Showing posts with label sepenggal. Show all posts
Showing posts with label sepenggal. Show all posts

Friday, December 12, 2008

sudah pulang, sayang?

sms dari Han.

belum, aku masih klekaran di sini. mau jemput?

boleh. aku lagi cari sarapan di Ngesrep, habis main ke gombel. tunggu sebentar ya.

beja.

biasanya aku pulang harus jalan kaki dulu sekitar sekilo sampai ke jalan besar kalau mau pulang. di sini tidak ada ojek, dan aku tidak enak keseringan minta dianter suami mbak Atik, yang ngurusi sanggar. aku bisa saja mengacungkan tangan pada mobil atau motor yang lewat, numpang. tapi… ah, ngga keren blas. jalan sekilo aja kok pake nyegat kendaraan orang. aku bisa saja numpang peserta lain yang bawa motor atau mobil. tapi mereka biasanya langsung cabut begitu selesai kelas.

hari ini tidak ada mbak Endang, yang mungkin jadi penyebab tidak ada Evi GrEs, tidak ada Naning dan Evi SetBud. tidak ada gerombolan emak-emak sinting yang biasa betah ngobrol ngalor ngidul sambil ngetus keringet yang barusan sengaja diperas. padahal aku butuh ketemu mereka. seperti ayunan kaki dan tangan, dan lompatan, dan engkak- engkuk badan yang baru saja kami lakukan, dan musik menghentak yang menggetarkan kaca di sekeliling dinding kelas; aku membutuhkannya seperti mereka yang doyan alkohol menenggak minuman keras untuk sesaat membakar masalah di kepala.

jadi aku ngisis sendiri di samping jendela. mencoba menenangkan hatiku yang masih berantakan. aku memang sudah tidak menangis. mungkin air mataku telah habis keluar bersama keringat yang kualirkan setiap sore, mm… bisa kah? tapi aku masih belum bisa tersenyum, karena senyumku adalah palsu. tawaku dibuat-buat. dan aku masih belum bisa lagi bernyanyi, karena senandung yang keluar dari mulutku sesungguhnya adalah jeritan.

orang terakhir telah melambaikan tangan dan turun. aku menjejalkan lembaran baju senam yang basah dan bau ke ranselku. melongok sebentar ke arah parkiran, Han belum datang. tapi aku turun juga, harus membayar susu kotak yang tadi kupakai menenangkan perut yang belum puas dengan sebongkah donat.

ring ring…

‘ya… aku lagi mbayar, bentar ya..’
’sekalian beliin suara merdeka ya’

di mobil…

‘jadi dari tadi kamu belum ke kantor?’
‘belum, aku sudah pamit dan sekalian mengunjungi dealer gombel’
’sekarang kita pulang?’
‘lha kamu mau pulang atau mau ke mana?’
‘kamu ngga ke kantor?’
‘aku tetep ke kantor lah…’
‘katanya sudah pamit…’
‘pamit telat thok… bukan nggeblas sampai sore..’

yah, tiwas aku sudah seneng.

semangkuk soto di warung pak Niti, dan sebagasi penuh kasih sayang, mengisi perut dan hatiku, lalu kami pulang.

Han masih membaca koran sebentar. aku tengkurap di matras di depan tivi, ditindih Ar, dipeluk Ir, di dekat Ibit yang terpukau Oliver Twist.

sebuah kecupan di pipi membuatku membuka mata. menyadari tivi telah mati, anak-anak pergi menengok persiapan pentas wayang untuk apitan nanti malam.

‘aku berangkat..’

‘hmm..’

jam sebelas kurang seperempat. aku masih boleh merem seperempat jam lagi, sebelum masak sayur lodeh dan nggoreng tempe. toh aku cuma butuh 20 menit untuk itu.

hmm… hmmm…

Read more!

Wednesday, November 12, 2008

08.45 dan message sent….

dan delivered.
tapi tidak ada balasan. aku menunggu. sejam…. dua jam…
aku ingin menelepon. tapi sms pun tidak dijawab, apalagi telepon?
dial. calling. dan tidak diangkat.
….
3 jam… 4 jam… seharian.
begitu sibuknya kah kamu, mas? aku ingin mengajakmu makan siang. aku ingin wadul, ada orang yang menyebalkan. aku ingin cerita, ada hal yang menyenangkan.
….
hari ini sepi, kamu sama sekali tidak bisa dihubungi.
….
15.30 dan aku harus pulang. aku ada kelas jam 17.00 aku tidak ingin terlambat dan membuat kelasku menunggu.
‘aku pulang duluan ya…’ dan message sent, dan delivered. tapi tetap belum ada jawaban.
….
20.00 dan aku terkapar. sudah kutumpahkan jenuh dan kesalku, dengan meluapkan energiku, bergerak dan berteriak. mandi air hangat meluruhkan lelah, menyisakan kantuk menggelayutiku.
….
dari handphoneku terdengar michael buble menggumamkan ‘save the last dance for me’, masku menelepon.
‘sudah tidur?’
‘hampir’
‘bisa tunggu? aku ingin menculikmu’
….
21.22 dan kami duduk di bangku milik penjual nasi goreng pinggir jalan langganan kami, menunggu pesanan kami jadi.
‘maaf, hari ini aku sibuk sekali’, katanya sambil memainkan rambutku,’ tapi aku masih ingin menghabiskan sedikit waktu denganmu’
aku diam, memandang wajah lelahnya, mendengarkan cerita penat harinya.
….
terima kasih, mas. setidaknya terbayar sepiku tanpa sapamu hari ini….

111008 Read more!

matanya berkaca-kaca menggenggam tanganku…

“anakmu berapa ndhuk?”
“tiga,budhe..”
“katanya ada yang kembar?”
aku mengangguk, dia memeluk.

aku telah menemukan yang kucari. tapi aku ragu apakah aku masih ingin menemui.
“dan dia, berapa anaknya budhe?”
dia menggeleng, “dia belum menikah, ndhuk. sudah dilangkahi adiknya, tapi dia masih belum mau juga. aku ndak tahu dia nunggu apa..”

aku telungkup di pangkuannya. perempuan setengah baya yang sudah lebih dari tujuh tahun tak kusapa. perempuan yang pernah menjadi tempat aku berlari ketika tak ada siapa-siapa. yang menyuapiku dengan nasi thiwul gurih asin. atau mendongengiku tentang ‘jakarta’. sambil dia menyibak-sibak rambutku mencari kutu. membuatku aku terkantuk-kantuk di pangkuannya, di bawah teduhnya pohon jambu.

air matanya menetes menjatuhiku, sedang milikku membasahi pangkuannya.
“aku senang melihatmu bahagia ndhuk. doakan kakangmu itu…”
“sampaikan salamku padanya, budhe. aku minta maaf, kali ini aku tidak cukup waktu untuk menemuinya”

sedang sesungguhnya aku tahu aku tak akan sanggup. aku takut dia tidak akan mau menemuiku, seperti dia tidak mau hadir di pernikahanku… entahlah, aku juga tidak yakin aku akan cukup kuat melihatnya. seperti beberapa tahun yang lalu ketika aku bergetar melihat tubuh pendeknya memikul tabung gas di kios di pasar kulon…

apakah aku telah menjadi sombong? apakah dia menjadi rendah diri? sialan, kenapa harus tercipta jurang ini?

