Tuesday, December 23, 2008

Sabtu sore yang mendung....

Di tengah lapangan SD di pingggir desa, sekumpulan anak sedang bermain kasti. Matahari sudah hampir jatuh di garis cakrawala, tapi permainan sedang seru-serunya. Kelompok pemukul bola hampir meloloskan semua pelarinya. Pitik si pemukul terakhir memukul keras, tepat mengarah ke tangkapan Bayu.Bayu memegang bolanya, tapi tiba-tiba terpaku. Penonton berteriak-teriak untuk dia melakukan sesuatu.

“Yu! Lempar ke sini cepat!!”, teriak Wawan yang menghadang di dekat penclokan terakhir.
Tapi Bayu masih membeku.
Teman sekelompoknya ribut berseru. Pemain lawan sudah berlari dan menyentuh empat tongkat yang ditancapkan di sudut-sudut lapangan.
Satu…
Dua…
Tiga…

Empat pelari sudah masuk ke garis rumah. Tinggal Pitik yang masih kurang satu penclokan lagi.
“Bayu! Jangan ngalamun! Bolanya-bolanya-bolanya…!!!” teman-temannya mulai marah.
Bayu tergagap. Dilemparnya bola ke arah Wawan yang menangkap dengan sigap dan siap menghadang Pitik.

Bayu tidak menghiraukan lagi bolanya, tidak peduli teman-temannya, tidak menggubris permainannya. Sekuat tenaga dia berlari meninggalkan lapangan menuju rumahnya. Meninggalkan Wawan yang terbengong-bengong. Meninggalkan Pitik yang berlari terus melewati garis.

Semua pemain kelompok Pitik sudah masuk garis, bersorak berjingkrak memenangkan satu putaran. Bola masih di tangan Wawan, yang terdiam bersama kelompoknya yang sedang berjaga. Dibantingnya bola ke tanah, tanpa ampun. “Sialan Bayu!. Cah edan! Kenapa sih anak itu?”

***

Bayu terus berlari seperti kesetanan. Membelok di dua tikungan, melewati jembatan, membuyarkan sekumpulan ayam yang sedang mencari makan. Membiarkan Mbah Tumi berteriak, “Le… Yu! Ada apa kamu kok lari kaya gitu…?”

Bapak datang, aku harus pulang. Bapak datang, aku harus pulang. Bapak datang, aku Harus pulang.

Hanya itu yang terus diucapkannya dalam hati dan kepalanya. Langkahnya melambat ketika memasuki gang depan rumahnya, semakin lambat di depan pintu masuk pekarangannya, dan berhenti dua meter di depan pintu rumahnya.

Sesaat dia terdiam, memandang ke dalam. Sepi.

Perlahan langkahnya memasuki bagian depan rumah yang luas dan lengang. Kakinya terus mengayun pelan menuju ruang makan yang tak beda senyapnya. Penuh ragu dibukanya pintu kamar barat yang nyaris tak pernah dibuka.

Gelap. Pengap. Dan tidak ada siapa-siapa. Tidak ada suara, hanya nafasnya sendiri yang sedikit tersengal setelah berlari pulang dari lapangan.

Bayu berbalik dan berjalan menuju dapur. Mbah Putri sedang membetulkan letak kayu dan meniup api di tungku.

“Mbah…”, panggilnya pelan. Tapi tak urung membuat Mbahnya terkejut.“Hey, Le… Mbah ngga denger kamu masuk. Kamu kenapa, kok menggeh-menggeh gitu?”

Bayu mendekat dan jongkok di samping Mbah Putri.

“Bapak mana, Mbah?”

Mbah Putri meletakkan kayu, mengusapkan kedua tangannya ke kainnya yang sudah bertabur abu, lalu membelai rambut cucunya penuh kasih.

“Bapakmu masih di Lombok, Le…”“Tapi tadi aku merasa Bapak datang. Aku merasa Bapak sudah di rumah, dan membawakan aku oleh-oleh banyak…”

Mbah Putri merengkuh Bayu ke dalam peluknya.

“Belum, Le. Bapakmu belum pulang”

Bayu meringkuk. Air matanya mulai mengalir di kedua pipinya.

“Kapan Bapak pulang, Mbah?”
“Tiga bulan lagi, tiga bulan lagi. Sabar ya Le, cah bagus..”
“Aku kangen Bapak Mbah..”
“Aku tahu Le. Tapi Bapakmu harus cari uang di sana. Sabarlah, tiga bulan lagi dia akan datang, membawakanmu oleh-oleh, banyak…”

Bayu terisak. Bahunya berguncang.

“Kamu mau baca lagi surat Bapakmu?”

Bayu menggeleng, lalu bangun dan berjalan menuju kamarnya.
Dipandanginya potret yang selalu berdiri di meja belajarnya. Bapak, Ibu, dia. Setelah menikah, kedua orang tuanya merantau ke Lombok. Dia masih sempat tinggal bersama mereka di sana beberapa masa. Tapi sejak TK, dia ditinggal di desa, menemani Mbah Putri yang sendiri. Bapak dan Ibu hanya pulang dua kali setahun.

Dua tahun terakhir, hanya Bapak yang pulang setiap enam bulan, Ibu sudah meninggal karena kanker payudara. Dua tahun terakhir, hanya Bapaknya yang dinanti-nantikannya.
Diingatnya lagi, memang baru tiga bulan yang lalu Bapak pulang. Jadi Mbah Putri benar, dia harus menunggu tiga bulan lagi.

Ayat-ayat suci Al-Qur’an terdengar dilantunkan dari masjid di belakang rumah. Sebentar lagi maghrib. Bayu meletakkan foto itu, dan beranjak untuk mandi lalu pergi ke masjid. Dia akan memohon kepada Allah untuk kesehatan Bapak, agar dia bisa bertemu dengannya, tiga bulan lagi…
Berbagi Read more!

Aku menggali keyakinanku (2)

Bisa kurasa nafasku tak lagi memburu. Dan jantungku tak lagi berpacu. Hanya peluhku masih mengalir, membasahi rambutku. Mengalir lewat di sela kedua mata, di tepi bibir, ke dagu. Bertemu dengan yang mengalir menyusur telinga. Menyatu dengan semua yang keluar dari seluruh pori-pori. Bercampur darah di kedua kaki. Perih.

