu didn't care about the ball anymore, he didn't care about his friends, he didn't care about the game. He run like a thunder, left the field straight to his house. Left Wawan completely dazed. Left Pitik who was still running to the last base and did a home run.

Pitik and his group cheered and jumped for their winning in the last inning. The ball was still in Wawan's hand, fixed in enchantment of their defeat He slammed the ball to the ground, no mercy. “Stupid Bayu!. Crazy boy! What is wrong with him?”

***

Bayu kept running like a ghost was chasing behind him. He turned twice, run over a bridge, scattered a bunch of chicken, let Mbah Tumi shouted, “Yu! why are you running like that…?”

Dad's come, I can't be late. Dad's come, I can't be late. Dad's come, I can't be late.

Those words echoed in his head. His step got slower as he got into the street in front of his house, slower as he entered his house gate, and stopped few feet before the door.

He stood still, stared in. It was so quite.

Slowly he stepped into the wide quite living room. He continued walking entered the living room with the same situation he caught. Doubtfully he opened the west room, it hasn't been open for a long time.

Dark. Musty. And there was nobody. No sound, only his ruffle breath after running along the way home.

Bayu turned around and walked to the kitchen. Grandma was fixing the wood and blowing the fire in the stove.

“Mbah…”, he called his granny gently. Still she was a little bit shocked.
“Hey, Yu… I didn't hear you coming. What is wrong with you?"

Bayu walked approaching Grandma in sat next to her.

“Where's Dad?”

Grandma put the wood down, wiped his hands on her ashy skirt, and stroke her beloved grandson's head tenderly.

“Your Dad is still in Lombok, Yu…”
“But I felt he was coming. I felt he was at home, and brought me lot of presents…”

Grandma grabbed Bayu into her arms.

“No, Yu. He's not coming yet”

Bayu cuddled up. Tears started to fall over his face.

“When will he be home, Mbah?”
“In three months, dear. Be patient okay..”
“I miss Dad, Mbah..”
“I know, darling. But your Dad has to work and gain money there. Be patient, in three months he will come and bring you a lot of presents…”

Bayu cried. His shoulders shook.

“Do you want to read your dad's letters again?”

Bayu shook his head, then got up and waked to his room.

He stared at a picture that's always been there on his desk. Dad, Mom, him.

Right after his parents got married, they went to find a job in Lombok. Bayu was born there and stayed with them for couple of years. But since he was five, his Dad sent him here to this village to accompany his lonely Grandma. Dad and Mom visited him twice a year.

These past two years, only Dad comes visit him every six months, Mother has died caused by breast cancer. These past two years, his Dad is the only one he waits for.

Bayu tried to remember again, and yes Dad has come three months ago. So Grandma was right, he has to wait for another three months.

He heard the sound of holy Al-Qur’an from the mosque behind the house as the dawn was falling. Maghrib is coming. Bayu put the picture back to the table, and went out to take a bath. He would go to the mosque to do sholat maghrib. After that he would pray to Allah, for Dad's health, so he could come and see him in three months...

Read more!

Friday, December 12, 2008

Anak kecil itu...

Aku baru pulang kerja dan ada latihan jam lima. Sore ini aku sedang tidak ingin naik bis Damri yang biasa lewat di depan kantorku. Aku memilih naik angkot, sedikit berjalan kaki, berbecek-becek melewati segerombolan pekerja proyek pembangunan sebuah gedung raksasa. Katanya mal. Oh please, dulu jalan tempat kantorku berada ditetapkan sebagai kawasan perkantoran dan sekolahan. Sekarang mal bermunculan…

Angkot yang kutumpangi kosong, hanya ada aku yang baru saja naik dan meletakkan ransel di sebelahku. Aku sudah bersiap-siap untuk bersabar menunggu angkot itu mendapat satu dua penumpang lagi, tapi ternyata supirnya langsung menyalakan mesin dan menjalankan mobilnya. Tadinya aku tidak terlalu memperhatikan angkot ini ataupun supirnya. Memang tidak ada yang istimewa yang bisa membuat aku mengingatnya. Misalnya ada stiker dengan kata-kata lucu atau saru. Atau mungkin jok yang warnanya ngejreng. Atau supir yang ganteng… ahem!

ian.JPG

Tapi ketika melihat anak kecil itu, bocah umur antara dua-tiga tahun, yang duduk di bangku depan… Dia bertelekan tangan di jendela, memandang lepas ke jalanan sambil sesekali menguap. Aku duduk di bangku sisi kanan tepat di belakang supir, dan aku bisa melihat wajah polosnya dari kaca spion kiri.

Aku jadi ingat aku pernah menumpang angkot ini. Waktu itu, ada anak kecil ingusan ini, bersama ibunya. Perempuan itu masih cukup muda, kutebak usianya belum lebih dari 25. kulitnya gelap tapi bersih, badannya langsing cenderung kurus, rambutnya hitam lurus panjang melampaui bahunya. Hidungnya mancung sedikit naik, sempurna. Mulanya kukira dia penumpang biasa seperti aku, tapi setelah beberapa menit aku tahu bahwa mereka adalah anak dan istri si supir. Bocah itu, waktu itu, rewel bukan main. Merengek minta ini itu. Aku dibuat terpana dengan kata-kata yang keluar dari mulut ibunya, “Diam, atau aku hajar kamu!”. Anak itu menangis makin keras. Sang ibu lantas menjewer, mencubit, membekap mulutnya dengan gemas. Tidak berhasil. Anak itu tidak mau diam. Dia lantas menggelayut di leher supir yang ternyata adalah ayahnya. Sang ayah pun tidak mengacuhkannya, sibuk melambai-lambai ke luar, memanggil calon penumpang.

Sampai saat aku turun, anak itu masih menangis. Kuserahkan tiga ribu rupiah kepada ayahnya, dan kugenggamkan lima ribu rupiah ke tangan si bocah, “Ssst… diamlah. Nanti ajak ibu beli es krim ya…”

Dia diam waktu aku turun. Entah jadi beli es krim atau tidak.

Dan sore ini, dia sendiri. Sepertinya bosan melihat jalanan. Lalu dia merosot di tempat duduknya, dan mulai merengek. Seperti sebelumnya, ayahnya lebih konsentrasi ke jalanan mencari penumpang. Setelah beberapa saat dicueki, dia diam sendiri. Lalu berdiri bersandar sambil melihat lurus ke depan.

Kucolek pundaknya.
“Hai… kamu ganteng kalo ngga nangis”
Dia menoleh padaku dan tersenyum.
“Siapa namamu?”
“Ian”
“Mana Ibu?”
“Kerja”

Aku keluarkan susu kotak dari tasku, yang sebenarnya kusiapkan untuk kuminum nanti selesai aku latihan.
“Ian mau ini?”
Dia menyambutnya.
“Terima kasih. Tolong bukain sedotannya”, pintanya. Dan kubantu.
Tidak sampai lima menit dia menghabiskannya.
“Pak, habis”, dia lapor ke ayahnya.
“Ya, pinter. Buang”
Dan dilemparkannya ke jalan kotak susu yang sudah kosong itu. Aku hampir berteriak karena dia membuang sampah sembarangan. Tapi untung bisa kutahan. Ian bukan Ibit atau Ar Ir yang selalu ribut mencari tempat sampah kalau mau membuang sesuatu. Mungkin orang tuanya belum mengajarkan itu. Dan aku tidak berhak memprotesnya.

Aku sudah sampai ke tujuanku, hanya ada satu penumpang lain yang naik sesaat sebelum aku turun. Kuberikan tiga ribu kepada pak supir. Dan kulihat Ian yang ternyata tertidur di bangku depan…

“Da Ian…”, bisikku.

Aku tidak tahu kapan ketemu Ian lagi. Bocah kecil yang terpaksa ikut menyusuri jalanan bersama ayahnya. Atau harus bertahan dengan ibunya yang cantik tapi keras sekali masa. Tapi mulai sekarang, aku menyimpan sebuah mainan mobil-mobilan di ranselku, untuk Ian, kalau nanti kami ketemu…

*sebenarnya ada foto close up si ganteng ian, tapi tidak berani pasang, belum minta ijin ke ybs atau ortunya...*

Read more!

alarm 07.30 (reversed point of view)

waktunya…
pintu kamarku terbuka, lalu aku akan terangkat ke atas. kubuat satu putaran lalu ketika aku berhenti, aku berjinjit di ujung sepatuku. memegang ujung tutu dengan kedua tanganku, dan kuucapkan, “selamat pagi sayang….”
dia akan memandangku dengan tersenyum. seolah memang sedari tadi menunggu kemunculanku. aku berputar lagi, dan tatakan kakiku akan turun perlahan. lalu pintu kamarku menutup lagi, untuk terbuka lagi esok hari.

aku bukan weker. aku hanya alarm. alarm yang diset untuk menyapanya setiap pagi sebelum memulai hari. aku adalah balerina kecil dengan tutu dan sepatu pita berwarna hijau emerald. apa yang kusebut kamar, adalah sebuah ruang berbentuk setengah bola, yang berwarna hijau metalik. serasi dengan kostumku.
jujur, aku sendiri menanti pagi untuk muncul dan berbunyi. aku bahagia setiap kali melihat matanya melihatku. aku yakin dia juga menantiku.
aku makin yakin tentang itu, ketika suatu hari entah kenapa, pintu kamarku tak mau terbuka tepat pada waktunya. aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. meskipun kutarik sekuat tenaga, pintu itu tetap rapat saja. baru sekitar pukul 10, ketika aku sudah kelelahan mencoba, tiba-tiba dia terbuka. segera saja aku keluar dan menyapanya, “selamat siang, sayang….”. tentu saja, karena memang sudah siang. dia sempat berkata, “selamat siang, kamu terlambat…,”, dan aku melihat kelegaan ketika dia melihat kemunculanku. aku juga lega jadinya. aku berputar, dan tenggelam lagi ke dalam kamar berbentuk setengah bolaku.