karena semua hal telah menjadi berbeda. karena masa telah mengubah manusia, juga kami berdua. betapa aku ingin bersikap biasa saja, seperti anak-anak yang berteman tanpa prasangka. tapi jangan tanya, aku tak yakin aku bisa…



101008

Read more!

ini ruang rapat atau ruang sidang pengadilan?

bukan keduanya

ini adalah neraka, bagi jiwa yang sedang kau injak-injak harga dirinya. betapa kau menikmati suasana perang dan pertentangan. dan melihat orang lain bisa kau permalukan.

tak kau lihatkah raut yang gugup gelisah kehilangan kata? oh kau pasti melihatnya, karena itulah yang kau ingin lihat. karena itulah yang kau ingin semua orang lihat. dan kau bisa tambahkan kata pedas menjatuhkan. yang memerahkan telinga dan memadamkan wajah. menunjukkan ‘kelemahan’, ‘kesalahan’ dan ‘kebodohan’ seseorang?

demi Tuhan semua yang hadir tahu siapa yang lemah, salah dan bodoh.

‘aduh dik… ini apa… suasana apa ini…?’
‘tutup kupingmu mbak… jangan dengarkan…’
‘aku banyak pekerjaan dan dia menyuruhku duduk di sini melihat tontonan tidak mengenakkan ini?’
‘pergi mbak, garap kerjaanmu’

tak tik tuk tak tik tik tuk tak tik tuk…

jari-jari yang asyik bermain di tuts handphone di genggaman masing-masing. bercakap tentang entah apa dengan entah siapa entah di mana. duduk di sini pikiran mengembara. muak dengan suguhanmu yang menjijikkan. tak tega tengadah menatap korban kebengisan hatimu yang sakit.

hingga kapan kau berada di situ, menatap sinis bicara sadis mengintimidasi? hingga kapan kau punya kekuatan itu, hingga kapan kau genggam kuasamu?

aku tidak bisa pergi dari sini. jadi aku akan bertahan denganmu, tinggal dua tahun lagi.



221008

Read more!

Pukul 12.20

“Aku ngantuk, Yud”, aku memeluk Yudi dari belakang dan menyandarkan kepalaku di bahunya.

“Tidurlah”

“Aku masih ingin menungguimu bekerja. Masih lama kah?”

Yudi mengangguk, “Kamu tiduran dulu aja di sofa, jadi bisa tetap menungguiku bekerja”

Perlahan kulepaskan rangkulanku, kukecup rambut Yudi. Yudi memutar kursi kerjanya hingga dia menghadap ke arahku, mengecup hidungku, dan membiarkan aku berbaring di sofa.

Yudi mulai bekerja lagi. Aku tak terlalu mengerti apa yang dikerjakannya. Tak mengerti sama sekali malah. Aku hanya tahu bahwa ada saat dia mengerjakan sesuatu yang menuntut konsentrasi penuh dan tak boleh putus sama sekali. Jika itu terjadi, dia mungkin harus mengulang lagi semuanya dari awal. Aku tidak mau. Selain kasihan Yudi yang jadi tak selesai-selesai pekerjaannya, itu berarti waktu untukku akan semakin sedikit tersisa.

Aku masih melihat dia mendongak, manggut-manggut, menggaruk kepala, sedikit corat-coret. Hanya beberapa saat….

***

Kurasakan kecupan lembut di antara dua mataku. Kubuka mata dan kulihat Yudi tersenyum lembut.

“Uhm…. sudah selesai?”

“Aku ngantuk”, katanya.

“Kenapa tidak tidur?”

“Ya, tapi aku ingin tidur sambil mendekapmu semalaman. Kalau di sini, aku takut jatuh”

Mau tak mau aku tersenyum dalam kantukku. Yudhi menyusupkan tangan kirinya ke bawah leherku, dan tangan kanannya kebawah lututku. Aku melingkarkan tangan dan menyusupkan wajahku ke lehernya, membiarkannya mengangkat dan membawaku ke kamar.

Kulirik jam dinding, sudah jam 02.45. Tidak tepat semalaman, tapi paling tidak aku masih punya dini hingga pagi hari ini, tidur dalam dekapan kekasihku.



181008

Read more!

Tuesday, October 14, 2008

par, di mana kamu?

ini sudah entah lebaran ke berapa belas kita tidak berjumpa. tiba-tiba aku pengen ketemu kamu, tapi tak ada yang tahu kabarmu.

par, masih ingatkah kamu padaku? aku tahu aku mengenalmu sejak bayi, tapi momen pertama yang kuingat tentangmu adalah hari itu, ketika kamu masih rembes bangun tidur, dan aku dengan semangat berangkat di hari pertama sekolahku.
‘ayo par, sekolah, biar pinter…’
tapi kamu masih saja jongkok di depan pintu, cemberut.

par, apa kabarmu? kepalaku masih penuh dengan kenangan masa kanak-kanak kita. saba kebon mencari bekicot, memanjat pohon jambu, perosotan di lumpur di dekat sekolah, mencuri singkong di pekarangan sebelah, balapan cepet-cepetan sampai di rumah, blusukan di hutan mencari kayu, jelungan, bancakan, betengan… berantem.

par, pernahkah kau merasa kehilangan aku? karena aku begitu. aku benci masa remaja yang mendatangi kita, merenggut mu yang jadi malu terlihat bersama. kenapa harus peduli? apa salahnya berteman dengan perempuan? harusnya kamu biarkan saja anak-anak itu menuduh kita pacaran. aku tak pernah keberatan, karena kita yang tahu yang sebenarnya. tapi kamu menjauh… menjauh…

par, kau ke manakan kecerdasanmu, yang kau bagi bersamaku setiap kita belajar bersama nunik, gatot dan yang lainnya?

par, kau apakan ketrampilanmu, yang kau berikan kepadaku setiap kali kau buatkan mainan untukku?

par, kau simpankah keras hatimu, yang tak pernah mau mengalah ketika beradu pendapat denganku?

par, masih adakah senyum pelitmu? masih adakah cemberutmu?

par, di mana kamu?

Read more!

dadaku masih sesak oleh kesalku

Tenggorokanku sakit menahan tangis. Ya ampun, aku pengen nangis. Tapi masak sih sampai harus menangis?

Yoyok duduk saja di depanku. Tidak mencoba menenangkan atau menjelaskan apa pun. Padahal aku yakin sekali dia tahu kejengkelanku karena dia lupa membawakan pesenanku.

“Kamu selalu begitu. Dipesenin satu aja kok ya lupa. Yo mesti, karena itu bukan kepentinganmu, ya kan? Karena buatmu ngga penting, makanya ngga nyantel di pikiranmu. Tapi bagiku itu penting. Kalo aku ngga dapet senarnya sekarang aku ngga bisa benerin tas Mbak Eny lagi, soalnya besok kita sudah harus berangkat. Dan aku udah janji sama Mbak Eny aku akan selesai sebelum kita berangkat. Itu tasnya mau dia bawa mudik juga….”

“Aku tahu…”

“Kalau tahu kenapa ngga dibeliin juga?”

“Aku lupa..”

“Ya kenapa bisa lupa?

