Showing posts with label please deh Cin. Show all posts
Showing posts with label please deh Cin. Show all posts

Wednesday, September 10, 2008

please deh, cin (8): the end is the beginning is the end is the beginning....

bagi yang belum mengikuti dari awal, aku sarankan terlebih dahulu membaca serial ini secara urut dari awal:
please deh, cin....
please deh, cin 2: pertemuan pertama
please deh, cin 3: terjebak di kericuhan
please deh, cin 4: percakapan di pagi hari
please deh, cin 5: cinta aku dan sam
please deh, cin 6: istri sam
please deh, cin 7: sang pengembara


"Kau hanya menduga tanpa alasan"�, katanya.

"Benarkah?"

"Apa dasarmu?"�

"Semua SMS itu?"

"SMS yang mana?"

"Haruskah kutunjukkan satu-satu?"

"œYa, tunjukkan!"�

Kuambil handphonenya, lalu kubuka sms-sms dari satu nama. Yang berurutan, yang terselang satu-dua nama.

"So what, kamu lihat kan, isinya biasa aja. Menanyakan kabar. Konsul tentang ini itu. Wajar kan?"

"Benarkah? Kata-katanya terlalu indah untuk disebut wajar"�
"Masalahnya dia memang penulis. Bahasanya memang bahasa sastra. Aku hanya mengimbanginya"

"Aku juga penulis, tapi aku tidak pernah sms indah pada sembarang orang"

Sam tertunduk, menekur, diam, entah apa yang dipikirkan.
Dan aku mendongak, berusaha kuat, berusaha tegar. Ini bukan pertama kalinya. Aku sudah lama berada di sampingnya, dan aku mengerti sekali jiwa Sam. Dia terlalu sentimentil, peka. Dan dia mudah jatuh cinta.

"Aku sadar keadaanku, Sam. Aku sudah mulai tua, tak lagi segar. Dan mungkin juga kau mulai bosan denganku. Apa yang dulu kau lihat indah padaku, menjadi sudah biasa dan tidak isimewa. Aku juga menulis. Tapi mungkin kau bosan dengan gaya tulisanku. Kau menemukan keindahan baru dari tulisannya. Yang segar, yang misterius, yang membuatmu melayang"

"Aku tidak suka kau membanding-bandingkan diri seperti itu"
"Itu kenyataannya"
"Tolonglah, Cin, aku sendiri tidak pernah membandingkanmu dengan orang lain. Apalagi dengan orang yang belum pernah kutemui"
"�Karena kau belum pernah menemuinya, khayalanmu jadi bebas mengembara, dan kau menikmatinya"
"Cin, kau bicara apa sih?"

"Mungkin kau tidak membandingkanku dengannya. Tapi tetap saja kau menemukan keasyikan baru dengannya"

"Oh shit!"

"Aku kasihan padanya. Dia mungkin tidak tahu apa-apa, dan kau mengambil keuntungan darinya. Gadis kecil yang malang. Tapi aku juga kasihan padamu, karena bisa saja dia mempermainkanmu, atau sebenarnya sama sekali tidak peduli padamu"�
�Dan aku kasihan padamu, yang mendera dirimu sendiri dengan cemburu tak menentu"

"Aku lelah, Sam"

Sam menyentuh rambutku. Ingin kukibaskan, tapi kubiarkan. Dan meraihku. Aku memejam mata. Memelukku. Aku bersandar di bahunya. Dan aku mulai terisak.

"Maafkan aku, Cin. Kau sangat mengenalku. Aku bisa mengerti jika suatu saat kau lelah denganku. Aku memang bajingan. Tapi percayalah, ke manapun aku mengembara, kepadamu juga akhirnya aku kembali�

"Berhentilah mengembara, Sam. Kumohon. Berdiamlah di sampingku"

Sam mengeratkan pelukannya. Aku membebaskan isakku yang tertahan cukup lama, karena berusaha menjadi kuat di depannya.
Tidak ada kata-kata Sam yang mengiyakan permintaanku. Hanya diam, karena kutahu dia tak sanggup menjanjikannya. Dan dia tak mau menjanjikan apa yang tidak bisa dia berikan.

Dan aku tahu akan beginilah keadaannya, entah sampai kapan. Read more!

please deh, cin (7): sang pengembara

CITRA

"Siapa dia?", tanyaku.
"Hanya seorang wartawati junior, masih magang. Jika lolos masa percobaan, dia akan jadi wartawan tetap"
"Hebat sekali, dia sanggup menahanmu di sana sehari lagi"
"Aku hanya ingin membantu dia di titik terakhir. Kasihan kan, kalau tinggal sedikit dia tidak lolos.."
"Apakah tanpa bantuanmu dia tidak akan berhasil?"
"Aku hanya ingin memastikan"
"Baik hati sekali kau. Tentu saja. Kalau sudah jadi wartawati tetap , dengan sendirinya kalian akan seatap. Apa teman-temanmu juga sepeduli itu pada para magang?"
"Kurasa iya"
"Kau tidak yakin. Apa kau juga akan sebaik itu kalau dia laki-laki, atau perempuan tapi tidak menarik hatimu?"
"Kurasa"
"Kau tidak yakin. Apa yang kau rasa tentang dia?" Read more!

Friday, June 20, 2008

please deh, Cin (6): istri sam

Kami berangkat ke Bogor siang itu juga. Aku ingin bilang tidak, tapi tak bisa. Aku juga tak tahu kenapa Sam ingin aku ikut. Dalam angan jahatku, aku membayangkan istri Sam adalah perempuan sakit-sakitan yang sedang menjemput ajal. Liburan ini adalah usaha Sam untuk membahagiakannya di saat-saat terakhir. Aku dibawa untuk dikenalkan kepada istrinya, mungkin sekalian minta ijin atau pendapat istrinya, mengenai calon pengganti yang akan mendampingi Sam jika dia meninggal.