***
untuk beberapa waktu aku menjalankan tugasku seperti biasa. menari dan menyapanya setiap jam 07.30. tapi lama-kelamaan aku merasa, dia tidak lagi menantikanku. kadang dia hanya memandangku sekilas sambil tersenyum. kadang memandang saja tanpa tersenyum. kadang bahkan tidak memandangku sama sekali, sibuk dengan kertas-kertas di hadapannya.

aku sedih….
lalu aku merasa, barangkali dia merasa bosan dengan kehadiranku di pagi hari. lalu aku mencoba muncul lagi di saat-saat lain. untunglah pintu kamarku tidak rusak lagi. jadi setelah pagi hari aku menyapa seperti biasa, aku kadang menyapanya lagi di siang hari.
tapi kurasa siang hari bukan waktu yang tepat. dia justru semakin sibuk dengan kertas-kertasnya. dan dia memandangku seolah merasa terganggu. lalu kucoba menggantinya dengan malam hari, ketika aku yakin pekerjaannya telah selesai. memang, tapi dia sedang tidur, dan dia terbangun dalam keadaan kaget — dan kurasa dia marah.

aku sedih….
sore itu aku muncul lagi. “selamat sore sayang….”. dia hanya memandangku dengan mata lelah — dan kesal. seolah ingin berkata, ‘kau menggangguku’. tapi dia diam saja. maka aku ucapkan lagi, “selamat sore, sayang….”. dia menjawab, “selamat sore…,”.
aku tidak bisa bilang aku sudah lega. dia menjawab sapaku dengan terpaksa. tapi cukuplah kurasa, dia sudah menjawabku. jadi aku masuk lagi mengurung diriku.

pagi ini aku muncul tepat jam 07.30. dia sudah mulai sibuk membolak balik tumpukan kertasnya. “selamat pagi, sayang….”. dia tidak mendengarku. dia sama sekali tidak melihat ke arahku. aku mengulang bunyiku. dia masih tepekur sendiri. kuulang lagi, hingga akhirnya dia menjawab, “selamat pagi…,” tapi dia tidak melihat ke arahku. aku berbunyi lagi. dia memandang ke arahku dengan ekspresi kesal, dan menjawab lagi “selamat pagi.”
bukan… bukan… aku tidak ingin kau melihat dan menjawabku seperti itu. aku rindu kau rindui. aku menunggu kau tunggu aku. aku mengharap melihatmu mengharap kehadiranku.
“selamat pagi sayang….” kuucap lagi selembut mungkin. “selamat pagi!’
ya ampun, dia membentakku. aku begitu terkejut dan tiba-tiba aku tidak bisa mengontrol bunyiku. aku terus-terus mengucap “selamat pagi, sayang….” sambil berharap dia melembut dan tersenyum lagi padaku.

tapi tidak. dia malah tampak semakin kesal dan marah. aku tidak menyangka dia akan meraih kamarku dan membanting aku ke lantai.
kamarku pecah terbelah ke segala arah. leherku patah. habis sudah.
tapi aku masih punya sedikit sisa arus sebelum terputus aku dari battereku, dan sekuat tenaga, secepatnya sebelum dia hilang, kuucapkan, “selamat tinggal, sayang….”

karena aku tahu setelah ini aku tidak akan bisa melihatnya lagi….

Read more!

alarm 07.30

sengaja kupasang jam segitu, karena aku bukan butuh alarm untuk membangunkan aku. aku memasangnya untuk sekedar menyapaku setiap pagi, ketika aku hendak memulai hari. bukan jam weker. hanya alarm. alarm saja. yang memang kupesan untuk berbunyi setiap jam 07.30 pagi.
bentuknya setengah bola, berwarna hijau metalik. saat sedang tidak berbunyi, ya setengah bola itulah bentuknya. tapi ketika jam tanganku menunjukkan pukul 07.30, bagian tengahnya akan bergeser sedikit, dan membuka tutupnya. lalu dari dalamnya akan muncul ke atas sebuah boneka balerina kecil, yang akan membuat satu putaran cepat, lalu berkata, “selamat pagi sayang….”
dan aku akan menjawabnya, “selamat pagi juga…, sayang”, lalu memulai hariku dengan senyum.

***
pernah suatu hari, alarmku itu tidak berbunyi di jam 07.30. aku sempat meneliti apa yang salah, tapi aku tidak menemukannya. pagi itu jadi terasa ada yang kurang, tapi aku tetap berusaha menjalani hariku seperti biasa. lalu sekitar jam 10, tiba-tiba dia menyapa, “selamat siang, sayang”.
“selamat siang. kau terlambat”
tentu saja dia tidak menjawab, hanya berputar, lalu masuk lagi, dan menutup.

tapi ada yang aneh akhir-akhir ini. setelah beberapa waktu dia berbunyi normal, tiba-tiba dia berbunyi semaunya sendiri. meskipun pagi hari tepat jam 07.30 dia sudah menyapaku, siang hari dia akan menyapa lagi. kadang bahkan tengah malam ketika aku sedang lelap.
sore itu aku sedang mengerjakan tugasku yang diburu waktu. aku sedang butuh konsentrasi penuh dan tidak ingin diganggu. tiba-tiba…
“selamat sore sayang….”
aku memandanginya. seperti biasa dia berdiri di ujung jarinya yang bersepatu pita, dan memegangi ujung tutu-nya dengan kedua tangannya. aku menunggu dia masuk dan tutupnya merapat. tapi dia masih di sana, malah berbunyi lagi, “selamat sore, sayang….”
“selamat sore…,”, jawabku, dan barulah dia masuk.
begitulah selanjutnya. dia berbunyi kapan saja dia mau, dan tidak mau masuk sebelum aku menjawabnya. dia akan terus mengulang sapanya, sampai aku berkata yang sama kepadanya.

lama-lama aku jadi merasa terganggu karenanya. alarm itu benar-benar makin tidak tau waktu. suara sapanya yang halus tapi riang, tiba-tiba berubah terdengar seperti jeritan yang memekakkan telinga. kadang seperti suara orang mengomel berkepanjangan. bahkan meskipun aku sudah menjawab sapanya.

pagi ini aku benar-benar tak tahan lagi. dia terus terusan mengucap “selamat pagi sayang….”. walaupun sudah kujawab, dia masih mengatakannya lagi dan lagi. dan kujawab lagi, mulai nada rendah hingga meninggi, tapi dia tetap tidak mau berhenti.

aku tidak bisa menahan diri. kuraih alarmku dan kubanting ke lantai. hancur berkeping. kepala boneka balerina itu patah. aku masih sempat mendengar dia bersuara untuk terakhir kalinya…

“selamat tinggal, sayang….”

Read more!

sudah pulang, sayang?

sms dari Han.

belum, aku masih klekaran di sini. mau jemput?

boleh. aku lagi cari sarapan di Ngesrep, habis main ke gombel. tunggu sebentar ya.

beja.

biasanya aku pulang harus jalan kaki dulu sekitar sekilo sampai ke jalan besar kalau mau pulang. di sini tidak ada ojek, dan aku tidak enak keseringan minta dianter suami mbak Atik, yang ngurusi sanggar. aku bisa saja mengacungkan tangan pada mobil atau motor yang lewat, numpang. tapi… ah, ngga keren blas. jalan sekilo aja kok pake nyegat kendaraan orang. aku bisa saja numpang peserta lain yang bawa motor atau mobil. tapi mereka biasanya langsung cabut begitu selesai kelas.

hari ini tidak ada mbak Endang, yang mungkin jadi penyebab tidak ada Evi GrEs, tidak ada Naning dan Evi SetBud. tidak ada gerombolan emak-emak sinting yang biasa betah ngobrol ngalor ngidul sambil ngetus keringet yang barusan sengaja diperas. padahal aku butuh ketemu mereka. seperti ayunan kaki dan tangan, dan lompatan, dan engkak- engkuk badan yang baru saja kami lakukan, dan musik menghentak yang menggetarkan kaca di sekeliling dinding kelas; aku membutuhkannya seperti mereka yang doyan alkohol menenggak minuman keras untuk sesaat membakar masalah di kepala.

jadi aku ngisis sendiri di samping jendela. mencoba menenangkan hatiku yang masih berantakan. aku memang sudah tidak menangis. mungkin air mataku telah habis keluar bersama keringat yang kualirkan setiap sore, mm… bisa kah? tapi aku masih belum bisa tersenyum, karena senyumku adalah palsu. tawaku dibuat-buat. dan aku masih belum bisa lagi bernyanyi, karena senandung yang keluar dari mulutku sesungguhnya adalah jeritan.

orang terakhir telah melambaikan tangan dan turun. aku menjejalkan lembaran baju senam yang basah dan bau ke ranselku. melongok sebentar ke arah parkiran, Han belum datang. tapi aku turun juga, harus membayar susu kotak yang tadi kupakai menenangkan perut yang belum puas dengan sebongkah donat.

ring ring…

‘ya… aku lagi mbayar, bentar ya..’
’sekalian beliin suara merdeka ya’

di mobil…

‘jadi dari tadi kamu belum ke kantor?’
‘belum, aku sudah pamit dan sekalian mengunjungi dealer gombel’
’sekarang kita pulang?’
‘lha kamu mau pulang atau mau ke mana?’
‘kamu ngga ke kantor?’
‘aku tetep ke kantor lah…’
‘katanya sudah pamit…’
‘pamit telat thok… bukan nggeblas sampai sore..’

yah, tiwas aku sudah seneng.

semangkuk soto di warung pak Niti, dan sebagasi penuh kasih sayang, mengisi perut dan hatiku, lalu kami pulang.

Han masih membaca koran sebentar. aku tengkurap di matras di depan tivi, ditindih Ar, dipeluk Ir, di dekat Ibit yang terpukau Oliver Twist.

sebuah kecupan di pipi membuatku membuka mata. menyadari tivi telah mati, anak-anak pergi menengok persiapan pentas wayang untuk apitan nanti malam.

‘aku berangkat..’

‘hmm..’

jam sebelas kurang seperempat. aku masih boleh merem seperempat jam lagi, sebelum masak sayur lodeh dan nggoreng tempe. toh aku cuma butuh 20 menit untuk itu.

hmm… hmmm…

Read more!

"Aku bawa kondom di dompetku" (3)

Wid melongo memandangku.

“Tapi nanti, setelah kita menikah. Karenanya, mulai sekarang aku tidak mau lagi kamu ajak nyepi begini.”

Dan Wid bernafas lega.

“Sudahlah Wid. Ayo kita pergi dari sini, dan antar aku pulang. Setelah itu kau pikirkan kapan kita menikah”

“What?”
“Aku tahu, menikah bukan hal yang sederhana. Juga bukan sekedar tempat kita melampiaskan hasrat. Tapi aku mencintaimu. Aku ingin menikah denganmu. Aku ingin melahirkan anak-anak dari benihmu. Aku ingin membangun keluarga bersamamu. Kita juga sudah sering membahasnya kan..”
“Er, pekerjaanku belum mapan”
“Kamu tetap lebih mapan dari pada pengangguran”
“Kita belum tahu mau tinggal di mana kalau sudah menikah. Paling tidak kita harus ada dana untuk uang muka KPR, atau…”
“Aku tidak keberatan tinggal di rumah kontrakan, bahkan yang petakan sekalipun”
“Kita tetap perlu beli perabotan…”
“Ah, yang penting ada kasur. Aku punya kalau cuma buat beli spring bed aja”

Wid terdiam, seperti bingung harus berkata apa lagi.

“Pernah dengar kata orang, bahwa orang yang menikah akan dibukakan pintu rejekinya?”

Wid mengangguk.

“Percaya?”

Wid diam.

“Aku percaya. Kenapa tidak kita buktikan saja?”