“Ya aku ngga tahu, namanya lupa ya lupa aja…”

“Memangnya apa sih yang kamu pikirkan, sampai pesenan satu aja ngga inget? Tadi pagi aku kan sudah nanya, bisa ngga? Kalau ngga bisa biar aku pergi sendiri, tak berangkat sendiri, tak beli sendiri. Numpak angkot ngga masalah yang penting pesenannya Mbak Eny bisa selesai tepat waktu. Tapi kamu bilang ngga usah ngga usah! Puasa, kasihan kamu panas-panas. Biar aku beliin, nanti kamu benerin sebentar habis buka. Ya emang sebentar, habis buka bisa. Tapi kalo barangnya ngga ada kan jadi ngga bisa….”

Yoyok cuma diam menghela nafas. Sebenarnya aku juga tahu banyak yang dia pikirkan. Akhir bulan selalu menuntut dia jungkir balik menyelesaikan pekerjaan sebelum tutup buku. Apalagi ini tutup bukunya maju karena akhir bulan perusahaan sudah harus libur lebaran.

Tapi aku tetap saja jengkel. Maksudku ya itu tadi, kalau memang tidak bisa aku tak beli sendiri, tapi ngga boleh. Sekarang?

“Tadi siang aku tu ngga ngapa-ngapain. Cuma menata baju yang mau kita bawa besok. Udah. Seharian bengong, nonton tivi, mau main tetangga sudah sepi. Coba tadi aku pergi sendiri kan ada hasilnya. Harusnya aku ngga usah nitip kamu”

Yoyok masih diam saja. Malah menyambar remote tivi dan menyalakannya.

“Mas!”

“Apa…”

“Kamu ini lho. Kok malah nyetel tivi”, uuuhhhh… Jengkelku semakin menjadi.

“Lha gimana? Aku disuruh apa?”

Kurebut remotenya, dan kumatikan tivinya.

“Anter aku beli senar”

“Masih buka? Katamu tutupnya jam empat…”

“Di toko yang satunya, di Peterongan. Agak mahal, tapi buka sampai jam delapan”

Yoyok berdiri, mengambil kaos yang tersampir di kursi makan, dan kunci motor yang tergantung di paku di kusen pintu kamar.

“Ayo..”, katanya.

Aku masih duduk di tikar, memegang bantal yang tadi kugebuk-gebukkan ke badan Yoyok saking jengkelnya.

“Lha kamu ngga ndang cekat-ceket gitu malahan. Ayo, selak tutup. Ini sudah setengah delapan”

Yoyok mengulurkan tangan membantuku berdiri.

***

“Kalau masih ada jalan keluar, kenapa sih harus marah-marah begitu?” tanya Yoyok di perjalanan.

“Habis aku jengkel”

“Aku kan sudah minta maaf. Aku bener-bener lupa. Bukannya mau gagalin rencana kamu yang sudah thirik-thirik itu..”
”Ya aku merasa dikesampingkan aja. Wong pesen satu barang aja kok sampe lupa. Kebangeten”

“Ya aku kan ngga sengaja. Seharian aku dikejar-kejar dealer dan customer… Trus kalau kamu marah-marah, apa senarnya muncul begitu?”

Aku meninju punggungnya.

“Lha mbok dari tadi langsung ngajak berangkat beli kan bisa. Dan ngga kemrungsung kaya gini, bisa agak gasikan. Aku sholat maghrib sebentar trus berangkat, kan agak longgar”, kata Yoyok lagi.

“Habis aku jengkel…”

“Jengkel kok dipiara…”

Yoyok meraih tanganku dan mendekapnya di dadanya. Aku menyandarkan kepala di punggungnya. Mbuh lah. Nanti kalau sampai di Peterongan tokonya sudah tutup, aku akan langsung telpon Mbak Eny, minta maaf karena ngga bisa benerin tasnya hari ini. Mudah-mudahan dia mau mengerti.

Eh, tapi tentu saja aku harap tokonya belum tutup!

Read more!

Saturday, September 13, 2008

Mesin mobil mati.

Kau memandangku, aku memandangmu.
‘Sudah?’ tanyaku
‘Sudah’
‘Belum’
Kau menghela nafas. Lalu seperti biasa membuang muka ke arah jalan, menyandarkan badan. Menarik-narik bibir dengan tangan kananmu, sementara tangan yang lain menggenggam persneling seolah tak kau biarkan dia bergerak sendiri.
Aku bosan melihatmu begitu, dan aku menaikkan kedua kakiku, memeluk dengkulku. Tapi ah, tidak nyaman banget, jadi kuturunkan lagi dan aku ikut-ikutan membuang pandangan ke arah lain.
Diam.
Ok, kau mendekatkan wajah dan mengecup pipi kananku. lalu apa, kau berharap aku pergi setelah itu?
‘Aku belum mau turun’.
Aku masih ingin lebih lama bersamamu. Kenapa waktu seperti berlari kalau kita sedang bersama?
Kau mendekatkan wajah lagi dan mengecup keningku, ‘Turunlah. Masih ada waktu lagi’
Aku menarik diri dan bersandar lagi. Tapi kali ini kau menghadap ke arahku, menatap penuh permohonan supaya aku meninggalkanmu.
Baiklah, tak enak juga bersamamu dalam suasana beku.
Aku melihat ke arah luar. Di warung itu dua orang sedang minum es teh dan sepertinya sedang menunggu pesanannya datang. Tepat di seberang jalan seseorang sedang berdiri menatap tepat ke arah mobil. Dan kulirik ke spion tampak pengemudi mobil di belakang juga sedang menatap ke depan, ke arah mobil kita.
Ah… bagaimana ini? Tidak bisa. Aku benar-benar harus pergi. Tapi… ah mbuh lah. Mungkin belum waktunya.
Aku ulurkan tangan dan kau sambut lantas kau kecup. Kutarik kau mendekat dan menyerahkan pipimu. Tak tepat, sayang. Kupingmu yang berada di depanku. Lembut kupegang dagumu untuk mendapatkan pipi. Tapi… ah, tanggung amat. Sedikit tambahan sudut putar dan bibirmulah beradu dengan milikku.
Diam, jangan mundur, karena kini erat kupegang dagumu. Bukan kecupan, entah apa merasukiku, aku mencium dalam. Sekilas. Ingin kuperpanjang tapi akhirnya kulepaskan. Membiarkan kita berdua kebingungan. Tak sanggup berkata.

Kau memandangku, aku memandangmu.
Sudah, kali ini benar-benar sudah, walau tak akan kukatakan.
Dan kubuka pintu lalu turun. Tanpa berkata-kata meninggalkanmu yang juga terdiam tak bicara. Aku berjalan cepet secepat degup jantungku yang memburu. Bertanya-tanya apa yang kau pikirkan dan rasakan.
Ah, mbuh lah….