Gila.
Bahkan dalam cerpen pun aku tidak akan menulis hal sesinting itu.
“Kenapa aku harus ikut?”
“Aku butuh kau ikut”
“Sam, tak kau tahukah perasaanku saat ini? Kau baru saja membuatku hancur, sampai aku tak bisa berkata-kata, bahkan menangis. Sekarang kau memintaku untuk menemanimu berlibur dengan istrimu. Dan kau tidak mau menjelaskan kenapa. Kau sinting, Sam!”
Aku benar-benar marah, dadaku sesak sehingga kata-kataku keluar seperti tertahan.
Sam hanya memandangku dengan mata memohon. Mata itu. Aku tak bisa menolak.

***
Di tol jagorawi, Sam tidak belok kiri ke arah Bogor, tapi mengambil arah lurus ke arah Ciawi/Bogor.
“Kenapa lurus?”, tanyaku.
“Kenapa memangnya?”
“Katanya mau ke Bogor”
“Bogor coret maksudnya”
“Mau ke mana kita? Oh. Puncak?”
“Bukan”
Aku menghempaskan badan ke sandaran, “Aku tidak tahu kenapa aku mempercayaimu Sam. Jangan-jangan kau mau membawaku ke tengah kebun teh, memperkosaku, lalu membunuhku...”
”Cin!”, Sam setengah membentak dan menoleh ke arahku. Dia terlihat terhentak oleh kata-kataku sampai mobilnya sempat oleng sesaat.
“Maaf. Baiklah, aku tidak akan bicara lagi. Mudah-mudahan aku tidak menyesali perjalanan ini”
Sepanjang jalan aku diam. Memandang ke luar jendela. Harusnya pemandangan indah, harusnya. Tapi aku tak bisa merasakan keindahannya. Suasana hatiku terlalu buruk untuk merasakan keindahan.
Sam juga hanya memandang jalan, entah apa yang dipikirkan. Mulutnya juga terkunci.
Akhir pekan begini, jam segini, macet pasti. Perjalanan makin terasa panjang, juga siksaan yang kurasakan. Aku ingin turun dan kembali pulang, tapi tak mungkin.
Tiba-tiba aku menyesal sudah berangkat.
Tiba-tiba aku menyesal menerima cinta Sam.
Tiba-tiba aku menyesal sudah terlalu berharap banyak.
Tiba-tiba aku menyesal bertemu Sam.

***

Hari sudah petang ketika kami memasuki kawasan perkebunan teh sebelum Puncak. Aku tersenyum sendiri mengingat kekhawatiranku tadi. Setelah melewati beberapa kilometer jalan berbatu kami tiba di sebuah rumah kuno gaya Belanda. Aku selalu ingin rumah bergaya belanda. Tinggi. Angkuh. Dengan jendela yang tinggi juga, dan pilar-pilar. Dan halaman yang luas mengelilingi rumah.
Sam membantu membawakan tasku yang hanya berisi beberapa lembar pakaian. Aku heran, dia sendiri tidak membawa apapun.
Aku mengikuti Sam dari belakang. Dua orang yang tampaknya pengurus villa menyambut kami. Yang laki-laki meminta tas yang di bawa Sam, yang perempuan mempersilahkan aku menuju kamar. “Mari, neng”
Aku memandang Sam, minta pendapat.
“Istirahatlah dulu, dia akan mengantar ke kamarmu”
Aku menurut. Sam meninggalkan kami.
Kamarku bersih. Serba putih. Satu-satunya warna adalah bunga mawar kuning yang diletakkan di atas meja rias.
“Terima kasih, boleh tahu namamu?”
“Panggil saja Lilis”
“Terima kasih, Lis”
“Sama-sama Neng”
Lilis berjalan ke arah pintu, meninggalkanku.
“Eh, Lis”
Dia berbalik.
“Kau kenal Sam?”
“Tidak Neng. Saya hanya bertugas mengurus tamu villa ini. Kebetulan akhir pekan ini Pak Sam yang sewa. Katanya akan ada beberapa orang yang datang. Saya dan suami saya sudah siapkan kamarnya”
“Banyakkah yang datang? Kau tahu siapa saja mereka?”
”Maaf, Neng. Saya tidak tahu”
“Ya sudah, terima kasih”
“Saya akan di belakang, kalau-kalau Neng butuh bantuan saya”
Aku mengangguk, Lilis pergi.