Angin lembut meniup. Membawa pergi molekul demi molekul peluh dan air mata, mengeringkan darahku. Menyejukkan hati dan jiwa. Mengalunkan senandung kerinduan dan cinta. Membuai sukma yang penat berat.

Kupejam mata dan serasa tubuhku mengambang terayun perlahan. Kuhirup aroma bunga di udara. Tak lagi kurasa gelap pekat kabut dan dingin yang menusuk semula, tergantikan terang dan hawa hangat. Bagai bayi diemban bunda, bagi diri dibuai kekasih, aku terlena.

Inikah ia… kebahagiaan itu?

Braak!!! Aku jatuh terhempas di atas batu yang menjulang dari dasar jurang. Semua yang baru saja kurasa tiba-tiba hilang. Angin kembali menjadi dingin. Awan berkumpul menebal, hitam menghadang setiap cahaya yang coba menyentuhku. Setitik air jatuh di ujung hidungku. Lantas di dahiku. Pipi. Tangan. Rambut. Dan makin banyak lagi di sekujur tubuhku, hingga kusadar ini hujan.

Petir menggelegar dan air seperti ditumpahkan dari bejana maha besar. Badai kurasa. Karena angin menderu keras menerpaku yang tersungkur di atas batu. Menelungkup berpegang pada lekuk dan tonjolan kasarnya. Aku takut jika aku berdiri, angin akan menghempasku, atau petir menyambarku. Dingin air hujan seperti ribuan jarum menusuk tubuhku. Aku ingin berpeluk lututku sendiri mencari kehangatan. Tapi kedua tanganku harus berpegang atau aku akan terlempar masuk jurang.

Entah berapa lama aku bertahan. Tapi kemudian mendung menepi seiring hujan berhenti dan angin pergi. Kabut juga lari. Lalu muncul matahari yang seperti wajah smiley melemparkan senyum kepadaku. Menghangatkan lagi tubuh beku. Perasaan nyaman luar biasa setelah apa yang baru saja mendera.

Inikah ia… kebahagiaan itu?

Aku berdiri mendongak merentangkan kedua tanganku. Memejam mata menghayati setiap kehangatan yang merasuki pori-pori. Mengeringkan lagi badanku yang basah kuyup. Dan angin semilir sekali lagi menghembusku.

Kudengar lagi lagu cinta itu. Lembut, merayu. Menyunggingkan senyum di bibir yang lama terkatup butut. Membungakan lagi hati yang lama kering sepi. Menghidupkan lagi jiwa yang lama gersang mati.

Lalu kurasa hangat meningkat. Menjadi panas yang lambat laun semakin menyengat. Aku mulai berkeringat. Kukipas tangan mencoba menyejukkan, tapi aku tahu itu sia-sia. Karena panas tak berhenti merambat. Dan peluhku semakin deras membasahi lagi baju dan tubuhku.

Semakin lama panas bukan lagi hawa. Dia membakar. Laksana api yang melilit aku. Kurasa akan hangus tubuhku ini dalam beberapa waktu. Menggigit bibir sama sekali tidak membantu. Panasnya menyiksa, dan aku meronta, tapi tak berguna. Aku menjerit, berteriak, mengumpat, menyumpah. Tapi tetap tak membawa apa-apa.

Panas tak berhenti membakar. Aku pasrah. Ayo, hanguskan, musnahkan aku! Biar aku akan tahu inilah yang kudapat dari perjalananku melintasi jembatan sebatang meraih batu yang menjulang dari dasar jurang.

Aku sudah bersiap mati. Tapi matahari menjadi ramah lagi. Dan angin meniupkan kesejukan pagi. Membuatku mengira aku telah terbang ke atas awan, bersayap dan berlingkar emas di atas kepala. Maka kubuka mata dan aku masih saja, berdiri di ujung batu yang menjulang dari dasar jurang. Melihat terang namun teduh. Perasaan nyaman luar biasa setelah panas yang tak terkira mencabik tubuhku.

Inikah ia… kebahagiaan itu?

Udara berhenti di kecepatan nol. Temperatur berhenti di dua lima derajat celcius. Intensitas cahaya berhenti di100 candela.

Aku menunggu apa lagi yang akan terjadi. Siksa yang akan berakhir bahagia, untuk bersiklus lagi menjadi siksa dan bahagia dan siksa dan bahagia dan siksa dan bahagia…

Aku mengumpat pada hati dan keyakinanku. “Keparat, kau beri aku bahagia yang bersela derita… Atau derita bersela bahagia?” Read more!

Aku menggali keyakinanku....

Masih dari tempatku berdiri, di tepi jurang kehancuran, gelap berkabut pekat. Dingin menggigit tulang. Sunyi sepi mencekam. Aku bisa saja memutar badan lalu kembali pulang. Tapi hatiku berkata jangan. Dia ingin aku melangkah meniti jembatan sebatang, menuju sebuah batu yang menjulang dari dasar jurang. Katanya di sana ada bahagia.

Aku masih ragu. Karena aku tidak tahu dari apa jembatan itu. Tidak tampak seberti batu, atau kayu. Kayu baru atau rapuh. Tidak seperti beton atau besi. Besi baru atau berkarat. Aku bahkan tidak tahu dia berselimut tanah atau debu, yang jelas itu membuatku tak bisa menduga.

Aku masih ragu. Benarkah ada kebahagiaan itu? Karena di sana tak kulihat apapun selain batu itu, tempat aku nanti akan berdiri di atasnya. Berselimut kabut, berlingkup dingin, berpeluk sepi. Apa? Siapa yang akan membawa kebahagiaan padaku? Aku takut hatiku menipu.

Lalu mulai kulangkahkan kakiku, perlahan. Setapak, dan aku maju. Dua tapak, dan aku mampu. Berkali aku berdesir, singunen setiap kali melirik ke bawah, dasarnya tidak nampak. Aku memilih mendongak, karena dengan begitu aku tak akan menyadari, ada jurang di kanan kiriku.