Read more!

bertahun-tahun aku menunggu...

akhirnya datang saat itu. bisakah kau bayangkan perasaaanku? bertahun, ya, bertahun kami hanya saling memandang dan bicara hal tak penting, sedang hati kami bergejolak dan mata kami mengedipkan rasa yang terpendam dalam.

keadaan kah yang membuat kami begitu? keadaan pulakah yang membiarkan dia mengikutiku dan tiba-tiba mendaratkan ciuman di pipiku?

kebahagiaan yang membuncah ketika akhirnya semua terungkap bukan dengan kata-kata. lega tak terkira laksana terbebaskan beban yang menghimpit dada. melambungkan dua anak manusia dimabuk asmara…

tahukah kau, La?

ketika hanya percik-percik itu yang ada, ketika belum terlahir semuanya, ketika hanya mata mengisyaratkan dan hati menduga, aku bahagia dengan setiap perhatian kecilnya. dan hanya sedikit demam hati melihat yang lain bersamanya .

tapi kini setelah rasa diungkapkan, aku meminta lebih dari yang pernah kuharapkan. bahkan ketika dia sudah berikan, makin lebih lagi yang aku inginkan.

dan yang menyiksa batinku adalah, kini aku merasa sakit melihat kenyataan yang sudah kutahu sejak awal, bahwa dia adalah milik seseorang…

Read more!

Friday, August 22, 2008

Plak..!!

“Itu karena kau telah menyakiti anak-anakku”

Plakk..!!

“Dan itu karena kau telah tidur dengan suami orang, apa pun alasanmu”

“Bun…”

“Jangan panggil aku begitu. Kau tidak pantas panggil aku ‘Bunda’. Kau melakukannya di rumahku, di peraduanku…”

***

Aku tidak percaya itu adalah kau.

Aku tidak percaya itu adalah suamiku.

Aku masih ingat bagaimana aku selalu mengingatkanmu, betapa banyak godaan di dunia yang kita geluti ini. Aku telah berpuluh tahun di dalamnya, dan alhamdulillah aku diberi kekuatan untuk bertahan atasnya. Tidak, Ndhuk. Bukan karena aku ingin menunjukkan padamu bahwa aku ini orang kuat. Aku bisa bertahan sejauh ini bukan berarti aku tidak bisa lupa suatu hari. Aku hanya ingin kau bisa membentengi diri, akan sesuatu yang aku sudah tahu pasti dan aku tidak tahu sekuat apa kau bisa menghindari.

Aku tak percaya bahwa bukan dari dunia itu kau akhirnya jatuh, tapi dari sisiku.

Aku menyayangimu seperti anakku sendiri. Karenanya kuarahkan kau mencari pekerjaan selain yang satu ini. Bukan karena pekerjaan ini hina atau cela. Dia mulia. Hanya saja kau punya lebih untuk bisa jadi lebih dari sekedar seperti aku. Aku selalu heran dengan penolakanmu atas pekerjaan yang lebih baik yang bahkan mendatangi tanpa kau harus mencari. Aku tidak bisa mengerti alasanmu bertahan bersamaku.

Tidak memang, waktu itu. Tapi kini aku tahu bahwa aku bukanlah alasanmu. Bukan itu yang membuatku sedih. Tapi kenyataan bahwa kau manis di hadapanku, tapi pahit di belakangku. Dengan berjuta kebohonganmu yang terbuka bagiku satu per satu. Dan bahwa alasan itu adalah, suamiku.

Ndhuk, firasat-firasat yang buruk sudah lama kurasakan, dan tak ingin aku percayai. Tidak, sampai aku menemukan bukti. Dan kini setelah kugenggam apa yang kucari, aku masih tidak bisa percaya. Aku masih berharap ini mimpi buruk yang akan berakhir ketika aku bangun pagi hari. Nyatanya, aku sudah bangun berkali-kali, dan ternyata ini memang bukan mimpi.

Kau tega pada orang yang selama ini kau panggil ‘Bunda’. Yang memberimu tempat bernaung, dan membiarkanmu menjadi bagian dari keluarga. Aku tidak minta bayaran apa-apa, Ndhuk. Tapi pantaskah jika ini yang kuterima sebagai balasannya?

Andai bisa kau lihat hatiku, yang kini remuk tak berbentuk. Dan kau masih menggelayut di lengan pria yang selama ini menjadi suamiku, sampai kapan lagi, aku tak tahu.

Jika hal terburuk terjadi padamu, dia harus memilih antara kau, atau aku. Read more!

Friday, July 18, 2008

istriku

boys and girls, please don’t try this at home. it’s very, dangerous…

kami baru saja selesai bercinta. tenggelam dalam kenikmatan yang melelahkan. istriku masih meringkuk di pelukanku. aku sendiri masih melayang.

“tam, kau bersihkan diri dulu”, bisiknya

“kenapa tidak kau dulu?”

dia cuma melenguh pelan, manja.

aku selalu mencintai istriku. sangat. bahkan ketika kami berjauhan, aku selalu memikirkannya, hanya dia. membayangkannya membuatku berdesir. berdekatan dengannya membuatku bergelora. menyentuhnya membuatku ingin menggumulinya…

istriku bukan wanita istimewa. biasa saja. bukan yang cantik seperti luna maya, atau yang badannya aduhai seperti dewi persik atau azhari sekeluarga. hidungnya tak terlalu mancung. matanya tak terlalu lebar atau sipit. dagunya tidak lancip. pipinya tidak naik. semua biasa saja.

badannya apalagi. masih bisa terlihat sisa-sisa baby-weight di sana sini, bahkan setelah lima tahun kelahiran satu-satunya anak kami. kadang dia mengeluhkannya, lalu aku akan berkata aku tak peduli. tapi kurasa sebenarnya dia juga tak peduli, hanya pura-pura saja merasa tak nyaman. sedangkan aku, aku benar-benar tak peduli. malah menurutku, dia lebih bagus agak montok begitu, daripada kurus seperti pada saat aku menikahinya.

istriku lebih suka bercinta dalam terang. maksudku benar-benar terang. dengan lampu neon 18 watt yang terpasang di plafon kamar kami. dan dia akan membiarkanku melihatnya.

aku sendiri lebih suka melakukannya dalam gelap. tidak benar-benar gelap. aku akan membuka gorden jendela kamar kami dan membiarkan cahya-entah-apa masuk dan memberikan sedikit benderang dalam pekat. remang memberiku lebih banyak gairah dan imajinasi di kepalaku. dan begitulah kami ini melakukannya.

dalam terangnya gelap kupandangi wajah istriku, kukecup keningnya. dia sudah tertidur. perlahan kulepas rengkuhku, aku tak mau dia terbangun. aku beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan diri.

ketika aku kembali, kunyalakan lampu.

oh tuhan, itu istriku tertelungkup tanpa busana di ranjang kami. kakinya lurus tak tertekuk sedikit pun. kedua lengannya juga lurus ke atas sehingga bisa kulihat dadanya sedikit saja. nafasnya naik turun perlahan, teratur.

aku tak pernah menyadari istriku seindah ini. ingin kusentuh, kubelai, kucium lagi. tapi aku tak mau mengganggu tenang lelapnya. jadi aku duduk di lantai menikmati keindahannya. memandang, dan memandang saja. dari sudut ini. lalu aku berdiri dan memandangnya dari sudut yang lain. lalu dari sudut yang lain lagi. dan hanya kutemukan keindahan yang sama.

aku bersyukur atas apa yang tuhan beri untukku.

kutarik selimut dan menebarkannya di atas tubuh istriku. aku berbaring di sampingnya sambil tetap memandangi wajahnya yang damai, hingga aku pun jatuh tertidur tanpa menyadarinya. Read more!