Wid meraih tanganku, “Aku rasa kamu benar”

Wid menghidupkan mesin mobil, dan membawa kami keluar dari parkiran taman yang gelap dan sepi ini. Ada kelegaan mengisi hati, dan ruang di sekitar kami. Aku tahu tidak akan mudah untuk berhenti, tapi aku tidak ingin melanjutkan kesalahan yang sudah kami buat, lebih jauh lagi.

“Wid…”
“Ya…?”
“Masih ada satu hal yang mengganggu pikiranku”
“Apa itu?”

Aku diam sejenak sebelum akhirnya kuutarakan, “Kenapa kondom harus dibikin berasa buah?”

*tidak bersambung lagi*

Read more!

"Aku bawa kondom di dompetku" (2)

Dan begitulah. Perlahan, di setiap pertemuan, sedikit demi sedikit aku dan Wid bergerak semakin jauh. Baik aku atau dia, setiap kali selalu berliput ragu dan saling menunggu. Tapi kami bisa merasakan bahwa kami berdua sama-sama ingin, sehingga akhirnya maju juga.

Walaupun aku berkata, “Aku tidak ingin melanggar janji kita, Wid”

Dan Wid menjawab, “Maafkan aku, seharusnya aku menjagamu”

Tapi tak urung langkah kami terus semakin jauh, sampai kami berhenti pada suatu titik dan sepakat, “Kita tidak akan melakukan yang satu itu”

Wid menepati janjinya, sejauh ini. Tapi sampai kapan? Aku bahkan meragukan pertahananku sendiri. Hampir di setiap pergumulan aku mempersiapkan diri kalau salah satu dari kami akhirnya melanggar janji. Untungnya, kami selalu berhasil berhenti tepat di belakang garis merah tipis yang kami buat.

Dan malam ini…

Malam ini ujung jari kaki kami telah sedikit melampauinya. Aku merasa sudah tiba saatnya aku mengeluarkan benda yang telah beberapa minggu terselip di dompetku.

“Wid. Aku tidak bermaksud membuatmu tersinggung. Jangan merasa begitu. Aku hanya mencoba menyisakan sedikit tindakan waras di tengah kegilaan kita. Kalau memang kita melakukannya, itu memang karena kita berdua menginginkannya, dan terlalu lemah untuk bertahan dengan janji kita. Bukan sepenuhnya tanggung jawabmu”

Wid, mendesah, resah.

Kuraih tasku, kukeluarkan dompet dan menarik bungkusan serupa vitamin C dosis tinggi dari salah satu sakunya. Kupandangi, dan aku tertawa geli sendiri, membuat Wid mau tak mau tertarik untuk melirik.

“Kenapa tertawa?”, tanya dia.
“Coba lihat ini. Rasa strawberry. Kenapa kondom harus dibikin berasa buah?”

Wid meraihnya dari tanganku, lalu ikut tertawa.

“Kenapa kamu beli yang rasa strawberry? Rasa duren pasti lebih enak”

Kami tergelak, dan kulihat ketegangan di wajah Wid mulai mencair. Kuambil lagi kondom rasa strawberry yang dipegangnya. Aku membuka jendela dan membuangnya, jauh ditelan semak dan gelap.

”Kenapa kamu buang?”, Wid bingung dengan tindakanku.
“Aku tidak mau, merasakan melakukannya pertama kali denganmu, dalam keadaan kamu bersarung kondom”
“Er, aku sudah berjanji. Aku akan menjaga janjiku. Karena aku ingin menjagamu. Aku menghormatimu. Kenapa kamu tidak yakin dengan aku? Kamu…”
“Sssst….!! Jujur ya Wid, sebenarnya aku tidak yakin dengan diriku sendiri. Aku ingin memberikan diriku seutuhnya kepadamu, tanpa melibatkan kondom.”

*masih bersambung*

Read more!

"Aku bawa kondom di dompetku" (1)

Wid berhenti menciumi leherku, mengangkat kepalanya, menatapku.

“Gila kamu Er!”

“Tidak, justru karena aku masih waras”

Wid memandangku penuh tanya.

“Kamu dapat dari mana?”

“Beli, di apotik”

“Kamu berani?”

“Kenapa tidak?”

“Mereka tahu kamu belum menikah?”

“Mana kutahu? Mana mereka peduli? Beli kondom tidak perlu menunjukkan surat nikah, Wid”

Tubuh Wid yang tadi tegang tampak mengendur – juga kelelakiannya yang tadi terasa keras menekan di bawah perutku. Kepalanya tertunduk, matanya terpejam. Kubrengkal tubuhnya yang menindihku. Dia bangkit dan duduk di sebelahku. Diam.

“Justru lebih gila kalau aku membiarkan kita melakukannya tanpa kondom”

Wid masih diam. Menggeleng. Mendesah. Mengumpat. Lalu membetulkan celananya.

“Kamu membuatku tersinggung”, katanya sambil beringsut, pindah ke jok depan di belakang setir. Menyandarkan tubuh dan kepalanya, lalu mengacak-acak sendiri rambutnya.

Kukancingkan lagi braku, dan blusku. Kunaikkan celana dalam yang masih tersangkut di pergelangan kaki kiriku.

“Tersinggung? What have I done?”, tanyaku sambil merapikan rokku yang tersingkap. Wid tidak menjawab. Aku berpindah ke jok di sebelahnya. Wid memijat di antara dua matanya, seolah menahan pening yang luar biasa. Aku memandang ke luar, membuang mata di kegelapan tak berbatas.

Untuk beberapa saat kami terdiam, tenggelam dalam pikiran kami sendiri-sendiri. Sepi, Hanya ada nafas Wid yang masih naik turun. Bersahutan dengan dengkur mesin mobil, dan desah halus blower AC.

Aku tahu kenapa Wid merasa tersinggung.

Ketika memulai menjalin hubungan, aku dan Wid sudah berjanji untuk menjaga kesucian cinta kami, tidak mencampuradukkannya dengan nafsu. Awalnya terasa mudah. Kami sebisa mungkin menghindari kontak fisik, bahkan sekedar untuk bersentuhan.

Sampai suatu hari ketika kami pergi nonton. Di tengah film Wid meraih tanganku, dan entah kenapa kubiarkan. Tidak kusangka efeknya begitu dahsyat. Aku seperti dihempas gelombang rasa maha hebat. Genggaman tangan Wid menggetarkan seluruh tubuhku, mendentumkan genderang di jantungku. Keluar dari theater, Wid menggandeng tanganku, sampai ke mobil.

“Aku tetap akan menepati janjiku, Er”, katanya waktu itu, “aku lebih takut kehilangan kamu, dari pada membiarkan nafsu liarku”

“Aku percaya, Wid. Terima kasih”

Tapi siapa yang bisa menjamin janji kami tak ternodai? Karena Wid lantas berani mencium keningku setiap kali mengantarku pulang. Dan aku mencium pipinya, dan itu terasa indah. Lalu gairah seperti mbedah. Ketika bibir beradu dalam kecupan kecil, rasanya seperti tersengat listrik 1000watt, dan nagih.

*bersambung*

Read more!

Saturday, November 15, 2008

"Aku bisa", jawabku.

Kulirik jam tanganku, pukul 15.57.

“Kamu di mana sekarang?”, tanya dia lagi.

“Masih di kantor”

“Kelasnya jam lima lho, keburu?”

“Insya Allah”

“Ok, jam lima ya. Tolong, soalnya aku bener-bener ngga bisa berangkat”

“Iya, aku berangkat sekarang juga”

Kumatikan komputer dan berbenah untuk pulang. Kalau aku cepat mungkin aku masih bisa naik bis.

“Lho, Di, mau ke mana?”, boss-ku yang melihat aku siap-siap pulang seperti tidak rela.

“Pulang, Pak”

“Itu bahan buat hari Kamis lho, jangan sampai ngga siap”

“Ini masih hari Selasa, Pak, santai saja. Saya ada perlu penting nih. Besok saya akan selesaikan, kalau perlu sampai lembur”

Punya bawahan ndableg sepertiku harus sabar, dan percaya. Untung atasanku sedang lega hatinya, dan dia cuma bisa bilang, “Terserah…”

***

Aku belum membawa kostum dan sepatu. Kalau naik bis, mampir ke kos… biar naik ojek juga sepertinya tidak akan keburu. Akhirnya kulambaikan tangan pada taksi pertama yang lewat di depanku.

“Ke atas, Pak. Ngebut”

Dan si supir benar-benar ngebut.

***

Jam lima kurang lima menit aku sampai di depan sanggar, argometer menunjukkan angka 47.800. Kuulurkan selembar lima puluh ribuan, “Ambil aja kembaliannya, Pak. Makasih”. Lalu setengah berlari aku menuju pintu sanggar yang setengah terbuka.

Sanggar sudah penuh. Beberapa member bahkan sudah berdiri mencari tempat. Aku bergegas menuju pojok ruangan tempat CD playernya. Tapi seseorang sedang jongkok di sana menyiapkan musik, dan sudah memakai baju senam. Itu… Tammy.

“Hai, Tam!”

Yang kusapa mendongak dan tersenyum, “Hai, Di. Oh, kamu datang. Monik bilang kamu tidak bisa, jadi dia memintaku datang. Kamu mau mengajar?”

Aku menggeleng, “Mereka tahunya kamu yang datang mengajar, udah kamu aja”, kuletakkan ransel, dan mulai kubuka jaket dan jeansku.

Aku membaca raut muka merasa tidak enak di wajah Tammy. Beberapa member berbisik-bisik sambil melihat ke arah aku dan Tammy, entah apa yang mereka bicarakan.

“Atau kita paroan yuk, nanti aku berhenti di low, kamu masuk ke high dan pembentukan”

“Ngga usah…. Aku sih kalau mau mengajar nyiapin bahannya satu paket. Kamu pasti juga. Kalau dadakan bawa separo-separo mana bisa sinkron?”, dan bagaimana bayarannya, separo-separo juga?– tambahku dalam hati.

Tammy mengangkat bahu dan menyalakan musiknya, “Yooo….k!!” teriaknya memanggil semua yang ada di ruangan untuk bersiap.

“Yoo…k!!”, teriakku menyahut sambil bertepuk tangan. Menyahut? Pura-pura. Karena sebenarnya aku ingin berteriak, “Kurang ajar kau Monik!”

Dadaku sakit rasanya. Marah, kesal, kecewa. Sebegitunya Monik tidak percaya padaku. Aku sudah bilang aku bisa. Dan aku jungkir balik supaya tidak terlambat. Dan aku naik taksi bayar lima puluh ribu, sementara dia cuma akan memberikan padaku fee-nya yang dua puluh lima ribu. Aku ngga peduli rugi buat menolongnya. Tapi tega banget dia mendatangkan Tammy, tanpa memberitahuku pula…

Aku bergerak mengikuti Tammy sambil menggigit bibirku dan berusaha tersenyum. Terserah, sebut saja aku cengeng, tapi aku memang ingin menangis. Aku sakit hati.