Ugh!! Apa ini yang menghantam dari kananku? Angin yang begitu kuat membantingku, aku terpelanting. Hatiku habis, jantungku berhenti berdetak. Tapi sesaat kemudian kusadari sebelah tanganku masih berpegang di jembatan sebatang, dan sisa tubuhku terayun menggelantung.
Kupejamkan mata rapat. Menggapaikan sebelah tanganku yang lain. Walau sudah kedua tanganku meraba, aku masih belum bisa mengatakan jembatan itu terbuat dari apa. Kasar, keras, dan menyengat tanganku, dengan suhu yang tak bisa kujelaskan – panas yang amat, atau dingin sangat. Beberapa saat aku terombang-ambing.

Sekuat tenaga kuangkat tubuhku. Kuayunkan kaki hingga bisa mengait jembatan sebatang. Susah payah, tapi akhirnya aku berhasil kembali berada di atas jembatan, menelungkup, mengatur nafas dan hatiku. Aku tidak mau berdiri lagi. Aku masih merasakan hembusan angin itu. Aku tidak mau jatuh lagi.

Aku kembali diliput ragu. Harus kembali atau maju. Karena kini aku berada di tengah perjalananku. Aku kembali dan perjuanganku sia-sia, atau terus dan entah akan mendapatkan apa.

Perlahan aku merangkak maju. Telapak tanganku mulai melepuh, dengkulku tersayat. Aku berpeluh, berdarah. Angin itu masih menghembusku. Terkadang lembut dan hangat menyeka letihku, membuatku melupakan semua kesakitanku. Terkadang keras menerpa, memaksaku berhenti dan erat berpegang.

….

Tangan kananku meraih. Tangan kiriku menggapai. Kaki kananku menapak. Kaki kiriku menjejak.
Aku berdiri di atas batu yang menjulang dari dasar jurang, mencari kebahagiaan yang dijanjikan hatiku. Read more!

Anak kecil itu...

Aku baru pulang kerja dan ada latihan jam lima. Sore ini aku sedang tidak ingin naik bis Damri yang biasa lewat di depan kantorku. Aku memilih naik angkot, sedikit berjalan kaki, berbecek-becek melewati segerombolan pekerja proyek pembangunan sebuah gedung raksasa. Katanya mal. Oh please, dulu jalan tempat kantorku berada ditetapkan sebagai kawasan perkantoran dan sekolahan. Sekarang mal bermunculan…

Angkot yang kutumpangi kosong, hanya ada aku yang baru saja naik dan meletakkan ransel di sebelahku. Aku sudah bersiap-siap untuk bersabar menunggu angkot itu mendapat satu dua penumpang lagi, tapi ternyata supirnya langsung menyalakan mesin dan menjalankan mobilnya.

Tadinya aku tidak terlalu memperhatikan angkot ini ataupun supirnya. Memang tidak ada yang istimewa yang bisa membuat aku mengingatnya. Misalnya ada stiker dengan kata-kata lucu atau saru. Atau mungkin jok yang warnanya ngejreng. Atau supir yang ganteng… ahem!

Tapi ketika melihat anak kecil itu, bocah umur antara dua-tiga tahun, yang duduk di bangku depan… Dia bertelekan tangan di jendela, memandang lepas ke jalanan sambil sesekali menguap. Aku duduk di bangku sisi kanan tepat di belakang supir, dan aku bisa melihat wajah polosnya dari kaca spion kiri.

Aku jadi ingat aku pernah menumpang angkot ini. Waktu itu, ada anak kecil ingusan ini, bersama ibunya. Perempuan itu masih cukup muda, kutebak usianya belum lebih dari 25. kulitnya gelap tapi bersih, badannya langsing cenderung kurus, rambutnya hitam lurus panjang melampaui bahunya. Hidungnya mancung sedikit naik, sempurna. Mulanya kukira dia penumpang biasa seperti aku, tapi setelah beberapa menit aku tahu bahwa mereka adalah anak dan istri si supir. Bocah itu, waktu itu, rewel bukan main. Merengek minta ini itu.

Aku dibuat terpana dengan kata-kata yang keluar dari mulut ibunya, “Diam, atau aku hajar kamu!”.

Anak itu menangis makin keras. Sang ibu lantas menjewer, mencubit, membekap mulutnya dengan gemas. Tidak berhasil. Anak itu tidak mau diam. Dia lantas menggelayut di leher supir yang ternyata adalah ayahnya. Sang ayah pun tidak mengacuhkannya, sibuk melambai-lambai ke luar, memanggil calon penumpang.

Sampai saat aku turun, anak itu masih menangis. Kuserahkan tiga ribu rupiah kepada ayahnya, dan kugenggamkan lima ribu rupiah ke tangan si bocah, “Ssst… diamlah. Nanti ajak ibu beli es krim ya…”

Dia diam waktu aku turun. Entah jadi beli es krim atau tidak.
Dan sore ini, dia sendiri. Sepertinya bosan melihat jalanan. Lalu dia merosot di tempat duduknya, dan mulai merengek. Seperti sebelumnya, ayahnya lebih konsentrasi ke jalanan mencari penumpang. Setelah beberapa saat dicueki, dia diam sendiri. Lalu berdiri bersandar sambil melihat lurus ke depan.

Kucolek pundaknya.

“Hai… kamu ganteng kalo ngga nangis”

Dia menoleh padaku dan tersenyum.

“Siapa namamu?”
“Ian”
“Mana Ibu?”
“Kerja”

Aku keluarkan susu kotak dari tasku, yang sebenarnya kusiapkan untuk kuminum nanti selesai aku latihan.

“Ian mau ini?”
Dia menyambutnya.
“Terima kasih. Tolong bukain sedotannya”, pintanya.

Dan kubantu.Tidak sampai lima menit dia menghabiskannya.

“Pak, habis”, dia lapor ke ayahnya.

“Ya, pinter. Buang”

Dan dilemparkannya ke jalan kotak susu yang sudah kosong itu. Aku hampir berteriak karena dia membuang sampah sembarangan. Tapi untung bisa kutahan. Ian bukan Ibit atau Ar Ir yang selalu ribut mencari tempat sampah kalau mau membuang sesuatu. Mungkin orang tuanya belum mengajarkan itu. Dan aku tidak berhak memprotesnya.