***
Aku baru selesai mandi. Sam belum menghubungiku. Aku juga malas menghubunginya. Aku menunggu dipanggil untuk dikenalkan kepada istrinya, atau apapu rencananya. Dari tadi aku belum bertemu siapa pun selain Lilis dan suaminya.
Terdengar pintu diketuk, aku buka, dan Lilis berdiri membawa sebuah kotak.
“Pak Sam minta Neng Cin memakai baju ini”, katanya sambil mengulurkan kotak itu padaku.
Agak ragu aku mengambilnya, dan membawanya ke tempat tidur.
“Kau tahu namaku?”, kataku sambil memeriksa isi kotak itu.
“Pak Sam yang kasih tahu”
Sebuah kebaya dan rok panjang berbahan batik.
“Kapan aku harus pakai baju ini katanya? Baju ini seperti baju pengantin”
Lilis tidak menjawab, malah pamit meninggalkanku. Rupanya Sam muncul di depan pintu.
“Itu memang baju pengantin. Aku minta bantuan kakakmu untuk memilihnya. Mudah-mudahan kau suka. Maksudku, biasanya pengantin memilih sendiri baju pengantinnya ‘kan?”
Aku memandang Sam penuh tak mengerti.
Sam duduk di sampingku, meraih tanganku.
“Cin, kau pernah bilang kau mau menikah denganku. Bahkan katamu, waktu itu, kau bersedia menikah saat itu juga”
“Dulu, aku sangat ingin. Sebelum aku tahu kau sudah beristri”
“Kenapa kau mengira aku sudah beristri?”
Aku ingin menggetok kepala orang ini. Bukankah baru siang tadi dia mengatakan akan berlibur dengan istrinya? Dengan agak kasar aku menarik tanganku dari genggamannya.
“Kau jangan main-main denganku, Sam. Sekarang katakan saja apa maumu. Mana istrimu. Kenapa kau ajak aku kemari?”
“Aku tidak pernah main-main denganmu. Aku mau menikah denganmu. Istriku akan ada di rumah ini, hanya jika kau mau. Dan kau kuajak kemari, untuk kujadikan istriku”
“Jadi istri keduamu? Atau ketiga? Ke berapa? Dan kalau kita sudah menikah, istri tuamu akan menemuiku, begitu? Untuk apa? Memaki-maki aku? Atau justru untuk membantunya melayanimu?”
Sam menghela napas panjang, seolah melakukannya untukku yang benar-benar tak bisa lagi menahan diri.
“Maukah kau mendengarkan aku bicara, dan berjanji tak akan memotong, sebelum aku selesai?”
Aku mengangguk.
“Saat ini, Ayah, Ibu, kakakmu, dan adik lelakimu sudah berada di sini. Mereka sudah menunggu sejak tadi pagi. Aku sengaja meminta mereka datang. Juga Ibuku dan kedua adikku. Aku sudah mengajak mereka bicara tentang masalah ini. Tadinya mereka juga sulit untuk mengerti, bahkan adikmu mengatakan aku gila. Tapi akhirnya aku bisa meyakinkan mereka”
Sam berhenti, tapi aku masih diam karena aku tahu dia belum selesai.
“Acara kali ini, hanya untuk keluarga kita. Jika nanti kau menginginkan pesta, mengundang teman dan saudara, kita akan melakukannya. Cin, aku ingin kita menikah, sekarang. Itulah sebabnya, aku katakan istriku akan ada di sini kalau kau mau. Karena kalau tidak, aku akan pulang dari sini tetap sebagai bujangan. Jadi, maukah kau?”
Aku menutup mukaku dengan kedua tanganku. Perasaanku campur aduk tak karuan. Aku bahkan tak tahu apa yang kurasakan, atau harus merasa bagaimana. Tubuhku bergetar karena bahagia. Tapi di saat yang sama aku merasa malu karena telah mencurigai Sam membabi buta.
Sam membuka tanganku, dan menggenggam keduanya.
“Aku sudah selesai, kau boleh menjawab. Kau harus menjawab”
“Oh, Sam. Aku mau. Aku mau. Kau... kau benar-benar sinting. I hate you”
Aku memeluk Sam erat-erat, tak ingin melepaskan.

***

Matahari menyusup celah angin-angin. Hangatnya menyapu lembut wajahku, mengajakku membuka mata, menemukan Sam yang sedang berbaring miring di sampingku, menyangga kepalanya, memandangiku. Tangannya mempermainkan anak rambutku.
“Selamat pagi, Cin....”
“Sam, kamu sedang apa sih?”
“Memandangimu. Aku suka. Kau tampak tenang dalam tidurmu”, lalu dia mengecup hidungku.
Aku menenggelamkan kepala di dadanya. Merasakan kedamaian di dalam rengkuhnya. Masih terasa lagi keindahan semalam. Dimulai dari tatapan, yang diikuti sentuhan, kecupan, ciuman. Dan kami mulai menjelajah penuh keingintahuan. Mendaki bersama dalam tenang, sama sekali tak ada ketergesaan, walau kami didera penasaran. Bisikan cinta Sam di telingaku begitu menggetarkan, meski aku telah berulangkali mendengarnya sebelumnya.
“Sam....”
”Ya?”
“Terima kasih untuk semuanya”
“Kau berhak mendapatkan lebih dari yang kuberikan. Aku minta maaf hanya bisa memberikan ini”
”Kau sudah memberi lebih dari yang kuharapkan. Aku mencintaimu, Sam”
Sam mengecup rambutku lembut, “Dan kau tahu betapa aku mencintaimu”


terkait:
please deh, cin....
please deh, cin 2: pertemuan pertama
please deh, cin 3: terjebak di kericuhan
please deh, cin 4: percakapan di pagi hari
please deh, cin 5: cinta aku dan sam
please deh, cin 7: sang pengembara
please deh, cin 8: the end is the beginning is the end is the beginning... Read more!

please deh, Cin (5): cinta aku dan sam

Kalau itu tentang cinta, jangan tanya kenapa. Karena bisa jadi kau tak akan temukan jawabnya.
Kenapa Beauty mencintai Beast?
Kenapa Pangeran mencintai Cinderella?
Kenapa Ande-ande Lumut memilih Kleting Kuning?
Ok, atas nama pesan moral, di dalamnya terselip alasan tentang attitude yang lebih penting daripada look. Tapi itu dongeng, dongeng.
Aku hidup di dunia nyata. Dan pada kenyataannya aku menemukan keabsurdan cinta. Mengapa ada cinta pada pandangan pertama? Mengapa ada cinta mati meskipun selalu disakiti? Mengapa ada cinta dalam hati, meskipun tahu tak mungkin memiliki?

Mengapa ada cinta kami?
Mengapa Sam bisa jatuh cinta padaku, hanya bermula dari menggemari cerpenku yang mulai dimuat di majalah dan harian beberapa tahun yang lalu? Yang membuatnya mulai mencari tahu segala sesuatu tentang aku, dan mampu membuatnya begitu dalam saat menulis resensi novelku?
Mengapa aku bisa menyambut cintanya yang seperti itu?