Sepuluh menit kemudian pintu sanggar terbuka pelan, Monik masuk dan berjalan menyusur tembok belakang, meletakkan tas dan melepas jaket, lalu mendekati aku.

“Hai Di, kamu datang jam berapa?”

“Jam lima kurang lima menit, seperti yang kujanjikan”, jawabku sambil terus bergerak, tak peduli Monik yang beberapa kali harus menghindar supaya tidak terkena ayunan tanganku.

“Sorry…”, katanya, “aku kira kamu tidak akan bisa sampai tepat waktu, soalnya pengalamanku sendiri kalau naik bis dari sana tidak akan cukup waktu. Jadi kupikir kalau….”

“UUUUH!!!” aku tidak mendengarkan Monik dan berteriak seolah membakar semangat isi kelas. Monik masih ingin berkata sesuatu, tapi aku tidak peduli. Aku terus melihat ke arah Tammy dan bergerak dengan tenaga yang mungkin bisa merubuhkan Monik.

Monik menyingkir, mengambil tempat di pojok belakang. Aku sempat melirik wajahnya yang gelisah. Peduli setan, aku yang harusnya bermuka tidak enak. Tapi aku terus berusaha tersenyum. Benar-benar tidak lucu bergerak sambil merengut. Aku terus menggigit bibirku, atau berteriak seperti orang gila. Kalau tidak, aku akan benar-benar menangis.

Break sebelum pendinginan Monik mendekatiku lagi, “Di, aku…”

“Sudahlah Mon, minggir. Aku mau senam, jangan ngeribetin”, sergahku. Dan dia mengambil air minum lalu kembali ke belakang.

Begitu selesai, aku langsung mengenakan jeansku dan menyambar ranselku. Aku tidak peduli baju dan badanku yang masih basah oleh keringat. “Tam, makasih ya. Aku pulang dulu. Sudah mau maghrib ini”

“Kamu naik apa, Di? Tunggu sebentar deh, aku antar”

“Alah, ngga usah… di depan banyak ojek. Yuk ya, dah”, aku melambaikan tangan sambil berjalan menjinjing jaketku, “duluan ya…!!” teriakku, yang dibalas lambaian tangan beberapa member yang sudah mengenalku.

Sambil berjalan keluar aku mengenakan jaketku. Monik agak berlari mendekatiku.

“Di, jangan marah ya. Sorry, aku bener-bener minta maaf. Karena Tammy sedang tidak ada kelas, aku pikir lebih baik dia yang gantiin aku. Kosnya cuma lima belas menit dari sini, sedang kamu harus…”

“Aku naik taksi. Dan kamu bisa kira-kira berapa ongkosnya. Mon, biar aku kasih tahu kamu satu hal. Fee sama sekali bukan tujuanku mengajar. Aku sudah cukup dapat uang dari pekerjaanku. Aku bersedia gantiin kamu karena aku sedang bisa bantu kamu, dan siapa tahu suatu saat aku yang butuh bantuan kamu. Tapi kamu ngga percaya banget sama aku. Tega kamu datengin Tammy, tanpa ngasih tahu aku pula”

“Aku…”

“Aku pulang dulu..”, dan kutinggalkan Monik yang tidak mungkin akan menyusulku keluar sanggar dengan hotpants dan sport bra.

Aku pulang berjalan, setengah berlari, dan membiarkan sedikit air mataku mengalir. Dan untuk sementara, kurasa, aku tidak akan menemui Monik. Aku bisa meledak.

Read more!

Friday, November 14, 2008

The stranger I've known

for this week's prompt in suncayscribblings, stranger
and I'm not worried about my bad English :D


***

The second our eyes met, time stopped. And I saw thousands fireworks sparkling, becoming an amazing background to a wonderful sight, as he walked to my direction in a slow motion. “Hi, I am Yusril’, he raised his hand to me.

“Kia”, I gave my hand to welcome his.

In my hart, I was still grumbling to the man who has sent me to this time and place. A Training for Health Database Management.

“But Sir, this is about health” I said.

“Yes, it is about working on health database. But what is required here is ability in using computer. That’s all.”, Mr. Heru tried to convince me.

“I don’t understand computer that much. All I can do is operating some programs”

“Oh that’s fine. We don’t need programmers. The program’s been built. This training is for trainer to work on the programs, which is about health data base management”

Mr. Heru isn’t my direct boss. He is the chief from the next room department, who has asked permission from my boss, to let me join this training, on his advice. Unfortunately, (or fortunately?) my boss said ‘yes’. “I like to see my kids improve themselves,” he said. O yeah, of course.

“Ratna said she wanted to go,” I still tried to find a reason for me not to go. Five days. If only the training would be held in one or two days, I’ll be glad to. But I never left my daughter Tiara, that long.

“O , I knew it. If I asked her, I’m sure she’ll say yes right then. But I prefer you to go. This training is a national level. We bring our institution’s name. There’s no way I will send Ratna”

“What is wrong with Ratna anyway?”

Ah, no need to answer, I already knew. She would be too busy hunting for men than concentrating on the training.

Now look at what’s happening here. This is a training for health database management. But aren’t we supposed to understand the components of the data? The first sessions was to generalize the perceptions of those. Mother’s mortality, baby’s mortality, K1, K4, preg-mom…

The training participants are doctors, nurses, midwives, masters in society health… I’m the only engineer. Along the session, I kept in silence.

“Kia, say something. Come on, what are you thinking?” the moderator of my discussion group tried to dig something from me.

“I’m sorry, sir. I’m trying to figure out some thing. These problems are much too complicated for me. My knowledge about this is just too shallow. This shallow”, I made a space of an inch with my thumb and my point finger, “What is K1? I don’t know what K1, K4 are. What I know is K-225. That’s a concrete mix with the pressure capacity of 225 kilograms per square centimeters”.

No body could hold them selves not to laugh. And they made a nickname for me: K1 engineer.

***

Day two lunch. Yusril was having the dessert for this meal time.

“Why are you using your left hand to eat?” I asked.

The answer sounded like an echo to words in my head.

“I think I am basically left handed. But old people were right hand oriented. The said left hand wasn’t right. So it’s kind of something I was pushed to. I finally write with my right hand, so badly. But I play badminton with my left hand. I do hard things such is hammering, sawing, with left hand too”

“I don’t mind to do thing with left hand, but I think you still should eat using your right hand”

“When there are spoon and fork, I’d hold the spoon with my right hand. But if there only a spoon, it will end up like this”, he showed me a little spoon he was holding.

You don’t have to explain, I already knew.

***

Third day, after visiting the people in the village, which was so tiring because we needed to walk to reach the house of the pregmoms (finally I understood the meaning: pregnant mom), we had to go right back to our class to work on the data we took. So we turned on our notebooks.

I peaked a little to Yusril’s wallpaper. A family photo. Him, a beautiful lady carrying a baby like 10 months old, and a boy of 7 years old who was so proudly showing his plane toy.

“Your family?”

Yusril nodded. I felt strange. I don’t know about this. I waited for a moment, may be some visions of Yusril family will come. But it didn’t happen.

***

Dinner.

I knew he would get some shrimp. ”my favorite”, He showed me the biggest one.

“I know”

“How do you know?”

Ya, how do I know? I just knew it. I knew you like shrimp. And I knew you don’t like football. I knew your shoulder was once wounded when you were playing badminton, that made you had to stop doing that sport. But I don’t know how I knew it all. I knew it, that’s all. I knew everything about you, except your name, which I knew because you mentioned it in our first met.

***

It was almost midnight. I was still watching television in my hotel room. National programs. This hotel doesn’t have Cable TV, I can not watch CNN, AXN, HBO, Cartoon Network…

I grabbed the remote controller and turned it off. I laid down and tried to get some sleep. I was so tired but could not close my eyes. I kept thinking about Yusril. No, its not Yusril I was thinking of. But me, how suddenly I knew everything about him. I really didn’t understand. I was so sure I never met him before.

My cell phone rang. Sindhu.

“Hi honey, still awake?”

“I’m trying to sleep. What about you?”

“Soon. I’m still watching a film. How was the day? Tired?”

“Quite. We did a field trip today”

“Take a rest. I don’t want you to be sick”

“OK”

“Good night Kia, Love you”

“Good night, Sindhu, love you too”

I usually called Sindhu. I didn’t know why I forgot to. The day was so crowded. And my head was full of my can-not –understood thought about Yusril…

***

Last day. A tour. Beach. Nothing I like more than beaches. I love beaches. Especially the clean ones. So I could walk barefoot along the sandy shore. And felt the waves came over and splashed on me. And the cool wind blew my hair. Some times it was too strong I had to struggle to stay standing.

But this time we sat. Afar from the water, under the palm tree. Yusril was sitting beside me, holding a cola can he bought from an old lady who didn’t stop following us

“Kia, I wanted to asked you some questions. But I apologize if it made you feel uncomfortable”

“What is it?”

“Have we ever met?”

“I don’t think so. Why?”

He took a breath, and went on.

“Where did you spend your childhood?”

Malang, you?”

Bandung”, of course, the answer was just another echo in my head.

“So we’re not childhood friends”

“No”

“But why do I feel I’ve known you?”

I looked at him. I looked into his eyes and found confusions as I was feeling.

“Oh really? Why are you feeling that way?”

“Suddenly I know everything about you. I know what you like and what you don’t. I know your habits. I know everything. This kind of… bothering”

I could not say a word.

“Kia, forgive me, but can I see your back?”

“Yus, you know it’s indecent”

“Ya, ya, I know. I’m sorry. Just tell me then. Do you have a scar, there, cut with a knive by your sister when you both were playing cooking?”

Oh my God. What’s happening to us? I drooped. I felt like I’ve known this guy all my life. A stranger I met few days ago.

“Kia. Answer me”

“Do I have to? I believe you already knew it, though I don’t know how”

“Are you experiencing this strange feeling too?”

“Ya”

For a while we didn’t say a thing. Drown in our own thought. Trapped and mixed up in confusions

“Kia”

“Ya?”

“I wanted to tell you this, but I was afraid I might upset you”

“Just say it. I think whatever you wanted to say, is already stick in my head”

“I don’t know why I feel I’ve known you, to the details. And this is so confusing. I mean, we really never met before, did we?”

“I don’t thing you know me to all details”

“What do you mean?”

“I know your knowledge about me stop at a point of time. You don’t know anything about my husband, my daughter, my marriage. You know nothing about my life after I got married”

“Is that what you…” he didn’t continue his sentence, he didn’t need to.

“What’s happening, Yus?”

“I don’t know. I don’t know. What confused me most, and made me so not comfortable at the same time, is, the feeling that, I don’t know when, some time in our past, you are… my wife”

I stared at him. I never thought he would be able to say that.

“I only got married once. With Sindhu, my present husband”

“I know. I also got married once, with Dewi, my present wife. I just don’t understand. I… I….”