Aku sudah sampai ke tujuanku, hanya ada satu penumpang lain yang naik sesaat sebelum aku turun. Kuberikan tiga ribu kepada pak supir. Dan kulihat Ian yang ternyata tertidur di bangku depan…

“Da Ian…”, bisikku.
Aku tidak tahu kapan ketemu Ian lagi. Bocah kecil yang terpaksa ikut menyusuri jalanan bersama ayahnya. Atau harus bertahan dengan ibunya yang cantik tapi keras sekali masa. Tapi mulai sekarang, aku menyimpan sebuah mainan mobil-mobilan di ranselku, untuk Ian, kalau nanti kami ketemu…

*sebenarnya ada foto close up si ganteng ian, tapi tidak berani pasang, belum minta ijin ke ybs atau ortunya...* Read more!

Saturday, December 20, 2008

a cloudy saturday afternoon

for this weeks sundayscribbling's prompt, late

In the middle of a schoolyard, in the edge of the village, a group of boys were playing baseball. The sun was about to fall to the horizon line, but the game was in the climax. The hitter group almost had their players run home. Pitik the last hitter, hit the ball so strong, straight to Bayu's hand. Bayu held the ball, but he suddenly frozen. The supporter out of the area screamed and shouted, told him to do something with the ball.

“Yu! Over here! Throw the ball to me!!”, shouted Wawan who was standing next to the last base.

But Bayu just stood there still.

His friends screamed at him again. The other group players have one by one touched all the bases.

One…

Two…

Three…

Four runners run across the home line. Only Pitik left to touch the last base.

“Bayu! Stop daydreaming! The ball the ball the ball…!!!” his friends started to get mad.

Bayu haw. He threw the ball to Wawan who caught it right and ready to stop Pitik.

Bayu didn't care about the ball anymore, he didn't care about his friends, he didn't care about the game. He run like a thunder, left the field straight to his house. Left Wawan completely dazed. Left Pitik who was still running to the last base and did a home run.

Pitik and his group cheered and jumped for their winning in the last inning. The ball was still in Wawan's hand, fixed in enchantment of their defeat He slammed the ball to the ground, no mercy. “Stupid Bayu!. Crazy boy! What is wrong with him?”

***

Bayu kept running like a ghost was chasing behind him. He turned twice, run over a bridge, scattered a bunch of chicken, let Mbah Tumi shouted, “Yu! why are you running like that…?”

Dad's come, I can't be late. Dad's come, I can't be late. Dad's come, I can't be late.

Those words echoed in his head. His step got slower as he got into the street in front of his house, slower as he entered his house gate, and stopped few feet before the door.

He stood still, stared in. It was so quite.

Slowly he stepped into the wide quite living room. He continued walking entered the living room with the same situation he caught. Doubtfully he opened the west room, it hasn't been open for a long time.

Dark. Musty. And there was nobody. No sound, only his ruffle breath after running along the way home.

Bayu turned around and walked to the kitchen. Grandma was fixing the wood and blowing the fire in the stove.

“Mbah…”, he called his granny gently. Still she was a little bit shocked.
“Hey, Yu… I didn't hear you coming. What is wrong with you?"

Bayu walked approaching Grandma in sat next to her.

“Where's Dad?”

Grandma put the wood down, wiped his hands on her ashy skirt, and stroke her beloved grandson's head tenderly.

“Your Dad is still in Lombok, Yu…”
“But I felt he was coming. I felt he was at home, and brought me lot of presents…”

Grandma grabbed Bayu into her arms.

“No, Yu. He's not coming yet”

Bayu cuddled up. Tears started to fall over his face.

“When will he be home, Mbah?”
“In three months, dear. Be patient okay..”
“I miss Dad, Mbah..”
“I know, darling. But your Dad has to work and gain money there. Be patient, in three months he will come and bring you a lot of presents…”

Bayu cried. His shoulders shook.

“Do you want to read your dad's letters again?”

Bayu shook his head, then got up and waked to his room.

He stared at a picture that's always been there on his desk. Dad, Mom, him.

Right after his parents got married, they went to find a job in Lombok. Bayu was born there and stayed with them for couple of years. But since he was five, his Dad sent him here to this village to accompany his lonely Grandma. Dad and Mom visited him twice a year.

These past two years, only Dad comes visit him every six months, Mother has died caused by breast cancer. These past two years, his Dad is the only one he waits for.

Bayu tried to remember again, and yes Dad has come three months ago. So Grandma was right, he has to wait for another three months.

He heard the sound of holy Al-Qur’an from the mosque behind the house as the dawn was falling. Maghrib is coming. Bayu put the picture back to the table, and went out to take a bath. He would go to the mosque to do sholat maghrib. After that he would pray to Allah, for Dad's health, so he could come and see him in three months...

Read more!

Friday, December 12, 2008

Anak kecil itu...

Aku baru pulang kerja dan ada latihan jam lima. Sore ini aku sedang tidak ingin naik bis Damri yang biasa lewat di depan kantorku. Aku memilih naik angkot, sedikit berjalan kaki, berbecek-becek melewati segerombolan pekerja proyek pembangunan sebuah gedung raksasa. Katanya mal. Oh please, dulu jalan tempat kantorku berada ditetapkan sebagai kawasan perkantoran dan sekolahan. Sekarang mal bermunculan…

Angkot yang kutumpangi kosong, hanya ada aku yang baru saja naik dan meletakkan ransel di sebelahku. Aku sudah bersiap-siap untuk bersabar menunggu angkot itu mendapat satu dua penumpang lagi, tapi ternyata supirnya langsung menyalakan mesin dan menjalankan mobilnya. Tadinya aku tidak terlalu memperhatikan angkot ini ataupun supirnya. Memang tidak ada yang istimewa yang bisa membuat aku mengingatnya. Misalnya ada stiker dengan kata-kata lucu atau saru. Atau mungkin jok yang warnanya ngejreng. Atau supir yang ganteng… ahem!

ian.JPG

Tapi ketika melihat anak kecil itu, bocah umur antara dua-tiga tahun, yang duduk di bangku depan… Dia bertelekan tangan di jendela, memandang lepas ke jalanan sambil sesekali menguap. Aku duduk di bangku sisi kanan tepat di belakang supir, dan aku bisa melihat wajah polosnya dari kaca spion kiri.