Friday, July 4, 2008

you were there, and so was i

sitting few chairs apart, staring at the same stage where the boys and the girls performed. did you look at me for a second or two? i turned my head to you but your eyes are there to the stage.
so it was the end of the show. i was holding my glass beside the table and you were approaching to have one.
"wasn't it great?", you said,"the performance...."
"i'm always amazed with anyone who is able to play a piano" i replied
"is it the one, or the piano?"
"the sound"
"oh"
you drink a little and look away
i was waiting for some thing you might wanted to say
"i play piano" there you go
"o really?"
"i give a lesson actually"
"oh?"
"and the boys and the girls who just performed, are my students"
"oh, that's wonderful"
i always wanted to be able to play piano, but wouldn't it be too late for me to start?
...
...
there you are again, sitting in front of the grand piano in this hotel lounge. can't believe now it's me standing beside you holding the microphone and sing to you. yes, just you and me in this empty space. you play for me, and i sing for you.
a dream i never imagined i'd have, moreover to come true
a chance encounter that brought me to you Read more!

Friday, June 20, 2008

Sam's wife

this is just a fragment of a story I'm working on in Indonesian. but this fragment it self stands as a short story, and has a happy ending.
and since english is not my mother language, I apologize for any mistakes I might make writing it.



We went to Bogor right after that. I wanted to say ‘no’ but I couldn’t. I didn’t know why Sam wanted me to go with him. In my evil imagination, Sam’s wife is a sick lady waiting for her death. This weekend is Sam’s last effort to make her happy. Sam brought me to be introduced to his wife, and to ask for her permission, or may be an opinion, about her substitute if she finally dead.
Crazy.
Even in a story, I wouldn’t write such a stupid thing.
“Why do I have to go?”
“Because I need you to”
“Sam, don’t you understand? You just broke my heart into pieces. I couldn’t say a word, I couldn’t even cry. And now you ask me to accompany you having weekend with your wife, and you don’t tell me why. You are crazy, Sam!”
I was so mad. My lunge was pressed so my voice didn’t come out right.
Sam just looked at me with those begging eyes. Oh those eyes. I could not refuse.

***

In Jagorawi tollway, instead of taking left turn to Bogor, Sam drove straight on.
“Why didn’t take the left turn?”
“What’s wrong with it?”
“You said we are going to Bogor”
“Bogor’s edge, maybe”
“Where are we going, Sam? Oh, Puncak?”
“No”
I slammed my body on the seat rest, “I don’t know why I trust you, Sam. May be you are taking me to a tea plantation area, rape me, and then murder me…”
“Cin!”, Sam yelled at me. I guess he was shocked with my words, I felt the car going crazy for seconds.
“Sorry, okay, I won’t say a word. I hope I will never regret this trip”
The rest of the trip was silence. I just looked outside the window. The view should be beautiful, should be. But I couldn’t feel the beauty. My heart was feeling too bad for that.
Sam didn’t say a word either. His eyes just kept on the road. Don’t know what was going on his mind. In weekend, these hours, traffic jam is a certainty. This trip felt much longer, and so was the torturement. I wanted to get out and went home, but I knew I couldn’t.
Suddenly I regret I decided to go.
Suddenly I regret I received Sam’s love.
Suddenly I regret for hoping too much.
Suddenly I regret my first met with Sam.

***

The sun has set when we entered the tea plantation area, few kilometers before Puncak. I smiled remembering what I worried about. A few kilometers on rock path and we arrived to an old style big Dutch house. Big. Tall. Boastful.
Sam helped me with my bag, which I filled just with few pieces of clothes. I wondered why Sam didn’t bring any.
I followed him to the house. A man and a woman were awaiting in front of the door. I guess they were the villa keeper. The man took the bag in Sam’s hand. The woman brought me to my room, “Come on, Neng(*)”
I looked at Sam, asking for his opinion.
“Take a rest, she will show you your room”
I did what he said. Sam left us. My room was so clean and white. The only color came out from the roses in the vase on the table.
“Thank you. May I know your name?”
“Just call me Lilis”
“Thank you, Lis”
“You are welcome, Neng”
Lilis walked to the door, leaving me.
“Lis…”
She turned around.
“Do you know Sam?”
“No I don’t. We just take care of the villa and the guess. Mr. Sam rent this for this week end. They said some people will come. I and my husband have prepared the rooms and everything.”
“Will there be a lot of people to come? Do you know them?”
“Sorry, Neng, I don’t”
“It’s okay, thank you”
“I’ll be behind, if you need me”
I nod, Lilis left.

***

I just finished my bathe. Sam hasn’t called me, and I was feeling lazy to call him first. I was waiting for him to call me and introduce me to his wife, or do anything he planned. I haven’t met anyone except Lilis and his husband.
Knock Knock.
I opened the door and Lilis came up with a box.
“Mr. Sam asked Miss Cin to wear this dress”, she gave me the box.
In doubt, but I took it and brought it to bed.
“You know my name?”
“Mr. Sam told me”
A kebaya and a long batik skirt.
“When do I have to wear this, he said? This looks like a wedding dress”
Lilis didn’t answer my question, she just left. It was Sam got in my room.
“It is. I’ve asked your sister to help me to get it. I hope you like it. I mean, a bride usually choose her own wedding dress.”
I looked at Sam, with questions.
Sam sat by me, grasped my hand.
“Cin. You told me once that you would marry me. You even said, you could marry me right that time when I asked you to”
“I did, so much. But that was before I knew you are married”
“What made you think I am married?”
Oh God. I wanted to hit a hammer on this man’s head. Wasn’t it him who told me he was going to have a week end vacation with his wife? I pulled my hand off his.
“Don’t play with me, Sam. Now just tell me what you want. Where is your wife? Why are you taking me here?”
“I never played with you. And I want to marry you. And my wife soon will be here if you say you do. And I brought you here to make you my wife”
“Your second wife? Third? And after we get married, your first wife will come and see me? For what? To say bad words on me? Or may be asking for my help to serve you?”
Sam sighed long and deeply, as he was doing it for me, who has lost control.
“Will you please listen to me, and promise not to cut before I finish?”
I nod.
“Right this time. You father, your mother, your sister, and your younger brother are here. They’ve been waiting since this morning. And so are my mother and my two brothers. I’ve talked to them. It was hard at the beginning. You brother even told me I was crazy. But I’m glad they finally understood”
Sam stopped, but I knew he wasn’t finish yet.
“This time, is just for our family. If you want a party for friends and families, we will do it later. Cin I want you to marry me, now. That’s why I told you, my wife would be here if you would. Because if you wouldn’t, I will get out of this house, remaining as a single man. So will you?”
I closed my face with two hands. All feelings mixed in my heart. I didn’t even know what to feel. My body was trembling I was so happy. But at the same time I felt so ashamed for the suspicious thought of Sam.
Sam took may hands of my face, and held them both.
“I’m done. Now you can answer me, you have to”
“Oh, Sam I would. Of course I would. You… you are crazy, I hate you!”
I hugged Sam tight, didn’t want to let him go.



*)Neng: Miss, in Sundanese. Read more!

Wednesday, May 21, 2008

*hug*

Aku ingin terus begini. Please, ijinkan aku bersandar di damai dekapmu. Jangan katakan apa-apa. Jangan, seperti biasa ketika aku mulai bertanya tak karuan -- jangan kau jawab, karena toh aku tak akan bisa mendengarkan.