Suddenly my tears fell down my face. I didn’t know what tears were those. A huge happiness filled my heart. A happiness cause I felt like I’ve found some one I’ve been waiting for, for hundred years. Hundred years…. Oh I’m 27 and I felt a longing paid off after hundred years! But at the same time I felt pain. This guy was surely nobody. He was just a guy who came to me few days ago, raised his hand and said his name.

I laid my head on his chest. Closed my eyes. But I didn’t sleep. I could feel him kissing my hair. May be he thought I was sleeping. Or he knew I wasn’t so he did that? I didn’t care. I only wanted to stay in that moment, a moment I didn’t know if I will ever have a chance to find again or not.

I’ll go home and back to Sindhu tomorrow, and may be I’ll just forget all this weirdness. Or I'll keep thousands questions stay in my head.

Read more!

Wednesday, November 12, 2008

08.45 dan message sent….

dan delivered.
tapi tidak ada balasan. aku menunggu. sejam…. dua jam…
aku ingin menelepon. tapi sms pun tidak dijawab, apalagi telepon?
dial. calling. dan tidak diangkat.
….
3 jam… 4 jam… seharian.
begitu sibuknya kah kamu, mas? aku ingin mengajakmu makan siang. aku ingin wadul, ada orang yang menyebalkan. aku ingin cerita, ada hal yang menyenangkan.
….
hari ini sepi, kamu sama sekali tidak bisa dihubungi.
….
15.30 dan aku harus pulang. aku ada kelas jam 17.00 aku tidak ingin terlambat dan membuat kelasku menunggu.
‘aku pulang duluan ya…’ dan message sent, dan delivered. tapi tetap belum ada jawaban.
….
20.00 dan aku terkapar. sudah kutumpahkan jenuh dan kesalku, dengan meluapkan energiku, bergerak dan berteriak. mandi air hangat meluruhkan lelah, menyisakan kantuk menggelayutiku.
….
dari handphoneku terdengar michael buble menggumamkan ‘save the last dance for me’, masku menelepon.
‘sudah tidur?’
‘hampir’
‘bisa tunggu? aku ingin menculikmu’
….
21.22 dan kami duduk di bangku milik penjual nasi goreng pinggir jalan langganan kami, menunggu pesanan kami jadi.
‘maaf, hari ini aku sibuk sekali’, katanya sambil memainkan rambutku,’ tapi aku masih ingin menghabiskan sedikit waktu denganmu’
aku diam, memandang wajah lelahnya, mendengarkan cerita penat harinya.
….
terima kasih, mas. setidaknya terbayar sepiku tanpa sapamu hari ini….

111008 Read more!

matanya berkaca-kaca menggenggam tanganku…

“anakmu berapa ndhuk?”
“tiga,budhe..”
“katanya ada yang kembar?”
aku mengangguk, dia memeluk.

aku telah menemukan yang kucari. tapi aku ragu apakah aku masih ingin menemui.
“dan dia, berapa anaknya budhe?”
dia menggeleng, “dia belum menikah, ndhuk. sudah dilangkahi adiknya, tapi dia masih belum mau juga. aku ndak tahu dia nunggu apa..”

aku telungkup di pangkuannya. perempuan setengah baya yang sudah lebih dari tujuh tahun tak kusapa. perempuan yang pernah menjadi tempat aku berlari ketika tak ada siapa-siapa. yang menyuapiku dengan nasi thiwul gurih asin. atau mendongengiku tentang ‘jakarta’. sambil dia menyibak-sibak rambutku mencari kutu. membuatku aku terkantuk-kantuk di pangkuannya, di bawah teduhnya pohon jambu.

air matanya menetes menjatuhiku, sedang milikku membasahi pangkuannya.
“aku senang melihatmu bahagia ndhuk. doakan kakangmu itu…”
“sampaikan salamku padanya, budhe. aku minta maaf, kali ini aku tidak cukup waktu untuk menemuinya”

sedang sesungguhnya aku tahu aku tak akan sanggup. aku takut dia tidak akan mau menemuiku, seperti dia tidak mau hadir di pernikahanku… entahlah, aku juga tidak yakin aku akan cukup kuat melihatnya. seperti beberapa tahun yang lalu ketika aku bergetar melihat tubuh pendeknya memikul tabung gas di kios di pasar kulon…

apakah aku telah menjadi sombong? apakah dia menjadi rendah diri? sialan, kenapa harus tercipta jurang ini?

karena semua hal telah menjadi berbeda. karena masa telah mengubah manusia, juga kami berdua. betapa aku ingin bersikap biasa saja, seperti anak-anak yang berteman tanpa prasangka. tapi jangan tanya, aku tak yakin aku bisa…



101008

Read more!

Hening di sepanjang perjalanan....

Kugenggam tanganmu tak ingin kulepaskan. Karena hari telah berlalu begitu cepatnya, dan melewatinya bersamamu membuatnya tak terasa….

Berbulan berharap akan sebuah pertemuan, bersabar dalam penantian. Telah kudapati waktu akhirnya aku bersamamu. Walau hanya sesaat duduk di sampingmu, berbicara tentang hal tak tentu. Menghirup teh yang tak terkecap rasanya oleh lidahku, karena aku lebih menikmati wajahmu..

Menumpahkan rindu yang lama tertahan. Melimpahkan rasa yang tak pernah terungkapkan. Hanya mengalir bersama setiap perkataan, dihayati bersama setiap tatapan, diresapi tanpa sedetik terlewatkan. Oh waktu, masihkah kau berpihak padaku?

“Kenapa waktu begitu cepat berlalu?”, tanyamu.

Karena kita telah begitu lama menunggu. Dan seolah yang kita miliki ini tak akan pernah cukup untuk membayar penantian itu. Karena kita tak tahu bagaimana melewati waktu, hingga dapat tercurahkan semua dendam selama aku jauh darimu…

Taksi telah berhenti di depan terminal 1A. Kau tuntun aku turun dan berjalan di selasarnya.

“Masih ada tiga puluh menit sebelum kau harus check in”, katamu.

Dan aku, seperti juga kau, tak akan membiarkan waktu itu hilang tak berguna. Aku masih ingin bersamamu. Aku belum ingin meninggalkanmu. Aku…. tak pernah ingin meninggalkanmu. Jadi kubiarkan kepalaku rebah di dadamu. Terdiam tanpa kata. Karena kata tak akan bisa mewakili perasaan kita. Kebahagiaan yang telah tereguk beberapa saat lalu. Ketakrelaan hati membiarkannya usai. Kegundahan hati terbayang berbulan penantian lagi…

“Kau harus pergi”, katamu.

Dan aku hanya bisa menatap matamu. Yang menghujam jauh ke dalam lubuk hatiku. Melebihi keindahan semua kata yang ada di dunia. Mengatakan betapa dalam perasaan yang kau punya. Dan tak pernah kau minta aku berkata kau pun telah mengetahuinya, bahwa aku merasakan yang sama.

Kau raih kepalaku, dan kau kecup lembut keningku.

“Terbanglah, sayang. Kau akan bawa sebagian diriku bersamamu”, katamu.

Dan sebagian diriku kutinggalkan bersamamu.

Berlari aku meninggalkanmu, atau aku akan terpaku tak pernah sanggup meninggalkanmu. Melambai kepadamu yang tak henti menatapku hingga pandangan tak lagi sanggup beradu.

Telah kau penuhi hatiku hari ini, akan kusimpan setiap detik kenangan kebersamaan. Menjadi pegangan jika nanti kembali aku dihempas kerinduan. Karena entah kapan, kita bisa lepaskan rindu dendam…

*Bandara Soekarno Hatta, 2 Nopember 2008*

Read more!

ini ruang rapat atau ruang sidang pengadilan?

bukan keduanya

ini adalah neraka, bagi jiwa yang sedang kau injak-injak harga dirinya. betapa kau menikmati suasana perang dan pertentangan. dan melihat orang lain bisa kau permalukan.

tak kau lihatkah raut yang gugup gelisah kehilangan kata? oh kau pasti melihatnya, karena itulah yang kau ingin lihat. karena itulah yang kau ingin semua orang lihat. dan kau bisa tambahkan kata pedas menjatuhkan. yang memerahkan telinga dan memadamkan wajah. menunjukkan ‘kelemahan’, ‘kesalahan’ dan ‘kebodohan’ seseorang?

demi Tuhan semua yang hadir tahu siapa yang lemah, salah dan bodoh.

‘aduh dik… ini apa… suasana apa ini…?’
‘tutup kupingmu mbak… jangan dengarkan…’
‘aku banyak pekerjaan dan dia menyuruhku duduk di sini melihat tontonan tidak mengenakkan ini?’
‘pergi mbak, garap kerjaanmu’

tak tik tuk tak tik tik tuk tak tik tuk…

jari-jari yang asyik bermain di tuts handphone di genggaman masing-masing. bercakap tentang entah apa dengan entah siapa entah di mana. duduk di sini pikiran mengembara. muak dengan suguhanmu yang menjijikkan. tak tega tengadah menatap korban kebengisan hatimu yang sakit.

hingga kapan kau berada di situ, menatap sinis bicara sadis mengintimidasi? hingga kapan kau punya kekuatan itu, hingga kapan kau genggam kuasamu?

aku tidak bisa pergi dari sini. jadi aku akan bertahan denganmu, tinggal dua tahun lagi.



221008

Read more!

Pukul 12.20

“Aku ngantuk, Yud”, aku memeluk Yudi dari belakang dan menyandarkan kepalaku di bahunya.

“Tidurlah”

“Aku masih ingin menungguimu bekerja. Masih lama kah?”

Yudi mengangguk, “Kamu tiduran dulu aja di sofa, jadi bisa tetap menungguiku bekerja”

Perlahan kulepaskan rangkulanku, kukecup rambut Yudi. Yudi memutar kursi kerjanya hingga dia menghadap ke arahku, mengecup hidungku, dan membiarkan aku berbaring di sofa.

Yudi mulai bekerja lagi. Aku tak terlalu mengerti apa yang dikerjakannya. Tak mengerti sama sekali malah. Aku hanya tahu bahwa ada saat dia mengerjakan sesuatu yang menuntut konsentrasi penuh dan tak boleh putus sama sekali. Jika itu terjadi, dia mungkin harus mengulang lagi semuanya dari awal. Aku tidak mau. Selain kasihan Yudi yang jadi tak selesai-selesai pekerjaannya, itu berarti waktu untukku akan semakin sedikit tersisa.

Aku masih melihat dia mendongak, manggut-manggut, menggaruk kepala, sedikit corat-coret. Hanya beberapa saat….

***

Kurasakan kecupan lembut di antara dua mataku. Kubuka mata dan kulihat Yudi tersenyum lembut.

“Uhm…. sudah selesai?”

“Aku ngantuk”, katanya.

“Kenapa tidak tidur?”

“Ya, tapi aku ingin tidur sambil mendekapmu semalaman. Kalau di sini, aku takut jatuh”

Mau tak mau aku tersenyum dalam kantukku. Yudhi menyusupkan tangan kirinya ke bawah leherku, dan tangan kanannya kebawah lututku. Aku melingkarkan tangan dan menyusupkan wajahku ke lehernya, membiarkannya mengangkat dan membawaku ke kamar.