***



Jam pelajaran telah usai. Segala sesuatu telah kubereskan. Saat-saat seperti ini yang aku nantikan. Keluar dari ruang guru, berjalan menyeberangi lapangan, dan menemukan Sam menungguku di gerbang. Berdiri bersandar di mobilnya. Bukan duduk di dalamnya. Dan rambutnya akan melambai ditiup angin. Atau jatuh menutup sebagian wajahnya ketika tak ada angin.
Sam tak pernah menjelaskan mengapa dia mencintaiku, dan aku tak pernah pula bertanya mengapa. Aku merasakannya, itu saja. Sebutlah aku naif, bodoh, sentimentil, anything. Tapi Sam memberikan apa yang kubutuhkan. Perlindungan, keteduhan, keceriaan, warna.
Dengan caranya yang sederhana, tak berlebihan. Bukan cinta yang dipenuhi kata-kata manis. Atau janji-janji yang melambungkan. Tapi segala yang dilakukannya memenuhi udara dengan cinta. Lihatlah, aku lah yang berbuih melukiskan keharuman cintanya...
Sam membukakan pintu untukku, lalu masuk ke bangku kemudi.
Dan berdua kami mengarungi sisa hari.

***

Blink!
You have one new email.
Klik, klik, klik.

From: r_sambodo@yahoo.com
Subject: Missing you
Cin.
Balik papan panas sekali. Aku sudah menemukan yang aku cari. Tapi aku masih harus di sini beberapa hari lagi. Ada beberapa hal yang masih memerlukan klarifikasi.
Cin, aku ingin cepat pulang. Aku kangen kamu.

Sam.


Reply.

To: r_sambodo@yahoo.com
Subject: Re: Missing you.
Dear Sam,
How should I tell you how I feel? Days go by so slowly without you. Air is so empty when I’m away from you. Been working so hard to kill time, and feels so hard. But I remember you, and I know I’ll be ok when I see you.
Waiting for the time to.

Cin.


Send.

***

Berbaring di kasurku, menggenggam handphoneku. Sedang berbalas sms dengan kekasihku.
Sam: Sudah makan?
Aku: Sudah. Kamu?
Sam: Sebentar lagi, aku mau selesaikan report yg ini. Nanti stl aku emailkan ke redaksi, baru aku makan.
Aku: Masih banyakkah?
Sam: Tinggal sedikit. Knp?
Aku: Kl msh banyak makan dl aja. Kl tinggal dikit ya selesaikan dl.
Sam: Ok.
Aku: Sam, kapan kau datang?
Sam: Lusa.
Aku: I’m waiting
Sam: I know. Aku selesaikan dl ya, nanti aku telepon kamu.
Aku: OK.

***

“Kau benar-benar tak ada sesuatu yang harus dikerjakan?”, tanyaku.
“Kau ingin aku jujur atau bohong?”
Aku diam sejenak. Aku tak mau Sam bohong. Tapi kalau jawaban jujurnya adalah bahwa dia harus segera pergi, aku juga tak suka.
“Terserah kamu”, kataku akhirnya.
“Kalau begitu aku akan jujur saja”
“Kau membuatku degdegan”
“Aku harus ke Bogor”
“Kapan?”
“Sore ini”
Aku mengendurkan pelukanku. Berharap Sam akan mengeratkan pelukannya dan membujukku, atau berkata ‘tak akan jika kau ingin aku tetap di sini’.
Tapi Sam membiarkan aku melepaskan diri, dan berdiri agak jauh darinya.
“Maaf, Cin. Tapi aku harus pergi”
“Tapi kau baru datang”
“Aku tahu. Tapi harus sekarang, atau aku tak tahu kapan lagi”
Aku diam. Sam diam.
Aku enggan memandang ke arahnya, karena mataku mulai panas berkaca-kaca. Profesi Sam sebagai wartawan membuat dia harus keliling ke mana-mana. Bahkan sering ke luar Jawa. Waktu untuk kami bersama tidak sebanyak yang kuinginkan. Meskipun begitu Sam selalu berusaha agar waktu yang tak lama itu menjadi lebih berharga.
Baru tadi pagi Sam datang dari Banyuwangi. Kami baru ketemu sepulang aku mengajar. Dan sore ini dia harus pergi lagi.
Sam mendekatiku, menyentuh rambutku. Menyentuhkan tangannya di pipiku, dan perlahan menolehkan wajahku ke arahnya.
“Aku minta maaf”
Aku diam.
“Kau tidak ingin tahu apa acaraku di Bogor?”
“Apa?”
“Berlibur dengan istriku”


terkait:
please deh, cin....
please deh, cin 2: pertemuan pertama
please deh, cin 3: terjebak di kericuhan
please deh, cin 4: percakapan di pagi hari
please deh, cin 6: istri sam
please deh, cin 7: sang pengembara
please deh, cin 8: the end is the beginning is the end is the beginning... Read more!

Saturday, June 14, 2008

please deh, Cin (4): percakapan di pagi hari

Keesokan harinya.

Dia menyuapkan sarapan yang disediakan rumah sakit.
“Apakah kepalamu masih nyeri?”
”Tidak terlalu” aku tak mau menggeleng, karena itu akan membuatku merasakan nyeri itu.
“Aku akan ke sekolah dan mengabarkan keadaanmu”, dia menengok jam tangannya, “baru jam enam. Setengah jam lagi pas ya?”
“Aku bisa menelpon kepala sekolah, tolong ambilkan handphoneku”
“Baiklah, tapi habiskan dulu sarapanmu”

Aku menelan.

“Kau tahu namaku, nama samaranku”
“Ya, dan aku tahu nama aslimu, Laras. Tapi aku lebih suka Cin”
“Apalagi yang kau tahu?”
”Tentangmu? Banyak. Aku tahu semua cerpenmu, pekerjaanmu. Semua ada di web-mu”

Dia menyuapkan satu lagi.

“Aku bahkan tahu lebih banyak dari yang tercantum di webmu. Webmu lebih banyak bercerita yang terkait dengan Menyelinap di Celah Sepi”
“Apa yang kau tahu?”
“Masa kecilmu, keseharianmu, harapanmu”
“Dari mana kau tahu semua itu?”
“Google”

Aku minum sedikit.

“Google, tentu saja. Aku tak tahu ada banyak keterangan tentang aku di internet”
“Ada beberapa, kau cukup terkenal sebagai penulis cerpen”
“Dan kau, aku sama sekali tak tahu tentangmu”, kataku.
“Aku berharap setidaknya kau tahu namaku”
“Aku hanya mulai mengingat bahwa kau adalah yang meminta tanda tanganku di launching novelku. Membuat sangat masuk akal kenapa kau memanggilku Cin”

Pria itu terdiam. Tangannya yang sudah terangkat untuk menyuapkan lagi, tiba-tiba turun. Dan mengaduk-aduk isi piring.