Dekap saja aku. Kecup kening atau rambutku. Terimalah aku dengan segala kelemahanku. Dan kau akan memberikan kekuatan padaku untuk berdiri tegak. Limpahi aku dengan kasih sayangmu. Tenangkan aku dengan segala kesabaranmu. Teduhkan aku dengan lembut tatap matamu.

Jangan katakan apa-apa. Aku pula tak akan melakukannya. Biar tak ada lagi debat antara kita yang selalu muncul karena aku tak bisa berhenti bertanya-tanya. Pahamilah diriku. Maafkan jika aku selalu meminta begitu tanpa terlihat bisa memahamimu. Aku mencoba. Tapi ketakutan lebih menguasaiku, dan aku tak mampu menahan diri...

Dekap saja aku. Hingga bisa kudengar detak jantung kita yang tak beraturan, ketika punyaku terlalu cepat karena ketakutan, dan milikmu menderu menahan kekecewaan. Dekatkanlah keduanya, biar mereka yang saling bicara dan menemukan irama yang sama. Cepat dalam hasrat, dan melemah dalam kedamaian.

Jangan pergi dulu. Biarkan aku tertidur dalam damai rengkuhmu. Read more!

kau akan datang...

Sendiri aku bertelanjang kaki berdiri di atas pasir di pinggirannya. Kali ini aku berdiri agak jauh, tidak seperti biasanya ketika kubiarkan debur ombaknya menghempas hingga ke dada. Tapi aku masih ingin merasakan ujung lidahnya menjilat, dan mengikis sedikit pasir di bawah telapak kakiku, hingga aku hilang sedikit keseimbangan dan membetulkan pijakanku.

Tak pernah jemu aku menghirup segar aroma garamnya, dan merasakan hembusan anginnya yang kian sore kian kencang mengibarkan rambutku. Mulai dingin. Kurapatkan jaketku dan kusilangkan tangan di depan dadaku. Mataku menatap jauh ke ujung cakrawala.

Hey, apakah cakrawala itu ada ujungnya? Kata Bapak, cakrawala itu setinggi mata kita. Kau pandang lurus saja, dalam segala posisi kau akan mendapatinya setinggi mata. Tadinya kupikir itu hanya teori ketika kita akan melukis. Tapi tidak. Aku sudah mencobanya. Ketika aku berdiri, maka ia setinggi mataku. Dan orang-orang yang berdiri di sekitarku, maka tinggi mata mereka kurang lebih segaris dengan sang garis cakrawala. Dan ketika aku jongkok, maka cakrawala itu setinggi mataku, dan orang-orang yang berdiri, tinggi mata mereka berada di atasnya.

Sore ini agak mendung, dan aku tidak begitu jelas melihatnya. Hanya karena aku telah bertahun-tahun hidup di sini, aku bisa mengira-ngira di mana ia. Sesaat lagi ketika matahari mulai terbenam, akan terlihat garis yang membiaskan bola cahaya merah itu. Atau memantulkannya di atas riak ombak lautnya? Dan semburat warna oranye, ungu, biru menghiasi langitnya. Aku kadang menambahkan sedikit hijau di kanvasku, dan Bapak bertanya kenapa ada kehijauan di situ? Sedikit sisa kuning matahari bercampur dengan sisa biru langit siang hari, kataku.

Seperti beberapa waktu yang lalu, entah untuk ke berapa kalinya, sore ini lagi-lagi aku tiba-tiba ingin berlari ke sini. Merasa aku akan menemuimu sedang menunggu. Kutinggalkan begitu saja palet dan kuas di lantai, bahkan agak terlempar ke bawah kaki tiga yang menyangga lukisan setengah jadiku. Tapi kau tak ada. Dan anehnya, aku sama sekali tidak kecewa.

Bukan juga lega. Dan bukan pula tersadar bahwa memang tidak seharusnya kau ada. Perasaan itu begitu kuat, membawaku kemari. Seolah kau telah menjanjikan hari ini akan datang menemuiku di sini, membawakan coklat yang aku pesan. Aku tahu, dan kaupun tahu, betapa sesungguhnya aku sama sekali tidak peduli apakah kau akan membawakan coklatku atau tidak. Aku hanya ingin kau datang....

Itu dia... matahari mulai tenggelam menghilang. Tak ada lagi warna kehijauan di sudut-sudut bidang langit. Hanya tersisa rona jingga kemerahan yang lama kelamaan menjadi kelabu, dan kelam. Kupandang langit dan berharap melihat bintang, seolah dia adalah kau yang menyapaku dari kejauhan. Dan mengerling, menjanjikan bahwa suatu saat kau akan datang. Tapi mendung tak membiarkan hampaku sedikit terobati menemukannya.

Kubalikkan badan, memandang sebentar ke lautan. Dan pulang. Setelah ini, entah berapa kali lagi aku akan berlari ke sini tanpa ada kau kudapati. Sudah dua tahun. Tapi aku tak peduli. Aku tahu kau akan datang. Aku tahu.... Read more!