Kulirik jam dinding, sudah jam 02.45. Tidak tepat semalaman, tapi paling tidak aku masih punya dini hingga pagi hari ini, tidur dalam dekapan kekasihku.



181008

Read more!

Friday, October 31, 2008

the wait

warning, before continue reading, let me first apologize for every mistake I might make, writing in English. I'm just an Indonesian who loves to write...

this is for sundayscribblings this week's prompt, scandalous


Her agitation was raising up. She could no longer count how many times she sat, and stood, and sat again , and stood again. On the edge of the bed, on the chair in the living room, in the guest room…. Walking here and there from her room to the kitchen. Then back to her room again. Turned on the tv, to l eave it to stand next to the window. Then went back to the room an turned off the tv. And sat again

She looked at her phone cell. It didn’t ring. No calls nor messages. She checked out every five minutes. But off course still nothing. Because if there was any, that thing would have rang. She thought may be her phone was error. SO she turned it off and opened the case. She took the battery, and the chip. She cleaned them although she knew they weren’t dirty. She put them on, and turned it on. And checked again like every minute, but nothing changed.

She grabbed a novel she bought few days ago. There are times reading could kill time. But some times it doesn’t help at all. Like this time. Her fingers have opened few pages, but then she realized, nothing has got into her head. Not even passed by. SO she started from the last point she could remember. Again and again. Her eyes were reading, but her heart and mind were flying away……

She look at the clock on the south wall, right in front of the chair she was sitting on.. Why did she feel it didn’t move? Was it broken? So she looked at her watch, it showed exactly the same. The clock on her phone cell showed two minutes earlier. Forgivable deviation. So the clock was not broken, there was no way all clocks in this house were broken.


***

Dina realized who she was. Her position. Her situation. This was her choice, and she understood all the consequences.

Dina also realized who Juna was. His position. His situation. And this was a part of her choice.
Juna once reminded her about this.
“I just want to make sure you understand the situation”
“I knew it all, Jun. Every single thing”
“Not just knowing, but understanding”
“I understand”
“The choice we made, the consequences…”
“I unerstand that too, and I will face it”

Juna stared at the woman’s eyes. There sadness, surrender, hopes, and indescribable love. Dina stared at the man. There are pity, protection, promises and abundant affection.

“I only wish for your happiness, Din. If this will just hurt you, I will surely refuse to do”
“What made you think I will suffer? My happiness may not bo complete. But if you leave me, you will just take it all away, and nothing left for me”


They never stop communicating. Juna called and sent messages any time he could. From jokes to sigh. From seduction to anger. Ah no... he never was angry. May be he was, but he never showed it. He always said, “It’s ok…”. It was Dina who some times sulked. But Dina always remind her self not to, because it was a part of the consequences of her choice. Juna never talked about it though.

Dina knew exactly who Juna was. His activities as a big businessman has left so many littla time for them to meet. Because, even for his first wife, Juna only had so limited time. Juna run his business from Jakarta, While his wife and three children lived in Yogya. Juna never styed in the same place in a day. In the morning he was in Ciputat, at the afternoon he called he sent a message telling he was on the way to Bogor. Mid night when Dina said good night, Juna may be in Jakarta again, preparing for a meeting the next day.

But physically, Dina had to accept that Juna’s time for her is almost not there. Her days waiting, some times only paid off with one hour or two being together. And she accepted it.

***

Like today. She’s been waiting for two weeks, and Juna said they could meet today. He is having a meeting in bogor. He said before his flight to Yogya, he would meet her. When Juna said it is a meeting, Dina would never called him. He would let her know when he’s done.

But it’s been four hours since the last message Juna sent before the meeting. Dina wanted to remind Juna, could he forget. No, he never did. But four hours... he never did a meeting this long. Dina didn’t want to upset him. No, Juna would not be up set. He will just answer shortly: Still in meeting, I’ll call you. Luv you.


Suddenly Dina shocked by the vibration of her phone cell. Juna! No. It’s her mother. Not that she wasn’t happy her mother called, but she was hoping for Juna’s call.

“Halo, Dina?”
“Halo Mother”
“I just finished shopping in Pasar Minggu. I’m about to go home, Can I stop by?”
“Not now, Ibu..”
“Why? Ah… Is Juna there?”
“Mm… yeah…”
“I also want to meet him”
“You did once…”
“It was so long ago”
“Mother, I don’t want to be selfish. But Juna’s time for me is so little. He has to fly toYogya at five. If you come here we won’t be able to…” Dina pretended she was shy to continue.
“Ok, I understand. I’ll go straight home then”
“I’m sorry Mother. Soon as Juna go, I’ll visit you, I promise”
“NO need to hurry”
Quite for a while
“Din, I’m glad he visits you”
“What do you mean?”
“You know what I mean, dear. I’ve always worried that he wouldn’t give you enough time. I can’t imagine how would you be if he desert you”
“Mother, what are you talking about? No body deserted me. Do you want to talk to Juna?”, her beats fast when she offered this. She was afraid the her mother would say yes, but no, she said,
“No thanks. Just tell him I said hello. Be good, ok?”
“Yes, mother”

***

Dina took a deep breath, relieved. She laid down on her bed. Then cuddled up holding her phone. Tears she’s been holding while having conversation with her mother, shed right at the time. Lying to cover her pain, is much more painful than the pain it self.

No, mother. Juna is not here. I’m just waiting for him to come. And I don’t want yo to see me like this. If it was not because my love to Juna, I would call all my willing to hold on, an insanity…


Her mother would never accept if her daughter is left. They’ve talked about this also, before. She almost said no, when Dina told her she wanted to marry Juna.

“Being the second wife is not easy. Moreover with his first wife not knowing about this”
“I know that, mother. But I won’t ask for too much. Juna will not give her wife less than before either. I don’t want to hurt other woman’s feeling. I’m ready for whatever I will have to face”
And her mother hugged her tight.

***

A knock on the front door woke her up from her thoughts about her mother. She hurry up wiped her tears. Juna should not se her crying. Few steps forward, Dina went back to the bath room. Tissue paper is not enough to wipe this. She washed her face, and walked to open the door.
And this was who stood in front of her . a young man with a flower bouquet for her.

“Miss Dina? Mister Arjuna sent you this”, He smiled as he was happy too, for a flower full of love for lovers.
“Thank you very much”, she brought the flowers in. she read the card between the flowers: ‘for my rainbow, with all love, Juna’


With all questions, doubt, disappointment and hopes mixed up in her heart, Dina put the bouquet into a big glass filled with water. Dina didn’t have any vase. This was the first time Juna sent flowers.

The phone rang, this time from Juna. Dina look at the clock before she picked it up. It’s 16.20. At five the plane that will take Juna meet her family in Yogya will board. Is Juna there on the way here? Or is he already standing in front of my door and called to play a joke?


“Halo”
“Halo, Dina, dear”, Juna sounds so weary.
“I‘ve been waiting, the meeting was so long”
“Yes. I’m also a little upset about that. It was so hard. I just finished, two hours much longer than I predicted. I thought I could see you before I go to the airport, but it’s almost half to five now. My plane will be boarding at five. I’m in the toll way right now. I’m sorry I didn’t make it. Oh, by the way.. I had a chance to order…. halo… Din?”
“Yeah.. yeah.. I can hear you, Jun. Your flower are here, thank you”
“Oh really? That fast? Do you like it?”
“I do. Beautiful. I was surprised. You never did this before, thank you very much”
She can here Juna sighed out there. Sound like he thought he just did a romantic thing.
“Thank God, I hope it can substitute my presence this time. I’m sorry. I’ll try my best to come some other time”
“Sure, have a nice trip…”
“I’ll call you later”
“yes, don’t forget”
“Din, I love you”
“I know, bye..”

And I love you too, Juna, I love you very much.
Dina hang up the phone. She closed her eyes tightly, hoping the tears wouldn’t flow. But it was no use. This is the real pain. Dina was so afraid that after this she really has to buy a vase, because Juna will often change his presences with flowers……

***

Dina looked at the mirror once again, to make sure there wasn’t any sign she just cried. She has prepared the happiest smile to show to her mother.

“Halo, Mother, Juna has left. I’m going your house now”
“Is Juna driving you?”
“No mother. We are going different ways. He would miss his plane if he has to drive me to you first. I’m taking a taxi”
“Ok, fine. I’m waiting”
“I’m going now. And oh, mother, Juna said ‘hi’ to you”

Read more!

Tuesday, October 14, 2008

par, di mana kamu?

ini sudah entah lebaran ke berapa belas kita tidak berjumpa. tiba-tiba aku pengen ketemu kamu, tapi tak ada yang tahu kabarmu.

par, masih ingatkah kamu padaku? aku tahu aku mengenalmu sejak bayi, tapi momen pertama yang kuingat tentangmu adalah hari itu, ketika kamu masih rembes bangun tidur, dan aku dengan semangat berangkat di hari pertama sekolahku.
‘ayo par, sekolah, biar pinter…’
tapi kamu masih saja jongkok di depan pintu, cemberut.

par, apa kabarmu? kepalaku masih penuh dengan kenangan masa kanak-kanak kita. saba kebon mencari bekicot, memanjat pohon jambu, perosotan di lumpur di dekat sekolah, mencuri singkong di pekarangan sebelah, balapan cepet-cepetan sampai di rumah, blusukan di hutan mencari kayu, jelungan, bancakan, betengan… berantem.

par, pernahkah kau merasa kehilangan aku? karena aku begitu. aku benci masa remaja yang mendatangi kita, merenggut mu yang jadi malu terlihat bersama. kenapa harus peduli? apa salahnya berteman dengan perempuan? harusnya kamu biarkan saja anak-anak itu menuduh kita pacaran. aku tak pernah keberatan, karena kita yang tahu yang sebenarnya. tapi kamu menjauh… menjauh…

par, kau ke manakan kecerdasanmu, yang kau bagi bersamaku setiap kita belajar bersama nunik, gatot dan yang lainnya?

par, kau apakan ketrampilanmu, yang kau berikan kepadaku setiap kali kau buatkan mainan untukku?

par, kau simpankah keras hatimu, yang tak pernah mau mengalah ketika beradu pendapat denganku?

par, masih adakah senyum pelitmu? masih adakah cemberutmu?

par, di mana kamu?

Read more!

dadaku masih sesak oleh kesalku

Tenggorokanku sakit menahan tangis. Ya ampun, aku pengen nangis. Tapi masak sih sampai harus menangis?

Yoyok duduk saja di depanku. Tidak mencoba menenangkan atau menjelaskan apa pun. Padahal aku yakin sekali dia tahu kejengkelanku karena dia lupa membawakan pesenanku.