“Kau benar-benar tak bisa menduga siapa aku?”

Aku membaca sedikit kekecewaan di matanya.

“Maaf, aku tidak punya gambaran sama sekali”

Disuapkannya sendok terakhir yang urung barusan.

“Apakah kau tak membaca resensiku?”

Uhuk!, aku tersedak.

“Kau?”

Tersedak lagi. Dia segera mengulurkan minum.

“Kau... wartawan itu?”
“Tak ingat kah namaku?”
“R Sambodo, tentu saja ingat. Oh, kau hebat. Resensimu. Aku bahkan hampir tak percaya kau sedang membahas bukuku. Tiba-tiba saja orang memperhatikan novelku. Sam, kau adalah keajaiban yang dikirim Tuhan buatku. Eh... kau... tak keberatan kupanggil begitu?”

Yang kupanggil ‘Sam’ meletakkan piring yang sudah kosong di atas nakas di samping tempat tidur.

“Apa pun yang kau suka Cin”, dia tersenyum.
“Bagaimana kau bisa berada di sana? Di tengah demo itu. Yang... ah! Kepalaku sakit lagi mengingatnya...”
“Tak usah kau ingat. Kau di sini dan baik-baik saja. Harusnya kau tak perlu heran kenapa aku berada di sana. Aku meliput demo itu”
“Ah, ya. Tentu saja. Hantaman batu di kepalaku membuatku jadi tolol”

Sam tersenyum lagi, ah, senyum yang meneduhkan.

“Aku ingin kau mengerti satu hal. Kalau pun novelmu tiba-tiba laku, itu bukan karena resensiku, tapi karena kau memang berhak atas itu. Mungkin orang butuh waktu untuk membicarakannya, untuk menyadari kehebatan karyamu”

Aku terdiam.

“Dan satu lagi. Aku ingin kau mengerti kenapa aku bisa begitu dalam menulis resensi novelmu”
“Kenapa?”
“Karena aku mencintaimu”

Aku pasti terlihat tolol dan bodoh, melongo mendengar perkataan orang ini. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tak tahu apa. Aku ingin marah tapi tak bisa. Ingin bertanya tapi bingung tentang apa. Aku tak bisa berkata-kata.

Sam mengangsurkan handphone yang diambilkannya dari tasku, “Kau harus menelpon kepala sekolahmu”.

terkait dengan:
please deh, cin....
please deh, cin 2: pertemuan pertama
please deh, cin 3: terjebak di kericuhan
please deh, cin 5: cinta aku dan sam
please deh, cin 6: istri sam
please deh, cin 7: sang pengembara
please deh, cin 8: the end is the beginning is the end is the beginning...
Read more!

please deh, Cin (3): terjebak di kericuhan

Panas sekali siang menjelang sore ini. Dengan langkah cepat aku menuju halte. Sebenarnya ini akan membuatku semakin berkeringat, tapi aku tak mau lama-lama di bawah matahari yang menyengat. Map yang kutudungkan di atas kepalaku hanya sedikit membantu. Matahari sudah agak condong ke barat, arah yang kutuju. Jadi jika aku benar-benar melindungi wajahku dari matahari, mapnya harus menutupi mataku, dan aku mungkin akan menabrak seseorang atau sesuatu.
Halte dipenuhi anak sekolah yang akan pulang. Berebut sedikit keteduhan sambil menunggu kendaraan yang akan membawa mereka pulang, atau mungkin mau mampir jalan-jalan. Aku sendiri sedang tak ingin ke mana-mana. Hari ini lelah sekali, mengoreksi pekerjaan siswa yang sedang masa ulangan umum akhir semester.
Dari arah barat kudengar suara riuh, yang ternyata adalah sekumpulan mahasiswa yang sedang berdemo. Ya Tuhan, banyak sekali. Berbaris merentangkan spanduk dan mengacungkan papan dengan berbagai tulisan seruan.

Dengarkan suara kami.
Lihatlah dengan hati.
Rakyat menjerit.
Turunkan harga.
Jangan jadikan kami lebih menderita.


Seorang yang berkacamata memegang megaphone dan meneriakkan tuntutan mereka.
Kata-kata yang terdengar putus asa. Meminta pemerintah mengurungkan menaikkan harga BBM. Aku sendiri tidak suka dengan kenaikan BBM. Ongkos angkutan pasti naik, dan juga harga semua barang. Sedangkan gajiku sebagai guru di sekolah swasta masih seperti semula. Tapi di negara tetangga harga BBM sudah di atas harga di Indonesia. Kupikir kita harus terbiasa berhenti disubsidi. Menyesuaikan pemakaian dengan daya beli. Tapi entahlah, mungkin rejekiku masih bisa sedikit mengejar kenaikan harga yang terjadi sehingga bisa mengatakan ini. Sedang di luar sana kurasa banyak yang benar-benar tak bisa menyesuaikan diri.

Tiba-tiba barisan demo itu buyar. Teriakan-teriakan terdengar. Aku tak tahu dari mana datangnya, sepasukan polisi anti huru-hara bergerak seperti anak panah menusuk, dari arah tegak lurus barisan.

“Apa yang terjadi?” tanyaku, entah pada siapa.
“Ada yang melempar polisinya” jawab seorang anak berseragam SMA di sebelahku.

Barisan itu bergerak ke arahku, cepat dan tak terkendali. Pasukan polisi yang tadi lurus menembus ke tengah barisan itu, tiba-tiba terbelah. Satu mendesak ke arah menjauhiku, dan yang satunya ke arahku, seperti sengaja memecah barisan demonstran.