menunggu

Kegelisahannya semakin memuncak. Entah sudah berapa kali dia duduk, berdiri, duduk lagi, berdiri lagi. Di tepi kasur, di kursi makan, di ruang tengah, di kursi tamu. Mondar-mandir dari kamar, ke dapur. Lalu ke kamar lagi. Menyalakan tv, ditinggal termangu di jendela depan. Lalu kembali ke kamar, mematikan tv. Duduk.
Dipandanginya telpon genggamnya. Tidak berbunyi. Tidak ada panggilan ataupun pesan. Setiap lima menit sekali diceknya. Tentu saja tetap tidak ada, karena kalau ada pasti terdengar bunyi ringtonenya. Dia jadi ragu apakah telponnya itu rusak. Di matikannya, lalu dibuka casingnya. Diambil baterainya, chipnya. Dibersihkan walaupun tidak kotor. Dipasang lagi, dihidupkan. Lalu dicek lagi setiap lima menit, seperti tadi. Dan hasilnya masih sama saja.
Diraihnya novel yang baru dibelinya beberapa hari yang lalu. Ada saat membaca bisa membunuh waktu. Tapi tak jarang sama sekali tidak membantu. Seperti saat ini. Jarinya telah menyibak beberapa lembar, tapi kemudian dia tersadar bahwa tak ada sama sekali yang masuk ke kepalanya. Lewat pun tidak. Lalu dia mengulang lagi ke titik terakhir jalan cerita yang diingatnya. Begitu berulang-ulang. Matanya membaca tapi hati dan pikirannya berkelana...
Diliriknya jam dinding yang dipasang di dinding selatan ruang tengah, tempat dia duduk sekarang. Kenapa jarumnya serasa tidak bergerak? Apakah dia rusak? Lalu dilihatnya jam tangannya, sama persis. Jam di telepon genggamnya, hanya lebih dua menit, deviasi yang masih termaafkan. Jadi jam itu tidak rusak, tidak mungkin semua jam di rumah ini rusak.
***
Dina menyadari siapa dirinya. Di mana posisinya. Bagaimana keadaannya. Ini adalah pilihannya, dan dia sangat mengerti konsekuensinya.Dina juga menyadari siapa Juna. Di mana posisinya. Bagaimana keadaannya. Dan ini juga sudah menjadi bagian dari pilihannya.
Juna sendiri pernah mengingatkan Dina tentang semua ini.
“Aku hanya ingin memastikan kau mengetahui keadaannya”
“Aku sudah tahu, Jun. Semuanya”
“Bukan hanya tahu. Kau harus mengerti”
“Aku mengerti”
“Dan pilihan yang kita buat ini, konsekuensinya...”
“Itu aku juga mengerti, dan aku siap menghadapinya”
Juna memandangi wanita di hadapannya. Ada kesedihan, kepasrahan, harapan, dan cinta yang tak terkira. Dina memandangi lelaki di hadapannya. Ada iba, perlindungan, janji, dan kasih sayang yang berlimpah.
“Aku hanya ingin kau bahagia, Din. Jika ini justru membuatmu menderita, aku tidak akan melakukannya”
“Kenapa kau pikir aku akan menderita? Kebahagiaanku mungkin tidak sempurna. Tapi kalau kau tinggalkan aku, kau justru akan merenggutnya, dan tak akan ada lagi yang tertinggal untukku”
Komunikasi mereka berdua tak pernah berhenti. Juna menelpon dan mengirim sms setiap saat. Dari canda hingga keluhannya. Dari rayuan hingga marahnya. Tidak... Juna tidak pernah marah. Mungkin pernah, tapi tak pernah benar-benar ditunjukkannya. Dia selalu berkata, ‘Nggak papa...’. Dina lah yang terkadang merajuk. Tapi Dina selalu mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak, karena itu adalah bagian dari konsekuensi atas pilihannya. Juna juga tidak pernah mengingatkannya akan hal itu.
Dina tahu persis siapa Juna. Kesibukannya sebagai pengusaha membuat semakin sulit bagi mereka untuk sering berjumpa. Karena bahkan untuk istri pertamanya pun, waktunya sangat terbatas. Juna menjalankan bisnisnya dari Jakarta, sedangkan istri dan tiga anaknya tinggal di Yogya. Juna tidak pernah berada di satu tempat yang sama dalam sehari. Pagi hari dia di Ciputat, siang hari dia menelpon ketika sedang makan siang di Bandung. Menjelang maghrib, smsnya memberitahu bahwa dia sedang perjalanan ke Bogor. Menjelang tengah malam ketika Dina mengucapkan selamat malam, Juna mungkin sudah di Jakarta lagi, sedang bersiap untuk meeting esok hari.
Tapi berjumpa secara fisik, Dina harus menerima betapa waktu Juna untuk bertemu dengannya hampir tidak ada. Penantiannya berhari-hari, kadang harus cukup terbayar dengan satu atau dua jam bersama. Dan Dina menerima semua itu.
***
Seperti hari ini. Penantiannya selama tiga minggu semestinya harus berakhir beberapa jam yang lalu. Juna sedang ada meeting di Bogor. Katanya sebelum terbang ke Yogya dia akan menemuinya. Kalau Juna katakan sedang meeting, Dina tak akan berani menghubunginya. Toh kalau Juna sudah selesai, dia akan memnghubungi Dina sesegera mungkin.
Tapi ini sudah empat jam sejak sms Juna yang terakhir sebelum meeting. Dina ingin menghubungi Juna sekarang, khawatir dia lupa. Tidak, Juna tidak pernah lupa. Tapi empat jam... belum pernah Juna meeting selama ini. Dina tidak mau membuat Juna marah. Tidak, Juna juga tidak akan marah. Paling-paling dia hanya akan menjawab singkat: Masih meeting, bentar ya, nanti aku hubungi. Luv you.
Tiba-tiba Dina terlonjak oleh getar telepon yang digenggamnya. Juna! Bukan. Itu Ibunya. Bukan tak senang mendapat telepon dari Ibunya, tapi dia sedang mengharapkan Juna.
“Halo, Dina?”
“Halo Ibu”
“Ibu habis belanja di Pasar Minggu. Ini sudah mau pulang, Ibu mampir ke tempatmu ya?”
“Jangan sekarang, Ibu..”
“Kenapa? Ah... ada Juna?”
“Mm... iya...”
“Ibu juga ingin ketemu Juna”
“Kan sudah pernah Bu...”
“Itu sudah sejak kapan?”
“Bu, bukannya aku egois. Tapi waktu Juna buat aku sendiri cuma sebentar. Nanti jam lima dia harus berangkat ke Yogya. Kalau Ibu di sini aku tidak bisa...” Dina pura-pura malu melanjutkan kalimatnya.
“Iya... Ibu mengerti. Kalau begitu Ibu langsung pulang aja ya?”
“Iya. Maaf ya, Bu. Nanti kalau Juna sudah pergi, aku akan mengunjungi Ibu. Aku janji”
“Ngga harus sekarang juga”
Hening sejenak.
“Din, Ibu senang Juna mengunjungimu”
“Maksud Ibu apa?”
“Kau tahu maksud Ibu, nak. Ibu sudah khawatir kalau Juna tidak membagi waktu untukmu. Ibu tidak bisa membayangkan keadaanmu kalau kamu ditelantarkan”
“Ibu bicara apa sih? Tidak ada yang ditelantarkan. Ibu mau bicara sama Juna?”, jantung Dina berdegup sekencang-kencangnya ketika menawarkan ini. Dia takut Ibunya mau. Tapi dia tahu juga bahwa ibunya akan berkata,
“Tidak usah, sampaikan saja salam Ibu buatnya. Baik-baik ya?”
“Ya, Bu”.
***
Dina menghela nafas panjang, lega. Direbahkannya tubuhnya di kasur. Lalu ia meringkuk memeluk telepon genggamnya. Air mata yang dia tahan selama bercakap dengan ibunya, tumpah seketika. Berbohong menutupi kepedihannya, lebih pedih dari kepedihan sesungguhya.
Tidak, Bu. Juna tidak di sini. Aku hanya sedang menunggunya datang. Dan aku tidak ingin Ibu melihat anakmu seperti ini. Kalau bukan karena cintaku yang besar kepada Juna, aku akan menyebut semua kemauanku untuk bertahan ini, sebuah kegilaan...
Ibunya sama sekali tidak akan rela anaknya ditelantarkan. Ini juga sudah dibahas sebelumnya. Dia hampir tidak mendukung keputusan Dina menjadi istri Juna.
“Jadi istri kedua itu berat, nak. Apalagi tanpa sepengetahuan istri pertamanya”
“Aku tahu, Bu. Tapi aku tidak akan menuntut banyak. Juna juga tidak akan mengurangi hak untuk istrinya. Aku tidak ingin menyakiti perempuan lain. Aku siap dengan semua yang akan kutanggung karena pilihan ini”
Dan ibunya hanya memeluknya.
***
Suara pintu diketuk membuyarkan pikiran Dina tentang Ibunya. Buru-buru diusapnya airmata dengan tisu. Juna tidak boleh melihatnya menangis. Beberapa langkah ke arah depan, Dina balik lagi ke kamar mandi. Ini tidak cukup dilap dengan tisu. Dina membasuh mukanya, lalu bergegas ke depan untuk membuka pintu.
Dan inilah yang ada di depan matanya. Seorang anak muda yang membawa buket bunga untuknya.
“Ibu Dina? Ada kiriman dari Bapak Arjuna”, senyumnya seolah turut berbahagia atas kiriman bunga yang penuh cinta.
“Terima kasih”, dan dibawanya bunga itu ke dalam. Dibacanya kartu yang diselipkan di antara tangkai-tangkainya: ‘untuk pelangiku, dengan sayang sepenuhnya, Juna’.
Dengan penuh tanya, ragu, kecewa dan harap yang bercampur aduk dalam hatinya, Dina meletakkan buket bunga itu di gelas besar yang diisi air. Dina tak punya vas. Ini baru pertama kalinya Juna mengirimkan bunga.
Dering telepon, kali ini dari Juna. Dina memandang jam dinding sebelum mengangkatnya. Jam 16.20. Jam lima nanti pesawat yang akan membawa Juna menemui anak dan istrinya berangkat. Apakah Juna sudah berada di ujung gang? Atau justru sudah di depan pintu, dan menelpon untuk menggodanya?
“Halo”
“Halo, Dina, sayang”, suaranya terdengar lelah.
“Aku menunggu, lama sekali meetingnya”
“Iya. Aku juga agak kesal ni. Meetingnya alot banget. Baru saja selesai, dua jam lebih lama dari yang kuperkirakan. Tadinya aku pikir bisa menemuimu sebelum ke bandara, tapi sekarang sudah hampir setengah lima. Pesawatku boarding jam lima. Sekarang aku sudah di jalan tol. Maaf, aku tidak bisa datang. Tadi aku sempat memesan.... halo... Din?”
“Ya... ya Jun. Aku dengar. Kiriman bungamu sudah datang barusan”
“Oh ya? Cepet banget. Suka?”
“Suka. Bagus. Aku sempat kaget menerimanya. Kamu belum pernah melakukan ini sebelumnya. Makasih ya”
Terdengar nafas lega Juna di seberang. Sepertinya dia mengira Dina menganggap hal yang barusan dilakukannya itu romantis sekali.
“Sukurlah, aku harap dia bisa menggantikan kehadiranku yang urung kali ini. Aku minta maaf. Lain kali aku usahakan datang”
“Tentu. Selamat jalan. Hati-hati ya...”
“Aku akan menelponmu lagi nanti”
“Ya, jangan lupa”
“Din, aku menyayangimu”
“Aku tahu, da..”
Dan aku mencintaimu, Juna, sangat mencintaimu.
Dina menutup telponnya. Menutup matanya rapat-rapat agar air matanya tidak mengalir. Tapi tak ada gunanya. Inilah kepedihan yang sesungguhnya. Dina sungguh takut bahwa dia harus membeli vas bunga, jika setelah ini Juna akan sering menggantikan kehadirannya dengan rangkaian bunga...
***
Sekali lagi Dina bercermin, memastikan tidak tampak bekas tangis di kelopak matanya. Dia sudah menyiapkan senyum paling bahagia untuk ditunjukkan kepada ibunya.
“Halo, Ibu. Juna sudah berangkat. Aku akan ke sana sekarang”
“Apa Juna akan mengantarmu?”
“Tidak, Ibu. Arah jalan kami beda. Juna bisa ketinggalan pesawat kalau harus mengantar aku dulu. Aku akan naik taksi”
“Baiklah, Ibu tunggu”
“Aku berangkat sekarang. Oh iya, Bu, Juna titip salam hormat untuk Ibu”