Aku jadi ingat aku pernah menumpang angkot ini. Waktu itu, ada anak kecil ingusan ini, bersama ibunya. Perempuan itu masih cukup muda, kutebak usianya belum lebih dari 25. kulitnya gelap tapi bersih, badannya langsing cenderung kurus, rambutnya hitam lurus panjang melampaui bahunya. Hidungnya mancung sedikit naik, sempurna. Mulanya kukira dia penumpang biasa seperti aku, tapi setelah beberapa menit aku tahu bahwa mereka adalah anak dan istri si supir. Bocah itu, waktu itu, rewel bukan main. Merengek minta ini itu. Aku dibuat terpana dengan kata-kata yang keluar dari mulut ibunya, “Diam, atau aku hajar kamu!”. Anak itu menangis makin keras. Sang ibu lantas menjewer, mencubit, membekap mulutnya dengan gemas. Tidak berhasil. Anak itu tidak mau diam. Dia lantas menggelayut di leher supir yang ternyata adalah ayahnya. Sang ayah pun tidak mengacuhkannya, sibuk melambai-lambai ke luar, memanggil calon penumpang.

Sampai saat aku turun, anak itu masih menangis. Kuserahkan tiga ribu rupiah kepada ayahnya, dan kugenggamkan lima ribu rupiah ke tangan si bocah, “Ssst… diamlah. Nanti ajak ibu beli es krim ya…”

Dia diam waktu aku turun. Entah jadi beli es krim atau tidak.

Dan sore ini, dia sendiri. Sepertinya bosan melihat jalanan. Lalu dia merosot di tempat duduknya, dan mulai merengek. Seperti sebelumnya, ayahnya lebih konsentrasi ke jalanan mencari penumpang. Setelah beberapa saat dicueki, dia diam sendiri. Lalu berdiri bersandar sambil melihat lurus ke depan.

Kucolek pundaknya.
“Hai… kamu ganteng kalo ngga nangis”
Dia menoleh padaku dan tersenyum.
“Siapa namamu?”
“Ian”
“Mana Ibu?”
“Kerja”

Aku keluarkan susu kotak dari tasku, yang sebenarnya kusiapkan untuk kuminum nanti selesai aku latihan.
“Ian mau ini?”
Dia menyambutnya.
“Terima kasih. Tolong bukain sedotannya”, pintanya. Dan kubantu.
Tidak sampai lima menit dia menghabiskannya.
“Pak, habis”, dia lapor ke ayahnya.
“Ya, pinter. Buang”
Dan dilemparkannya ke jalan kotak susu yang sudah kosong itu. Aku hampir berteriak karena dia membuang sampah sembarangan. Tapi untung bisa kutahan. Ian bukan Ibit atau Ar Ir yang selalu ribut mencari tempat sampah kalau mau membuang sesuatu. Mungkin orang tuanya belum mengajarkan itu. Dan aku tidak berhak memprotesnya.

Aku sudah sampai ke tujuanku, hanya ada satu penumpang lain yang naik sesaat sebelum aku turun. Kuberikan tiga ribu kepada pak supir. Dan kulihat Ian yang ternyata tertidur di bangku depan…

“Da Ian…”, bisikku.

Aku tidak tahu kapan ketemu Ian lagi. Bocah kecil yang terpaksa ikut menyusuri jalanan bersama ayahnya. Atau harus bertahan dengan ibunya yang cantik tapi keras sekali masa. Tapi mulai sekarang, aku menyimpan sebuah mainan mobil-mobilan di ranselku, untuk Ian, kalau nanti kami ketemu…

*sebenarnya ada foto close up si ganteng ian, tapi tidak berani pasang, belum minta ijin ke ybs atau ortunya...*

Read more!

alarm 07.30 (reversed point of view)

waktunya…
pintu kamarku terbuka, lalu aku akan terangkat ke atas. kubuat satu putaran lalu ketika aku berhenti, aku berjinjit di ujung sepatuku. memegang ujung tutu dengan kedua tanganku, dan kuucapkan, “selamat pagi sayang….”
dia akan memandangku dengan tersenyum. seolah memang sedari tadi menunggu kemunculanku. aku berputar lagi, dan tatakan kakiku akan turun perlahan. lalu pintu kamarku menutup lagi, untuk terbuka lagi esok hari.

aku bukan weker. aku hanya alarm. alarm yang diset untuk menyapanya setiap pagi sebelum memulai hari. aku adalah balerina kecil dengan tutu dan sepatu pita berwarna hijau emerald. apa yang kusebut kamar, adalah sebuah ruang berbentuk setengah bola, yang berwarna hijau metalik. serasi dengan kostumku.
jujur, aku sendiri menanti pagi untuk muncul dan berbunyi. aku bahagia setiap kali melihat matanya melihatku. aku yakin dia juga menantiku.
aku makin yakin tentang itu, ketika suatu hari entah kenapa, pintu kamarku tak mau terbuka tepat pada waktunya. aku juga tidak bisa berbuat apa-apa. meskipun kutarik sekuat tenaga, pintu itu tetap rapat saja. baru sekitar pukul 10, ketika aku sudah kelelahan mencoba, tiba-tiba dia terbuka. segera saja aku keluar dan menyapanya, “selamat siang, sayang….”. tentu saja, karena memang sudah siang. dia sempat berkata, “selamat siang, kamu terlambat…,”, dan aku melihat kelegaan ketika dia melihat kemunculanku. aku juga lega jadinya. aku berputar, dan tenggelam lagi ke dalam kamar berbentuk setengah bolaku.