Mahasiswa itu begitu banyak aku tak bisa memperkirakan jumlahnya. Ratusan. Mungkin seribu lebih. Yang terdesak ke arahku seperti mencoba melawan. Mendorong pasukan polisi, mencoba tetap bersatu dengan teman-temannya yang didesak ke arah lain. Tapi polisi anti huru-hara adalah orang-orang terlatih. Jumlah mereka lebih sedikit, tapi mereka membawa perisai dan pentungan, dan bekal latihan untuk menghadapi hal-hal seperti ini.

Barisan mahasiswa terus terdorong, dan makin lama makin dekat ke arahku. Beberapa bahkan sudah menyenggolku. Aku mundur dan memeluk tasku erat. Aku terlalu terpana hingga tak menyadari bahwa di hadapanku kini sudah penuh demonstran. Beberapa calon penumpang sudah pergi meninggalkan halte dan menjauh dari kericuhan.

Terlambat. Aku dan beberapa orang terjebak di halte, terdesak tertabrak-tabrak. Teriakan-teriakan semakin keras, memekakkan telinga, tak terkendali, dan aku tak bisa menangkap sama sekali. Aku melihat batu dan botol seperti beterbangan di udara, tadinya ke arah polisi yang masih satu kesatuan. Tapi ketika polisi terus terpecah secara sistematik memecah belah barisan, lemparan batu dan botol itu menjadi berubah ke segala arah.

PLETAK!!
Satu lemparan batu menyasar ke kepalaku. Sakit bukan main. Tas dan mapku kontan terlepas. Kuraba kepalaku dan terasa basah darah yang membuat habis hatiku. Aku kehilangan kendali. Hilang keseimbangan. Pandanganku berkunang. Aku bisa merasakan badanku terhuyung ke depan belakang dan mencoba mencari pegangan. Suara-suara di sekelilingku yang tadinya riuh rendah tiba-tiba hilang.

“Tolong, saya.... oh...” aku bahkan tak sanggup bersuara, dan tiba-tiba segalanya gelap gulita.

***
Aku terbangun dalam kesunyian. Mataku terbuka perlahan, tapi buru-buru kututup lagi karena tak tahan oleh silau lampu dan putih di segala arah. Lampu? Putih?

Cepat kubuka mataku lagi, mengerjap beberapa kali hingga terbiasa. Seperti yang sekejap terlintas di kepalaku. Aku di rumah sakit. Sebuah sentuhan lembut di tanganku mengejutkanku. Aku tak menyadari kehadiran seseorang di sampingku. Menoleh dengan tiba-tiba ke arahnya membuat kepalaku berdenyut kuat hingga aku meringis dan memeganginya.

"Kau akan baik-baik saja", katanya.

Tak mau merasakan nyeri lagi, aku menoleh perlahan ke arahnya. Seorang laki-laki berwajah tirus yang tersenyum lembut padaku. Rambutnya yang sedikit gondrong dan acak-acakan menutup dahinya.

"Saya.... apa..."
"Tenanglah, Kau terkena lemparan batu nyasar saat ada demo tadi siang. Tapi kau sudah di rumah sakit sekarang. Semua akan baik-baik saja."
"Apakah ini sudah malam?"
"Sekitar jam tujuh. Kau pingsan cukup lama. Mmmm.. hampir empat jam kurasa"

Empat jam. Seumur hidup aku belum pernah pingsan. Dan sekalinya pingsan, empat jam. Tiba-tiba aku teringat tas dan mapku. Tanpa sadar aku membuat gerakan mengejutkan yang lagi-lagi membuat kepalaku seperti dihantam.

"Aduh!!"
"Ssst.. tenanglah. Berbaringlah dulu. Trauma kepalamu cukup hebat, tapi kata dokter kau akan baik-baik saja. Kau hanya perlu cukup istirahat"
"Tasku..."
"Ada, sudah kuselamatkan. Juga mapnya"
"Terima kasih. Apakah aku bisa pulang sekarang?"
"Sekarang? Kau mungkin perlu beberapa hari dirawat di sini"
"Oh no. Tidak mungkin. Tidak bisa. Murid-muridku sedang tes. Aku harus mendampingi mereka. Aku harus masuk besok, aku...."
"Cin, tenanglah. Besok pagi-pagi aku akan menghubungi pihak sekolahmu, dan aku yakin mereka lebih suka kau beristirahat hingga pulih"

Aku tertegun. Dia memanggilku 'Cin'. Itu bukan namaku. Maksudku, itu namaku. Tapi namaku sebenarnya adalah Laras Anggraini. Sedangkan Cin Larasati adalah nama samaranku di setiap cerpen, dan di novelku.

"Kenapa kau memanggilku begitu? Dari mana kau tahu... aku.. kau... Oh, apa kita pernah bertemu? Ya, pernah. Di mana? Kapan? Aku..."
Kepalaku didera nyeri lagi. Pria itu meletakkan jarinya di bibirku.

"Ssst... Istirahatlah, kita bicarakan ini setelah kau agak baikan, ok?"
Aku ingin protes, tapi kurasa aku pingsan lagi.


terkait:
please deh, cin....
please deh, cin 2: pertemuan pertama
please deh, cin 4: percakapan di pagi hari
please deh, cin 5: cinta aku dan sam
please deh, cin 6: istri sam
please deh, cin 7: sang pengembara
please deh, cin 8: the end is the beginning is the end is the beginning... Read more!