*(bukan aku bangeeeeeeeeeeeeeeet....................!!!!!!) Read more!

iwan (sepenggal)

...
aku duduk di jok kanan, ya kanan. karena jok pengemudinya di kiri. pelapisnya sudah compang-camping sehingga aku bisa melihat busa di dalamnya, yang mulai robek-robek juga. ini mobil right oriented, eropa atau amerika? aku tak tahu merknya. jeep tua yang jelek. warnanya oranye atau merah bata, aku tak yakin. karat dan kekrep di sana sini. atapnya terbuka, dan ada palang di kanan-kirinya, seperti jeep-jeep yang biasa dipakai off road. tapi aku ragu kalau yang ini juga dipakai off road, bodynya yang karatan bisa patah ketika terperosok ke lubang yang agak dalam.
dia duduk di sandaran, dan kakinya diletakkan di tempat di mana seharusnya pantatnya berada. rambutnya agak gondrong, menutupi lehernya. memakai vest jeans lusuh, menghisap rokok. aku tidak lagi mengenali orang ini.
sudah 12 tahun berlalu. iwan yang kutahu dulu adalah seorang pemalu. tubuhnya yang kurus jangkung melengkung ketika berjalan. dia bisa saja kelihatan lebih tinggi kalau saja mau berdiri tegak. dan itu akan membuatku lebih mendongak ketika harus bercakap-cakap dengannya. tapi dia selalu menunduk, menghindari tatapan gadis-gadis yang mengelukannya sepanjang koridor mulai gerbang sekolah sampai depan kelasnya.
"jadi kau masih sendiri?"
"begitulah, aku menikmatinya"
"kenapa?"
"kau tahu, tidak pernah ada perempuan lagi dalam hidupku setelah kamu"
"bagaimana dengan gadis jepara itu? bahkan ibu kos-mu memamerkannya padaku sebagai pacarmu"
"dia kupacari right after you left me, cuma pelarian. cuma beberapa bulan, dan dia sama sekali tidak bisa menggantikanmu. sepertinya dia capek, dan memilih menikah dengan orang lain, akhirnya"
"kau tahu aku pergi juga karena capek"
"aku tahu. aku menyesal bahwa aku baru menyadari betapa menyebalkannya aku, ketika kamu sudah tidak bersamaku. tapi saat itu sudah terlambat.."
aku menghela nafas. mencoba memahami arti perkataannya. apa dia bermaksud membuatku merasa bersalah? benarkah rina capek? kalau begitu orang ini memang nyapekin..
.... Read more!

pertempuran

aku melihat diriku berkulit merah, berbaju merah, memegang tombak bermata tiga, bertanduk dan berekor. membujukku sambil menyeringai. aku hanya mendengarkan tak mampu berkata-kata atau berbuat sesuatu.
dan aku melihat diriku berkulit cerah, berbaju putih, selembut awan. berkata lembut kepadaku. aku hanya mendengarkan dan tak mampu berkata-kata atau berbuat sesuatu.
si merah berkata lagi padaku.
aku masih diam.
si putih berkata pula padaku.
aku tetap diam.
lagi...
lagi...
...
tiba-tiba si merah berkata kepada si putih setengah membentak
si putih menjawab, tetap dengan lembut.
tapi si merah terus bicara.
aku melihat si putih mulai hilang kelembutannya.
...
aku masih diam, menutup mata dengan kedua tanganku, mendengarakn keduanya beradu mulut. lama-kelamaan yang kudengar bukan hanya suara mulut mereka bicara. aku dengar mereka saling memukul, menendang, menjambak... pertarungan khas ala perempuan.
kata-kata mereka semakin riuh. aku tak lagi bisa mendengar dengan jelas, apalagi bisa mengerti.
aku masih diam, menutup mata. dan kini tanganku menutup kedua telingaku.
kapan pertempuran mereka berakhir?
aku ingin berteriak dan menyuruh mereka berhenti, tapi aku tak dapat bersuara... Read more!