“Kamu selalu begitu. Dipesenin satu aja kok ya lupa. Yo mesti, karena itu bukan kepentinganmu, ya kan? Karena buatmu ngga penting, makanya ngga nyantel di pikiranmu. Tapi bagiku itu penting. Kalo aku ngga dapet senarnya sekarang aku ngga bisa benerin tas Mbak Eny lagi, soalnya besok kita sudah harus berangkat. Dan aku udah janji sama Mbak Eny aku akan selesai sebelum kita berangkat. Itu tasnya mau dia bawa mudik juga….”

“Aku tahu…”

“Kalau tahu kenapa ngga dibeliin juga?”

“Aku lupa..”

“Ya kenapa bisa lupa?

“Ya aku ngga tahu, namanya lupa ya lupa aja…”

“Memangnya apa sih yang kamu pikirkan, sampai pesenan satu aja ngga inget? Tadi pagi aku kan sudah nanya, bisa ngga? Kalau ngga bisa biar aku pergi sendiri, tak berangkat sendiri, tak beli sendiri. Numpak angkot ngga masalah yang penting pesenannya Mbak Eny bisa selesai tepat waktu. Tapi kamu bilang ngga usah ngga usah! Puasa, kasihan kamu panas-panas. Biar aku beliin, nanti kamu benerin sebentar habis buka. Ya emang sebentar, habis buka bisa. Tapi kalo barangnya ngga ada kan jadi ngga bisa….”

Yoyok cuma diam menghela nafas. Sebenarnya aku juga tahu banyak yang dia pikirkan. Akhir bulan selalu menuntut dia jungkir balik menyelesaikan pekerjaan sebelum tutup buku. Apalagi ini tutup bukunya maju karena akhir bulan perusahaan sudah harus libur lebaran.

Tapi aku tetap saja jengkel. Maksudku ya itu tadi, kalau memang tidak bisa aku tak beli sendiri, tapi ngga boleh. Sekarang?

“Tadi siang aku tu ngga ngapa-ngapain. Cuma menata baju yang mau kita bawa besok. Udah. Seharian bengong, nonton tivi, mau main tetangga sudah sepi. Coba tadi aku pergi sendiri kan ada hasilnya. Harusnya aku ngga usah nitip kamu”

Yoyok masih diam saja. Malah menyambar remote tivi dan menyalakannya.

“Mas!”

“Apa…”

“Kamu ini lho. Kok malah nyetel tivi”, uuuhhhh… Jengkelku semakin menjadi.

“Lha gimana? Aku disuruh apa?”

Kurebut remotenya, dan kumatikan tivinya.

“Anter aku beli senar”

“Masih buka? Katamu tutupnya jam empat…”

“Di toko yang satunya, di Peterongan. Agak mahal, tapi buka sampai jam delapan”

Yoyok berdiri, mengambil kaos yang tersampir di kursi makan, dan kunci motor yang tergantung di paku di kusen pintu kamar.

“Ayo..”, katanya.

Aku masih duduk di tikar, memegang bantal yang tadi kugebuk-gebukkan ke badan Yoyok saking jengkelnya.

“Lha kamu ngga ndang cekat-ceket gitu malahan. Ayo, selak tutup. Ini sudah setengah delapan”

Yoyok mengulurkan tangan membantuku berdiri.

***

“Kalau masih ada jalan keluar, kenapa sih harus marah-marah begitu?” tanya Yoyok di perjalanan.

“Habis aku jengkel”

“Aku kan sudah minta maaf. Aku bener-bener lupa. Bukannya mau gagalin rencana kamu yang sudah thirik-thirik itu..”
”Ya aku merasa dikesampingkan aja. Wong pesen satu barang aja kok sampe lupa. Kebangeten”

“Ya aku kan ngga sengaja. Seharian aku dikejar-kejar dealer dan customer… Trus kalau kamu marah-marah, apa senarnya muncul begitu?”

Aku meninju punggungnya.

“Lha mbok dari tadi langsung ngajak berangkat beli kan bisa. Dan ngga kemrungsung kaya gini, bisa agak gasikan. Aku sholat maghrib sebentar trus berangkat, kan agak longgar”, kata Yoyok lagi.

“Habis aku jengkel…”

“Jengkel kok dipiara…”

Yoyok meraih tanganku dan mendekapnya di dadanya. Aku menyandarkan kepala di punggungnya. Mbuh lah. Nanti kalau sampai di Peterongan tokonya sudah tutup, aku akan langsung telpon Mbak Eny, minta maaf karena ngga bisa benerin tasnya hari ini. Mudah-mudahan dia mau mengerti.

Eh, tapi tentu saja aku harap tokonya belum tutup!

Read more!

"Bowo!" (6)

Lobi sudah sepi. Tinggal beberapa anak semester awal yang masih setia menanti. Aku sudah selesai dari tadi, tapi aku menunggu Ranti. Dia dan Susan mendapat giliran terakhir menghadap Pak Heru.

Perasaanku tak karuan. Aku tidak tahu harus bangga atau malu dengan keputusanku yang tiba-tiba terlintas ketika tadi melihat Ranti lagi. Aku lelah mencoba tegar menjadi martir. Aku mengira selama ini aku melindung Ranti dari kemungkinan sakit hati ketika harus berhadapan dengan Papi dan Mami.

Tapi yang ada aku menyakiti Ranti lebih awal, kurasa. Dan aku menyakiti diriku sendiri. Aku tidak tahu apakah Ranti masih memikirkan aku seperti aku memikirkan dia. Aku tidak tahu apakah selama enam semester kami tidak lagi akrab, sudah ada lagi yang menyinggahi hatinya. Yang kulihat dia masih selalu bersama Susan ke mana-mana.

Aku merasa jahat, tapi aku berdoa dia masih belum menerima siapa pun menjadi pacarnya.

Pintu ruangan Pak Heru terbuka, jantungku berdegup kencang memandang ke arah itu dan melihat Ranti dan Susan keluar dengan wajah cerah. Rupanya kartu puas sudah di tangan.

Ranti melihat ke arahku dan berbisik kepada Susan, yang mengangguk, lalu pamit untuk pulang duluan.

“Kita ke kafe aja yuk”, ajakku. Ranti hanya menangguk dan berjalan mengiring di sampingku menuruni tangga menuju kafe di belakang gedung.

***

Kami duduk berhadapan, menghadapi botol coke kami masing-masing. Kikuk, aku tak tahu bagaimana harus mencairkan kebekuan yang memerangkap kami kali ini.

“Ran, aku mau minta maaf”

“Soal apa?”

Ranti, kamu tidak mungkin tidak mengerti yang kumaksud.

“Tentang perkataanku di depan perpustakaan waktu itu”

“Ah, itu sudah lama sekali. Aku sudah melupakannya”

“Aku tidak. Dan aku menyesal mengucapkannya. Aku ingin menariknya kalau bisa”

“Untuk apa? Tidak ada yang perlu disesali. Jangan khawatir, aku baik-baik saja kok”

“Tapi aku tidak. Dan aku ingin memperbaiki kesalahanku. Aku minta maaf karena telah menjadi pengecut dalam cinta kita. Memikirkan diriku sendiri, memikirkan orang tuaku, tapi aku tidak memikirkan kamu”

Ranti terdiam memandang keluar. Matanya berkaca.

“Aku pikir aku melindungi kamu dari kemungkinan buruk yang akan mendatangi kita. Tapi sebenarnya aku adalah pengecut yang tidak berani menghadapi rintangan yang harusnya kita hadapi bersama. Aku justru melepaskanmu. Aku minta maaf. Kau mungkin tidak tahu alasanku mengatakan hal itu saat itu. Aku… waktu itu… tidak berani mengungkapkannya terus terang padamu. Aku…”

“Aku tahu waktu itu kau tidak jujur Wo. Tapi saat itu aku juga belum tahu alasanmu sebenarnya. Apa pun itu, aku yakin kau melakukannya demi kebaikan. Jadi tidak pernah ada sakit hati. Kamu tidak perlu minta maaf”

Sesaat rasa lega merambatiku. Mungkinkah Ranti selama ini bersabar menunggu saat ini tiba? Sebegitukah pengertiannya? Betapa aku ternyata sama sekali belum mengenal Ranti.

“Syukurlah. Sekarang, masih mau kah kamu memberi kesempatan kepadaku?”

Ranti memandangku menahan sesuatu. Harusnya dia tersenyum bahagia. Harusnya dia berkata ‘ya’ dan memelukku. Atau paling tidak meraih tanganku. Tapi dia hanya tersenyum tipis.

“Maaf kan aku,Wo. Aku tidak yakin aku bisa”

Petir serasa menggelegar menyambarku, menyadarkanku akan harapan yang tak terwujud.

“Kenapa? Apakah sudah ada… Ah… ya ampun. Aku minta maaf. Betapa bodohnya aku mengira selama ini kamu masih memikirkan aku”

Aku malu.

“Bukan begitu, Wo. Tidak ada siapa-siapa. Hanya saja, suatu saat, aku tiba-tiba mengetahui alasanmu sebenarnya mengambil keputusan itu”

Aku memandangnya penuh tanya.

“Ya. Tanpa sengaja aku mendengar pembicaraanmu dengan Rizal tentang kakakmu, dan aku. Aku mengerti sekali. Dan itu semakin membuatku rela dengan keputusanmu”

“Ran…. Itu keputusan bodoh yang kubuat. Tolong jangan ingat lagi. Lupakan. Aku… Aku ingin kita bersama Ran. Aku tidak peduli orang tuaku. Aku akan hadapi mereka. Aku tidak akan menyerah seperti Kak Reny. Aku laki-laki, dan aku akan melindungi kamu”

Ranti menggeleng.

“Kau mungkin telah berhasil menguatkan dirimu. Tapi aku belum. Aku takut aku yang tidak akan kuat menghadapi apa yang mungkin akan menghalangi kita. Aku bukan Cinderellla yang bisa penuh percaya diri memasuki istana, dan melingkarkan tangan di lengan sang pangeran lalu berdansa dengannya. Aku hidup dengan kenyataan”

“Ran, kumohon…”

Ranti menggeleng. Menunduk dan mengusap air mata yang mulai menetes di matanya.

“Keputusanmu waktu itu sudah benar Wo. Jangan mencari masalah kalau bisa dihindari”

“Ran, aku mencintaimu”, kata-kata itu tiba-tiba terlontar karena aku tak sanggup lagi menahan perasaan yang sudah terendap sekian lama.

Tapi Ranti berdiri, memanggul ranselnya dan berkata, “Aku juga mencintaimu, dulu. Tapi aku tahu siapa aku, kamu. Aku minta maaf kalau aku tidak setegar yang kamu harapkan. Kamu akan menemukan orang lain yang tepat untukmu, sekaligus untuk orang tuamu. Dan aku juga. Terima kasih atas keterusterangan ini. Setidaknya ini membuat aku lega, karena kita sudah ungkapkan semuanya. Aku pulang dulu, Wo”.

