Showing posts with label Bowo. Show all posts
Showing posts with label Bowo. Show all posts

Tuesday, October 14, 2008

"Bowo!" (6)

Lobi sudah sepi. Tinggal beberapa anak semester awal yang masih setia menanti. Aku sudah selesai dari tadi, tapi aku menunggu Ranti. Dia dan Susan mendapat giliran terakhir menghadap Pak Heru.

Perasaanku tak karuan. Aku tidak tahu harus bangga atau malu dengan keputusanku yang tiba-tiba terlintas ketika tadi melihat Ranti lagi. Aku lelah mencoba tegar menjadi martir. Aku mengira selama ini aku melindung Ranti dari kemungkinan sakit hati ketika harus berhadapan dengan Papi dan Mami.

Tapi yang ada aku menyakiti Ranti lebih awal, kurasa. Dan aku menyakiti diriku sendiri. Aku tidak tahu apakah Ranti masih memikirkan aku seperti aku memikirkan dia. Aku tidak tahu apakah selama enam semester kami tidak lagi akrab, sudah ada lagi yang menyinggahi hatinya. Yang kulihat dia masih selalu bersama Susan ke mana-mana.

Aku merasa jahat, tapi aku berdoa dia masih belum menerima siapa pun menjadi pacarnya.

Pintu ruangan Pak Heru terbuka, jantungku berdegup kencang memandang ke arah itu dan melihat Ranti dan Susan keluar dengan wajah cerah. Rupanya kartu puas sudah di tangan.

Ranti melihat ke arahku dan berbisik kepada Susan, yang mengangguk, lalu pamit untuk pulang duluan.

“Kita ke kafe aja yuk”, ajakku. Ranti hanya menangguk dan berjalan mengiring di sampingku menuruni tangga menuju kafe di belakang gedung.

***

Kami duduk berhadapan, menghadapi botol coke kami masing-masing. Kikuk, aku tak tahu bagaimana harus mencairkan kebekuan yang memerangkap kami kali ini.

“Ran, aku mau minta maaf”

“Soal apa?”

Ranti, kamu tidak mungkin tidak mengerti yang kumaksud.

“Tentang perkataanku di depan perpustakaan waktu itu”

“Ah, itu sudah lama sekali. Aku sudah melupakannya”

“Aku tidak. Dan aku menyesal mengucapkannya. Aku ingin menariknya kalau bisa”

“Untuk apa? Tidak ada yang perlu disesali. Jangan khawatir, aku baik-baik saja kok”

“Tapi aku tidak. Dan aku ingin memperbaiki kesalahanku. Aku minta maaf karena telah menjadi pengecut dalam cinta kita. Memikirkan diriku sendiri, memikirkan orang tuaku, tapi aku tidak memikirkan kamu”

Ranti terdiam memandang keluar. Matanya berkaca.

“Aku pikir aku melindungi kamu dari kemungkinan buruk yang akan mendatangi kita. Tapi sebenarnya aku adalah pengecut yang tidak berani menghadapi rintangan yang harusnya kita hadapi bersama. Aku justru melepaskanmu. Aku minta maaf. Kau mungkin tidak tahu alasanku mengatakan hal itu saat itu. Aku… waktu itu… tidak berani mengungkapkannya terus terang padamu. Aku…”

“Aku tahu waktu itu kau tidak jujur Wo. Tapi saat itu aku juga belum tahu alasanmu sebenarnya. Apa pun itu, aku yakin kau melakukannya demi kebaikan. Jadi tidak pernah ada sakit hati. Kamu tidak perlu minta maaf”

Sesaat rasa lega merambatiku. Mungkinkah Ranti selama ini bersabar menunggu saat ini tiba? Sebegitukah pengertiannya? Betapa aku ternyata sama sekali belum mengenal Ranti.

“Syukurlah. Sekarang, masih mau kah kamu memberi kesempatan kepadaku?”

Ranti memandangku menahan sesuatu. Harusnya dia tersenyum bahagia. Harusnya dia berkata ‘ya’ dan memelukku. Atau paling tidak meraih tanganku. Tapi dia hanya tersenyum tipis.

“Maaf kan aku,Wo. Aku tidak yakin aku bisa”

Petir serasa menggelegar menyambarku, menyadarkanku akan harapan yang tak terwujud.