please deh, Cin (2): pertemuan pertama

Aku bertemu Sam untuk pertama kalinya pada peluncuran novel pertamaku yang tak terlalu sukses.
Entah apa yang salah waktu itu. Woro-woro tentang acara itu sebenarnya sudah cukup lama sebelum hari H nya. Dan sudah cukup luas juga. Aku mengaharapkan penggemar cerpenku datang, setidaknya beberapa puluh. Tapi ruangan lobi hotel tempat launching itu sepi lengang hanya diisi beberapa undangan, teman dan kenalan. Dan beberapa penggemar, tapi tak sebanyak yang kuharapkan.
Lalu datang pria jangkung itu, membawa satu exemplar novelku dan meminta tanda tangan.
"Ceritanya menyentuh sekali, Menyelinap di Celah Sepi”, katanya
“Oh ya? Anda sudah baca sampai selesai?"
“Belum, tapi bisa saya bayangkan. Kau lihai sekali menggambarkan suasana yang teduh tenang, sunyi tak bersuara. Seperti lukisan surealis"
Aku tak mengerti banyak tentang aliran lukisan. Tapi lukisan surealis yang aku tahu, mungkin satu-satunya, adalah lukisan Salvador Dali tentang jam karet yang tersampir di sana-sini. Bukan seperti gambaran suasana novelku sama sekali.
“Terima kasih. Saya hanya berusaha menciptakan suasana ngelangut”
”Dan itulah yang dilakukan pelukis surealis. Kau berhasil”
“Uhmmm saya tak tahu tentang banyak tentang lukisan, sebenarnya"
“Tak apa, kau ahli dalam tulisan. Itu sudah cukup"
Aku menandatangani bukunya, dia mengucapkan terima kasih, lalu berlalu. Tidak benar-benar berlalu. Karena setelah beberapa langkah kemudian dia sempat menoleh padaku, tersenyum dan mengangguk pelan, baru kemudian benar-benar berlalu.
Dengan sedikitnya pengunjung launchingku, aku bisa mengingat orang itu. Dan entah kenapa aku berterima kasih karena dia telah datang. Ketika kau butuh banyak orang, dan yang datang tak sebanyak yang kau harapkan, kehadiran satu orang saja menjadi sangat berarti.
Aku pulang dari launching dengan agak lesu dan tak bersemangat. Reta, editorku tampak tak kalah lesunya. Rizal yang mewakili pihak penerbit juga agak kecewa. Semua tidak berjalan seperti seharusnya. Well, atau mungkin ini yang seharusnya? Aku berharap pembaca cerpenku akan penasaran bagaimana kalau aku menulis novel. Tapi aku tidak melihat sambutan yang menggembirakan.

***

Hari-hari selanjutnya berusaha kulalui dengan sebiasa mungkin. Aku alihkan kekecewaanku dengan berkonsentrasi pada murid-muridku. Aku benar-benar ingin istirahat dari aktivitas menulis. Aku perlu jeda. Aku sadar bahwa aku baru mulai, dan tak ada yang memulai dengan langkah besar. Tapi aku tak bisa memungkiri kekecewaanku. Waktu luangku, yang biasanya kupakai untuk tak tik tuk di keyboard komputer, kutambahkan kepada waktu bacaku.
Aku ingin lihat bagaimana cara bertutur yang disukai orang. Sehingga bukunya bisa terjual banyak, atau bahkan jadi best seller. Temanya? Settingnya? Gaya bicaranya? Tapi ini justru semakin menyiksa. Aku semakin merasa tak bisa apa-apa.
Terima kenyataan, Cin. Menulis cerpen berbeda dengan novel. Kau biasa bertutur ringkas, sedang novel butuh rentang waktu bercerita lebih panjang.
Oh, aku butuh pelarian. Tapi apa? Tak ada hal yang bisa memberiku keasyikan. Orang lain akan berjalan-jalan dengan suami atau kekasih. Ke mal, nonton, makan malam yang romantis.
Jauh. Aku tak punya keduanya. Kepergian Hans karena kecelakaan dua tahun yang lalu masih menyisakan luka. Belum ada yang bisa menggantikannya.
Seharusnya aku bisa memanfaatkan keterpurukanku ini untuk menulis sesuatu yang menyedihkan. Tapi aku takut ia berkelanjutan dan aku tak bisa mengakhirinya.

***

Aku berjalan di ruang dan waktu Salvador Dali. Sebuah tanah lapang yang sepi, gersang, suram. Jam karet yang tersampir di sana sini. Aku menyentuh satu yang paling besar, yang tersampir di ranting pohon kering. Aku bayangkan dia lentur dan bisa kutarik tarik seperti karet betulan. Tapi aku kaget sekali mendapatinya sangat keras, dan memang bentuknya pletat-pletot seperti itu. Dan semua jam yang bertebaran di lukisan itu begitu. Tapi anehnya mereka berdetak. Tadinya aku hanya mendengar satu, tapi lama-lama dua, tiga, dan semuanya. Detaknya makin keras, keras, keras, keras... hingga aku menutup kedua telingaku. Tapi detaknya mengiringi debar jantungku. Gelombang suara keduanya bertemu pada titik yang tepat, sehingga menjadi semakin kuat dan semakin keras.
Aku terbangun berkeringat.

***

Minggu pagi yang cerah. Secangkir kopi dan koran di teras samping rumah.
Setelah buka sana buka sini, aku berhenti di referensi buku. Novelku. Novelku? Kupikir tak ada yang mau membaca, dan ternyata seseorang menulis referensinya?
Penuh penasaran aku membacanya. Bagaimana orang memandang tulisanku? Gila. Bahasa orang ini menjual sekali. Bikin penasaran. Bahkan aku sendiri tak percaya dia sedang bercerita tentang bukuku. Dia membuat tulisanku terlihat begitu hebat.
Kulirik siapa yeng menulis resensinya: R Sambodo, wartawan.
OK. Dia memang pemain kata-kata.

***

Handphoneku berbunyi. Dari Rizal, penerbit novelku.
"Ya?”
“Apa yang terjadi ya?”
"Apa?”
“Tiba-tiba penjualan novelmu naik"
"Aha?”
“Kita akan lihat nanti. Barangkali kita perlu mencetak lagi
"Kau jangan membuatku bermimpi, Zal"
"Ayo kita bermimpi bersama.... Ok, Aku akan mengabarimu lagi kalau ada perkembangan"
"Ok, thanks'"
Penjualan novelku naik?