Aku tertunduk menelungkup di meja. Botol coke-ku terguling menggelinding dan jatuh berkeping di samping kakiku.

Remuk seperti hatiku.

*TAMMAT*

Read more!

"Bowo!" (5)

Siang itu lobi lantai tiga di depan ruang dosen terasa seperti ruang tunggu dukun alternatif yang bisa menyembuhkan segala penyakit. Kursi yang dipasang sepanjang dinding di kanan kiri lobi penuh. Di sekitarnya, setiap celah dinding disandari mahasiswa. Masih belum cukup, beberapa orang luber duduk dan bersandar di tangga. Membawa setumpuk lembaran tugas, atau menggendong tabung tempat menyimpan gambar mereka. Duduk, diam, mengobrol, atau membenahi lagi tugas mereka di detik-detik terakhir sebelum maju asistensi.

Minggu depan sudah ujian. Semua orang berburu kartu puas yang akan jadi syarat ikut ujian beberapa mata kuliah. Entah kenapa, selalu begini keadaannya. Kalau belum mepet waktu, dosen sulit sekali ditemui. Dan setelah mendekati deadlline, baru mereka mau ditemui. Padahal pasien mereka banyak sekali, mengingat satu dosen bisa saja mengampu beberapa mata kuliah.

Aku lelah berdiri bersandar di samping pot tanaman entah apa namanya ini, lalu merosot dan jongkok. Tapi tak bertahan lama. Jongkok lebih melelahkan, dan akhirnya kuletakkan pantatku di lantai. Tak peduli kotornya. Berdasarkan daftar antrian yang ditempel di pintu ruang Pak Agil, giliranku masih tiga orang lagi. Dan Pak Agil terkenal teliti, satu orang bisa setengah jam. Kabarnya Galih dan Amru tinggal minta tanda tangan kartu puas saja, jadi paling lama sepuluh menit.

Kecuali tiba-tiba dia kesambet dan memutuskan meneliti lagi pekerjaan mereka, lalu menemukan sesuatu yang harus dibahas lagi…

Sialan. Tiba-tiba jantungku berdegub tak karuan.

Ranti dan Susan berjalan menaiki tangga sambil membahas sesuatu di bagian akhir tugas mereka.

“Gimana sih, San? Bentar-bentar sini, punyaku kebalik atau gimana?”

Keduanya langsung mengelesot di pojok lobi, tak jauh dari tempatku duduk. Tapi mereka terlalu sibuk untuk menyadari kehadiranku. Untuk beberapa saat mereka berdiskusi. Dan aku, aku puaskan diri memandangi yang kurindui.

Ranti membetulkan lagi beberapa hitungan, disesuaikan dengan yang dituturkan Susan, seperti arahan dosen ketika Susan menghadap sebelumnya.

“Susan!”, sesorang memanggil dari lorong di seberang lobi.

“Eh, bentar ya Ran. Jayus manggil tuh, kayanya dia mau bicarakan soal kegiatan Mahasiswa Katolik lusa malam. Udah bisa kan?”, Susan pamit kepada Ranti.

Ranti cuma mengangguk tanpa menoleh ke arah Susan sambil komat-kamit dan terus melanjutkan pekerjaannya.

Aku berdiri perlahan menghampirinya.

“Hai”, sapaku lirih, tak ingin mengejutkan.

Ranti mendongak. Aku bisa lihat dia agak terkejut.

“Hai…”

Tapi aku heran dia tampak tenang, sedang aku malah gugup.

“Maju siapa?”, tanyaku basa basi.

“Pak Heru”

“Beton?”

Dia mengangguk, “Eh, bentar ya. Ini ada yang harus kubenerin. Emmm… ga papa kan?”

“Ga papa lah. Saat ini kita semua sedang diburu. Jahat kalau aku ngajak kau ngobrol di saat genting begini”

Ranti tersenyum lalu sibuk lagi. Aku diam di sebelahnya. Memandangi. Bertanya-tanya lagi apa yang dipikirkannya. Tapi aku merasa sakit hati sendiri, sepertinya dia benar-benar tenggelam dengan tugasnya dan tidak terusik sama sekali dengan kehadiranku.

Amru keluar dari ruang Pak Agil dan memanggilku, “Wo, kamu”.

Sialan Pak Agil. Cepat amat si Amru diberi kartu puas. Aku jadi harus meninggalkan Ranti sebelum sempat bicara apa-apa. Agak ragu aku beranjak. Aku sendiri belum tahu apa yang ingin kubicarakan dengan Ranti. Aku hanya ingin bicara lagi dengannya.

“Buruan…. “, Amru mengingatkan.

“Eh.. ya. Ehm… Ranti. Aku ingin ngobrol dengan kamu setelah selesai ini, kalau boleh”

Ranti memandangku seperti tak percaya. Diam, tapi aku tahu dia bertanya, untuk apa, tentang apa, kenapa, dan mungkin masih banyak lagi pertanyaan lainnya.

“Kalau boleh”, ulangku.

Dia hanya mengangguk. Aku bergegas berjalan untuk masuk ke ruangan Pak Agil, tapi sesaat aku balik ke Ranti lagi, “Please ya. Kalau aku selesai duluan aku akan tunggu kamu. Kalau kamu yang selesai duluan, tunggu aku ya”

Ranti mengangguk lagi.

*masih bersambung, satu lagi deh!*

Read more!

"Bowo!" (4)

Besoknya Anto datang bersama Helen ke kafe tempat aku biasa nongkrong bersama Rizal. Kelakuan Rizal dan Anto. Mereka langsung pergi dan meninggalkan Helen bersamaku.

Aku tidak bisa bilang tidak, Helen cantik. Laki-laki mana pun akan mudah menyukainya, atau mungkin bahkan jatuh cinta. Lihat saja, kulitnya yang putih dan halus tanpa cela. Hidungnya mancung, bibirnya tipis. Wajahnya dipoles make up sederhana tapi mempesona. Rambutnya yang lurus selewat bahu dicat tembaga. Pembawaannya ceria.

Tapi aku tetap bingung harus ngobrol apa dengannya. Aku hanya menanggapi sebisaku obrolannya tentang kegiatannya sebagai aktivis kampus.

Dan aku sama sekali tidak merasa nyaman bersamanya.

***

“Ayo Wo, jangan kecewakan Helen”, rayu Rizal lagi.

Aku masih enggan. Rizal mengajakku ‘double date’ malam minggu ini. Dia akan mengajak Nina pacarnya, lalu aku dimintanya mengajak Helen.

“Jangan paksa Zal. Aku… aku gak nyaman dengan Helen”

“Ah… itu kan karena kamu belum kenal betul dengannya. Cobalah jalan dengan dia sekali ini saja. Mungkin kamu akan bisa lebih santai, siapa tahu kalian cocok”

Akhirnya dengan enggan aku mengikutinya.

Rizal sengaja memilih film hantu supaya dia bisa melindungi Nina yang ketakutan kalau hantunya keluar.

“Kamu mau nonton apa Wo?”, tanya Helen.

“Terserah kamu saja”, aku benar-benar sedang tidak ingin nonton sebenarnya.

“Bareng Nina aja ya?”

Aku mengangguk.

“Nanti kalau aku ketakutan, boleh aku nyungsep di kamu?”, tanya Helen lagi, menggoda.

Aku hanya tersenyum, malas.

Nyatanya hanya Nina yang berkali-kali nyungsep di pundak Rizal. Helen sama sekali tidak tampak takut dengan hantu-hantu yang gentayangan di layar. Aku sendiri, pikiranku sedang tidak di sini. Berkelana ke mana-mana.

Sampai suatu detik ketika kurasakan tangan Helen menyentuh tanganku, lalu menggenggam. Ingin kutarik, tapi aku tak mau Helen malu, jadi kubiarkan. Hanya saja aku diam, tak menanggapi setiap gerakannya.

Aku berangan, seandainya saja Ranti yang ada di tempat Helen saat ini.

***

Hari ini Papi ada kunjungan kerja di sini. Seperti biasa Mami ikut, dan singgah ke kosku untuk menemui anak kesayangannya ini.

Rizal baru saja akan pergi dengan Nina ketika Mami datang.

“Maaf Tante, tidak bisa menemani ngobrol agak lama. Saya harus antar Nina”, pamitnya kepada Mami.

“Iya, Zal, ngga papa. Tante juga ngga lama kok. Jam lima nanti Papinya Bowo juga harus terbang ke Jakarta lagi.”

“Sebenarnya Bowo juga ada janjian dengan Helen, Tante. Tapi dia batalkan karena Tante datang”

Sialan, Rizal ngibul. Aku melotot ke arahnya, Nina senyum-senyum saja di sebelahnya.

“Helen? Kenapa dibatalkan?”, Mami bertanya penuh keingintahuan.

“Iya Tante. Bowo lagi pendekatan sama Helen. Mungkin nanti kalau mereka sudah jadian baru berani kenalin ke Tante. Anaknya cantik Tante, baik lagi. Tante pasti cocok deh!”

“O ya?”, Mami makin penasaran, dan aku makin ingin menggampar Rizal.

“Sudah sana pergi”, hardikku, “Aku mau berduaan sama Mamiku”

Rizal tertawa, menjabat tangan Mami lalu pergi.

Mami memandangku, mungkin ingin mendengar lebih jauh tentang Helen. Tapi aku langsung pura-pura sibuk membongkar bawaan Mami: aneka makanan dan lauk kering.

***

Bulan berikutnya aku pulang. Kak Reny juga di rumah. Kami sedang berkumpul di ruang tengah sibuk sendiri-sendiri, membiarkan presenter acara gosip di tivi juga bicara sendiri.

“Jadi kapan kamu akan kenalin Helen ke Mami?”, tanya Mami tiba-tiba.

Aku diam sejenak sebelum menjawabnya.

“Sepertinya tidak akan pernah”

“Kenapa? Dia menolak kamu? Kamu tidak berhasil mendekati dia? Kenapa? Kurang apa kamu katanya? Dia cari yang bagaimana?”, Mami sampai meletakkan bukunya dan mencondongkan badan padaku.

Kak Reny tertawa melihat wajah Mami yang seperti terluka mengira anaknya ditolak gadis.

“Bukan Mi… Rizal itu membual. Bowo tidak pernah mendekati Helen. Cuma Rizal dan teman-teman saja yang menjodoh-jodohkan kami. Tapi Bowo… tidak sreg”

Mami duduk bersandar lagi mengatur nafas, seolah lega bahwa ternyata bukan anaknya yang tidak laku.

“Sebenarnya”, lanjutku,”ada yang ingin Bowo kenalkan pada Mami dan Papi”

“Oh ya? Kenapa tidak?”

“Karena Bowo masih ragu Mami mau punya calon besan pensiunan guru esde dari desa pelosok”

Aku melihat mata Mami terbelalak, dan Kak Reny menunduk menekur majalahnya. Aku sendiri berdiri beranjak ke kamar, pembicaraan mulai tidak menyenangkan…

Read more!