***
untuk beberapa waktu aku menjalankan tugasku seperti biasa. menari dan menyapanya setiap jam 07.30. tapi lama-kelamaan aku merasa, dia tidak lagi menantikanku. kadang dia hanya memandangku sekilas sambil tersenyum. kadang memandang saja tanpa tersenyum. kadang bahkan tidak memandangku sama sekali, sibuk dengan kertas-kertas di hadapannya.

aku sedih….
lalu aku merasa, barangkali dia merasa bosan dengan kehadiranku di pagi hari. lalu aku mencoba muncul lagi di saat-saat lain. untunglah pintu kamarku tidak rusak lagi. jadi setelah pagi hari aku menyapa seperti biasa, aku kadang menyapanya lagi di siang hari.
tapi kurasa siang hari bukan waktu yang tepat. dia justru semakin sibuk dengan kertas-kertasnya. dan dia memandangku seolah merasa terganggu. lalu kucoba menggantinya dengan malam hari, ketika aku yakin pekerjaannya telah selesai. memang, tapi dia sedang tidur, dan dia terbangun dalam keadaan kaget — dan kurasa dia marah.

aku sedih….
sore itu aku muncul lagi. “selamat sore sayang….”. dia hanya memandangku dengan mata lelah — dan kesal. seolah ingin berkata, ‘kau menggangguku’. tapi dia diam saja. maka aku ucapkan lagi, “selamat sore, sayang….”. dia menjawab, “selamat sore…,”.
aku tidak bisa bilang aku sudah lega. dia menjawab sapaku dengan terpaksa. tapi cukuplah kurasa, dia sudah menjawabku. jadi aku masuk lagi mengurung diriku.

pagi ini aku muncul tepat jam 07.30. dia sudah mulai sibuk membolak balik tumpukan kertasnya. “selamat pagi, sayang….”. dia tidak mendengarku. dia sama sekali tidak melihat ke arahku. aku mengulang bunyiku. dia masih tepekur sendiri. kuulang lagi, hingga akhirnya dia menjawab, “selamat pagi…,” tapi dia tidak melihat ke arahku. aku berbunyi lagi. dia memandang ke arahku dengan ekspresi kesal, dan menjawab lagi “selamat pagi.”
bukan… bukan… aku tidak ingin kau melihat dan menjawabku seperti itu. aku rindu kau rindui. aku menunggu kau tunggu aku. aku mengharap melihatmu mengharap kehadiranku.
“selamat pagi sayang….” kuucap lagi selembut mungkin. “selamat pagi!’
ya ampun, dia membentakku. aku begitu terkejut dan tiba-tiba aku tidak bisa mengontrol bunyiku. aku terus-terus mengucap “selamat pagi, sayang….” sambil berharap dia melembut dan tersenyum lagi padaku.

tapi tidak. dia malah tampak semakin kesal dan marah. aku tidak menyangka dia akan meraih kamarku dan membanting aku ke lantai.
kamarku pecah terbelah ke segala arah. leherku patah. habis sudah.
tapi aku masih punya sedikit sisa arus sebelum terputus aku dari battereku, dan sekuat tenaga, secepatnya sebelum dia hilang, kuucapkan, “selamat tinggal, sayang….”

karena aku tahu setelah ini aku tidak akan bisa melihatnya lagi….

Read more!

alarm 07.30

sengaja kupasang jam segitu, karena aku bukan butuh alarm untuk membangunkan aku. aku memasangnya untuk sekedar menyapaku setiap pagi, ketika aku hendak memulai hari. bukan jam weker. hanya alarm. alarm saja. yang memang kupesan untuk berbunyi setiap jam 07.30 pagi.
bentuknya setengah bola, berwarna hijau metalik. saat sedang tidak berbunyi, ya setengah bola itulah bentuknya. tapi ketika jam tanganku menunjukkan pukul 07.30, bagian tengahnya akan bergeser sedikit, dan membuka tutupnya. lalu dari dalamnya akan muncul ke atas sebuah boneka balerina kecil, yang akan membuat satu putaran cepat, lalu berkata, “selamat pagi sayang….”
dan aku akan menjawabnya, “selamat pagi juga…, sayang”, lalu memulai hariku dengan senyum.

***
pernah suatu hari, alarmku itu tidak berbunyi di jam 07.30. aku sempat meneliti apa yang salah, tapi aku tidak menemukannya. pagi itu jadi terasa ada yang kurang, tapi aku tetap berusaha menjalani hariku seperti biasa. lalu sekitar jam 10, tiba-tiba dia menyapa, “selamat siang, sayang”.
“selamat siang. kau terlambat”
tentu saja dia tidak menjawab, hanya berputar, lalu masuk lagi, dan menutup.

tapi ada yang aneh akhir-akhir ini. setelah beberapa waktu dia berbunyi normal, tiba-tiba dia berbunyi semaunya sendiri. meskipun pagi hari tepat jam 07.30 dia sudah menyapaku, siang hari dia akan menyapa lagi. kadang bahkan tengah malam ketika aku sedang lelap.
sore itu aku sedang mengerjakan tugasku yang diburu waktu. aku sedang butuh konsentrasi penuh dan tidak ingin diganggu. tiba-tiba…
“selamat sore sayang….”
aku memandanginya. seperti biasa dia berdiri di ujung jarinya yang bersepatu pita, dan memegangi ujung tutu-nya dengan kedua tangannya. aku menunggu dia masuk dan tutupnya merapat. tapi dia masih di sana, malah berbunyi lagi, “selamat sore, sayang….”
“selamat sore…,”, jawabku, dan barulah dia masuk.
begitulah selanjutnya. dia berbunyi kapan saja dia mau, dan tidak mau masuk sebelum aku menjawabnya. dia akan terus mengulang sapanya, sampai aku berkata yang sama kepadanya.

lama-lama aku jadi merasa terganggu karenanya. alarm itu benar-benar makin tidak tau waktu. suara sapanya yang halus tapi riang, tiba-tiba berubah terdengar seperti jeritan yang memekakkan telinga. kadang seperti suara orang mengomel berkepanjangan. bahkan meskipun aku sudah menjawab sapanya.

pagi ini aku benar-benar tak tahan lagi. dia terus terusan mengucap “selamat pagi sayang….”. walaupun sudah kujawab, dia masih mengatakannya lagi dan lagi. dan kujawab lagi, mulai nada rendah hingga meninggi, tapi dia tetap tidak mau berhenti.

aku tidak bisa menahan diri. kuraih alarmku dan kubanting ke lantai. hancur berkeping. kepala boneka balerina itu patah. aku masih sempat mendengar dia bersuara untuk terakhir kalinya…

“selamat tinggal, sayang….”