Selesai jam pelajaran aku segera membereskan buku-buku di mejaku. Ada beberapa pekerjaan siswa yang harus kuperiksa. Peduli setan, mereka bisa menunggu. Tapi tidak rasa penasaranku. Aku bergegas pergi ke toko buku, tempat yang beberapa waktu ini kuhindari karena tak sanggup menanggung sakit hati melihat bukuku tak dilirik orang.

Oh Tuhan.
Bukuku dipasang di tengah, berjajar dengan buku-buku lain, yang oleh pihak toko buku dimasukkan kategori ‘Buku Pilihan’.
Tiba-tiba tubuhku terasa hangat oleh kegembiraan. Bukan. Aku bukan hanya gembira. Aku bahagia. Aku melihat beberapa orang sedang membuka-buka novelku. Dan ada satu yang sudah membawanya ke kasir. Aku mendekat ke arah mereka. Mengambil satu dan ikut membuka-buka. Aku merasa seperti orang gila. Aku yang menulisnya. Aku tahu setiap kalimatnya. Tapi aku membaca. Kulompat-lompat setiap beberapa halaman. Tidak ada yang berubah. Hei. Apa yang kupikirkan? Tentu saja tidak ada. Semua masih persis seperti ketika pertama kali buku ini diluncurkan. Tapi kenapa tiba-tiba dia menjadi menarik? Aku tak tahu, aku tak tahu...
Aku menutup buku itu dan meletakkannya. Setengah berlari aku meninggalkan toko itu. Diriku dipenuhi oleh terlalu banyak kegirangan. Meluap. Kalau aku tetap di sana aku bisa benar-benar disangka orang gila. Karena aku ingin tertawa.

Begitu sampai di rumah, itulah yang kulakukan. Aku melempar tasku ke kasur, dan menjatuhkan diri terlentang di sampingnya. Lalu tertawa sekeras-kerasnya.

terkait:
please deh, cin....
please deh, cin 3: terjebak di kericuhan
please deh, cin 4: percakapan di pagi hari
please deh, cin 5: cinta aku dan sam
please deh, cin 6: istri sam
please deh, cin 7: sang pengembara
please deh, cin 8: the end is the beginning is the end is the beginning... Read more!

please deh, Cin...

Aku diam. Tak bisa berkata-kata. Bukan tak mau, aku tak bisa. Sebagian diriku ingin membiarkan dia berbuat apa yang diinginkannya, sepanjang itu membuatnya bahagia. Itu yang selalu kuinginkan, for him to be happy. Tapi aku tidak bisa menipu diri sendiri, bahwa aku juga terluka.

"Kau hanya menduga tanpa alasan”, katanya.

"Benarkah?”

"Apa dasarmu?”

"Semua SMS itu?”

"SMS yang mana?”

“Haruskah kutunjukkan satu-satu?”

“Ya, tunjukkan!”

Kuambil handphonenya, lalu kubuka sms-sms dari satu nama. Yang berurutan, yang terselang satu-dua nama.

“So what, kamu lihat kan, isinya biasa aja. Menanyakan kabar. Konsul tentang ini itu. Wajar kan?”

“Benarkah? Kata-katanya terlalu indah untuk disebut wajar”
”Masalahnya dia memang penulis. Bahasanya memang bahasa sastra. Aku hanya mengimbanginya”

“Aku juga penulis, tapi aku tidak pernah sms indah pada sembarang orang"

Sam tertunduk, menekur, diam, entah apa yang dipikirkan.
Dan aku mendongak, berusaha kuat, berusaha tegar. Ini bukan pertama kalinya. Aku sudah lama berada di sampingnya, dan aku mengerti sekali jiwa Sam. Dia terlalu sentimentil, peka. Dan dia mudah jatuh cinta.

“Aku sadar keadaanku, Sam. Aku sudah mulai tua, tak lagi segar. Dan mungkin juga kau mulai bosan denganku. Apa yang dulu kau lihat indah padaku, menjadi sudah biasa dan tidak isimewa. Aku juga menulis. Tapi mungkin kau bosan dengan gaya tulisanku. Kau menemukan keindahan baru dari tulisannya. Yang segar, yang misterius, yang membuatmu melayang”

“Aku tidak suka kau membanding-bandingkan diri seperti itu”
”Itu kenyataannya”
”Tolonglah, Cin, aku sendiri tidak pernah membandingkanmu dengan orang lain. Apalagi dengan orang yang belum pernah kutemui”
”Karena kau belum pernah menemuinya, khayalanmu jadi bebas mengembara, dan kau menikmatinya”

“Cin, kau bicara apa sih?”

“Mungkin kau tidak membandingkanku dengannya. Tapi tetap saja kau menemukan keasyikan baru dengannya”

"Oh shit!”

“Aku kasihan padanya. Dia mungkin tidak tahu apa-apa, dan kau mengambil keuntungan darinya. Gadis kecil yang malang. Tapi aku juga kasihan padamu, karena bisa saja dia mempermainkanmu, atau sebenarnya sama sekali tidak peduli padamu”
”Dan aku kasihan padamu, yang mendera dirimu sendiri dengan cemburu tak menentu”

"Aku lelah, Sam”

Sam menyentuh rambutku. Ingin kukibaskan, tapi kubiarkan. Dan meraihku. Aku memejam mata. Memelukku. Aku bersandar di bahunya. Dan aku mulai terisak.

“Maafkan aku, Cin. Kau sangat mengenalku. Aku bisa mengerti jika suatu saat kau lelah denganku. Aku memang bajingan. Tapi percayalah, ke manapun aku mengembara, kepadamu juga akhirnya aku kembali”

"Berhentilah mengembara, Sam. Kumohon. Berdiamlah di sampingku”

Sam mengeratkan pelukannya. Aku membebaskan isakku yang tertahan cukup lama, karena berusaha menjadi kuat di depannya.
Tidak ada kata-kata Sam yang mengiyakan permintaanku. Hanya diam, karena kutahu dia tak sanggup menjanjikannya. Dan dia tak mau menjanjikan apa yang tidak bisa dia berikan.

Dan aku tahu akan beginilah keadaannya, entah sampai kapan. Read more!