Read more!

sudah pulang, sayang?

sms dari Han.

belum, aku masih klekaran di sini. mau jemput?

boleh. aku lagi cari sarapan di Ngesrep, habis main ke gombel. tunggu sebentar ya.

beja.

biasanya aku pulang harus jalan kaki dulu sekitar sekilo sampai ke jalan besar kalau mau pulang. di sini tidak ada ojek, dan aku tidak enak keseringan minta dianter suami mbak Atik, yang ngurusi sanggar. aku bisa saja mengacungkan tangan pada mobil atau motor yang lewat, numpang. tapi… ah, ngga keren blas. jalan sekilo aja kok pake nyegat kendaraan orang. aku bisa saja numpang peserta lain yang bawa motor atau mobil. tapi mereka biasanya langsung cabut begitu selesai kelas.

hari ini tidak ada mbak Endang, yang mungkin jadi penyebab tidak ada Evi GrEs, tidak ada Naning dan Evi SetBud. tidak ada gerombolan emak-emak sinting yang biasa betah ngobrol ngalor ngidul sambil ngetus keringet yang barusan sengaja diperas. padahal aku butuh ketemu mereka. seperti ayunan kaki dan tangan, dan lompatan, dan engkak- engkuk badan yang baru saja kami lakukan, dan musik menghentak yang menggetarkan kaca di sekeliling dinding kelas; aku membutuhkannya seperti mereka yang doyan alkohol menenggak minuman keras untuk sesaat membakar masalah di kepala.

jadi aku ngisis sendiri di samping jendela. mencoba menenangkan hatiku yang masih berantakan. aku memang sudah tidak menangis. mungkin air mataku telah habis keluar bersama keringat yang kualirkan setiap sore, mm… bisa kah? tapi aku masih belum bisa tersenyum, karena senyumku adalah palsu. tawaku dibuat-buat. dan aku masih belum bisa lagi bernyanyi, karena senandung yang keluar dari mulutku sesungguhnya adalah jeritan.

orang terakhir telah melambaikan tangan dan turun. aku menjejalkan lembaran baju senam yang basah dan bau ke ranselku. melongok sebentar ke arah parkiran, Han belum datang. tapi aku turun juga, harus membayar susu kotak yang tadi kupakai menenangkan perut yang belum puas dengan sebongkah donat.

ring ring…

‘ya… aku lagi mbayar, bentar ya..’
’sekalian beliin suara merdeka ya’

di mobil…

‘jadi dari tadi kamu belum ke kantor?’
‘belum, aku sudah pamit dan sekalian mengunjungi dealer gombel’
’sekarang kita pulang?’
‘lha kamu mau pulang atau mau ke mana?’
‘kamu ngga ke kantor?’
‘aku tetep ke kantor lah…’
‘katanya sudah pamit…’
‘pamit telat thok… bukan nggeblas sampai sore..’

yah, tiwas aku sudah seneng.

semangkuk soto di warung pak Niti, dan sebagasi penuh kasih sayang, mengisi perut dan hatiku, lalu kami pulang.

Han masih membaca koran sebentar. aku tengkurap di matras di depan tivi, ditindih Ar, dipeluk Ir, di dekat Ibit yang terpukau Oliver Twist.

sebuah kecupan di pipi membuatku membuka mata. menyadari tivi telah mati, anak-anak pergi menengok persiapan pentas wayang untuk apitan nanti malam.

‘aku berangkat..’

‘hmm..’

jam sebelas kurang seperempat. aku masih boleh merem seperempat jam lagi, sebelum masak sayur lodeh dan nggoreng tempe. toh aku cuma butuh 20 menit untuk itu.

hmm… hmmm…

Read more!

"Aku bawa kondom di dompetku" (3)

Wid melongo memandangku.

“Tapi nanti, setelah kita menikah. Karenanya, mulai sekarang aku tidak mau lagi kamu ajak nyepi begini.”

Dan Wid bernafas lega.

“Sudahlah Wid. Ayo kita pergi dari sini, dan antar aku pulang. Setelah itu kau pikirkan kapan kita menikah”

“What?”
“Aku tahu, menikah bukan hal yang sederhana. Juga bukan sekedar tempat kita melampiaskan hasrat. Tapi aku mencintaimu. Aku ingin menikah denganmu. Aku ingin melahirkan anak-anak dari benihmu. Aku ingin membangun keluarga bersamamu. Kita juga sudah sering membahasnya kan..”
“Er, pekerjaanku belum mapan”
“Kamu tetap lebih mapan dari pada pengangguran”
“Kita belum tahu mau tinggal di mana kalau sudah menikah. Paling tidak kita harus ada dana untuk uang muka KPR, atau…”
“Aku tidak keberatan tinggal di rumah kontrakan, bahkan yang petakan sekalipun”
“Kita tetap perlu beli perabotan…”
“Ah, yang penting ada kasur. Aku punya kalau cuma buat beli spring bed aja”

Wid terdiam, seperti bingung harus berkata apa lagi.

“Pernah dengar kata orang, bahwa orang yang menikah akan dibukakan pintu rejekinya?”

Wid mengangguk.

“Percaya?”

Wid diam.

“Aku percaya. Kenapa tidak kita buktikan saja?”

Wid meraih tanganku, “Aku rasa kamu benar”

Wid menghidupkan mesin mobil, dan membawa kami keluar dari parkiran taman yang gelap dan sepi ini. Ada kelegaan mengisi hati, dan ruang di sekitar kami. Aku tahu tidak akan mudah untuk berhenti, tapi aku tidak ingin melanjutkan kesalahan yang sudah kami buat, lebih jauh lagi.

“Wid…”
“Ya…?”
“Masih ada satu hal yang mengganggu pikiranku”
“Apa itu?”

Aku diam sejenak sebelum akhirnya kuutarakan, “Kenapa kondom harus dibikin berasa buah?”

*tidak bersambung lagi*

Read more!

"Aku bawa kondom di dompetku" (2)

Dan begitulah. Perlahan, di setiap pertemuan, sedikit demi sedikit aku dan Wid bergerak semakin jauh. Baik aku atau dia, setiap kali selalu berliput ragu dan saling menunggu. Tapi kami bisa merasakan bahwa kami berdua sama-sama ingin, sehingga akhirnya maju juga.

Walaupun aku berkata, “Aku tidak ingin melanggar janji kita, Wid”

Dan Wid menjawab, “Maafkan aku, seharusnya aku menjagamu”

Tapi tak urung langkah kami terus semakin jauh, sampai kami berhenti pada suatu titik dan sepakat, “Kita tidak akan melakukan yang satu itu”

Wid menepati janjinya, sejauh ini. Tapi sampai kapan? Aku bahkan meragukan pertahananku sendiri. Hampir di setiap pergumulan aku mempersiapkan diri kalau salah satu dari kami akhirnya melanggar janji. Untungnya, kami selalu berhasil berhenti tepat di belakang garis merah tipis yang kami buat.

Dan malam ini…

Malam ini ujung jari kaki kami telah sedikit melampauinya. Aku merasa sudah tiba saatnya aku mengeluarkan benda yang telah beberapa minggu terselip di dompetku.

“Wid. Aku tidak bermaksud membuatmu tersinggung. Jangan merasa begitu. Aku hanya mencoba menyisakan sedikit tindakan waras di tengah kegilaan kita. Kalau memang kita melakukannya, itu memang karena kita berdua menginginkannya, dan terlalu lemah untuk bertahan dengan janji kita. Bukan sepenuhnya tanggung jawabmu”

Wid, mendesah, resah.

Kuraih tasku, kukeluarkan dompet dan menarik bungkusan serupa vitamin C dosis tinggi dari salah satu sakunya. Kupandangi, dan aku tertawa geli sendiri, membuat Wid mau tak mau tertarik untuk melirik.

“Kenapa tertawa?”, tanya dia.
“Coba lihat ini. Rasa strawberry. Kenapa kondom harus dibikin berasa buah?”

Wid meraihnya dari tanganku, lalu ikut tertawa.

“Kenapa kamu beli yang rasa strawberry? Rasa duren pasti lebih enak”

Kami tergelak, dan kulihat ketegangan di wajah Wid mulai mencair. Kuambil lagi kondom rasa strawberry yang dipegangnya. Aku membuka jendela dan membuangnya, jauh ditelan semak dan gelap.

”Kenapa kamu buang?”, Wid bingung dengan tindakanku.
“Aku tidak mau, merasakan melakukannya pertama kali denganmu, dalam keadaan kamu bersarung kondom”
“Er, aku sudah berjanji. Aku akan menjaga janjiku. Karena aku ingin menjagamu. Aku menghormatimu. Kenapa kamu tidak yakin dengan aku? Kamu…”
“Sssst….!! Jujur ya Wid, sebenarnya aku tidak yakin dengan diriku sendiri. Aku ingin memberikan diriku seutuhnya kepadamu, tanpa melibatkan kondom.”

*masih bersambung*

Read more!

"Aku bawa kondom di dompetku" (1)

Wid berhenti menciumi leherku, mengangkat kepalanya, menatapku.

“Gila kamu Er!”

“Tidak, justru karena aku masih waras”

Wid memandangku penuh tanya.

“Kamu dapat dari mana?”

“Beli, di apotik”

“Kamu berani?”

“Kenapa tidak?”

“Mereka tahu kamu belum menikah?”

“Mana kutahu? Mana mereka peduli? Beli kondom tidak perlu menunjukkan surat nikah, Wid”

Tubuh Wid yang tadi tegang tampak mengendur – juga kelelakiannya yang tadi terasa keras menekan di bawah perutku. Kepalanya tertunduk, matanya terpejam. Kubrengkal tubuhnya yang menindihku. Dia bangkit dan duduk di sebelahku. Diam.

“Justru lebih gila kalau aku membiarkan kita melakukannya tanpa kondom”

Wid masih diam. Menggeleng. Mendesah. Mengumpat. Lalu membetulkan celananya.

“Kamu membuatku tersinggung”, katanya sambil beringsut, pindah ke jok depan di belakang setir. Menyandarkan tubuh dan kepalanya, lalu mengacak-acak sendiri rambutnya.

Kukancingkan lagi braku, dan blusku. Kunaikkan celana dalam yang masih tersangkut di pergelangan kaki kiriku.

“Tersinggung? What have I done?”, tanyaku sambil merapikan rokku yang tersingkap. Wid tidak menjawab. Aku berpindah ke jok di sebelahnya. Wid memijat di antara dua matanya, seolah menahan pening yang luar biasa. Aku memandang ke luar, membuang mata di kegelapan tak berbatas.

Untuk beberapa saat kami terdiam, tenggelam dalam pikiran kami sendiri-sendiri. Sepi, Hanya ada nafas Wid yang masih naik turun. Bersahutan dengan dengkur mesin mobil, dan desah halus blower AC.

Aku tahu kenapa Wid merasa tersinggung.

Ketika memulai menjalin hubungan, aku dan Wid sudah berjanji untuk menjaga kesucian cinta kami, tidak mencampuradukkannya dengan nafsu. Awalnya terasa mudah. Kami sebisa mungkin menghindari kontak fisik, bahkan sekedar untuk bersentuhan.

Sampai suatu hari ketika kami pergi nonton. Di tengah film Wid meraih tanganku, dan entah kenapa kubiarkan. Tidak kusangka efeknya begitu dahsyat. Aku seperti dihempas gelombang rasa maha hebat. Genggaman tangan Wid menggetarkan seluruh tubuhku, mendentumkan genderang di jantungku. Keluar dari theater, Wid menggandeng tanganku, sampai ke mobil.

“Aku tetap akan menepati janjiku, Er”, katanya waktu itu, “aku lebih takut kehilangan kamu, dari pada membiarkan nafsu liarku”

“Aku percaya, Wid. Terima kasih”

Tapi siapa yang bisa menjamin janji kami tak ternodai? Karena Wid lantas berani mencium keningku setiap kali mengantarku pulang. Dan aku mencium pipinya, dan itu terasa indah. Lalu gairah seperti mbedah. Ketika bibir beradu dalam kecupan kecil, rasanya seperti tersengat listrik 1000watt, dan nagih.

*bersambung*

Read more!