“Kenapa? Apakah sudah ada… Ah… ya ampun. Aku minta maaf. Betapa bodohnya aku mengira selama ini kamu masih memikirkan aku”

Aku malu.

“Bukan begitu, Wo. Tidak ada siapa-siapa. Hanya saja, suatu saat, aku tiba-tiba mengetahui alasanmu sebenarnya mengambil keputusan itu”

Aku memandangnya penuh tanya.

“Ya. Tanpa sengaja aku mendengar pembicaraanmu dengan Rizal tentang kakakmu, dan aku. Aku mengerti sekali. Dan itu semakin membuatku rela dengan keputusanmu”

“Ran…. Itu keputusan bodoh yang kubuat. Tolong jangan ingat lagi. Lupakan. Aku… Aku ingin kita bersama Ran. Aku tidak peduli orang tuaku. Aku akan hadapi mereka. Aku tidak akan menyerah seperti Kak Reny. Aku laki-laki, dan aku akan melindungi kamu”

Ranti menggeleng.

“Kau mungkin telah berhasil menguatkan dirimu. Tapi aku belum. Aku takut aku yang tidak akan kuat menghadapi apa yang mungkin akan menghalangi kita. Aku bukan Cinderellla yang bisa penuh percaya diri memasuki istana, dan melingkarkan tangan di lengan sang pangeran lalu berdansa dengannya. Aku hidup dengan kenyataan”

“Ran, kumohon…”

Ranti menggeleng. Menunduk dan mengusap air mata yang mulai menetes di matanya.

“Keputusanmu waktu itu sudah benar Wo. Jangan mencari masalah kalau bisa dihindari”

“Ran, aku mencintaimu”, kata-kata itu tiba-tiba terlontar karena aku tak sanggup lagi menahan perasaan yang sudah terendap sekian lama.

Tapi Ranti berdiri, memanggul ranselnya dan berkata, “Aku juga mencintaimu, dulu. Tapi aku tahu siapa aku, kamu. Aku minta maaf kalau aku tidak setegar yang kamu harapkan. Kamu akan menemukan orang lain yang tepat untukmu, sekaligus untuk orang tuamu. Dan aku juga. Terima kasih atas keterusterangan ini. Setidaknya ini membuat aku lega, karena kita sudah ungkapkan semuanya. Aku pulang dulu, Wo”.

Aku tertunduk menelungkup di meja. Botol coke-ku terguling menggelinding dan jatuh berkeping di samping kakiku.

Remuk seperti hatiku.

*TAMMAT*

Read more!

"Bowo!" (5)

Siang itu lobi lantai tiga di depan ruang dosen terasa seperti ruang tunggu dukun alternatif yang bisa menyembuhkan segala penyakit. Kursi yang dipasang sepanjang dinding di kanan kiri lobi penuh. Di sekitarnya, setiap celah dinding disandari mahasiswa. Masih belum cukup, beberapa orang luber duduk dan bersandar di tangga. Membawa setumpuk lembaran tugas, atau menggendong tabung tempat menyimpan gambar mereka. Duduk, diam, mengobrol, atau membenahi lagi tugas mereka di detik-detik terakhir sebelum maju asistensi.

Minggu depan sudah ujian. Semua orang berburu kartu puas yang akan jadi syarat ikut ujian beberapa mata kuliah. Entah kenapa, selalu begini keadaannya. Kalau belum mepet waktu, dosen sulit sekali ditemui. Dan setelah mendekati deadlline, baru mereka mau ditemui. Padahal pasien mereka banyak sekali, mengingat satu dosen bisa saja mengampu beberapa mata kuliah.

Aku lelah berdiri bersandar di samping pot tanaman entah apa namanya ini, lalu merosot dan jongkok. Tapi tak bertahan lama. Jongkok lebih melelahkan, dan akhirnya kuletakkan pantatku di lantai. Tak peduli kotornya. Berdasarkan daftar antrian yang ditempel di pintu ruang Pak Agil, giliranku masih tiga orang lagi. Dan Pak Agil terkenal teliti, satu orang bisa setengah jam. Kabarnya Galih dan Amru tinggal minta tanda tangan kartu puas saja, jadi paling lama sepuluh menit.

Kecuali tiba-tiba dia kesambet dan memutuskan meneliti lagi pekerjaan mereka, lalu menemukan sesuatu yang harus dibahas lagi…

Sialan. Tiba-tiba jantungku berdegub tak karuan.

Ranti dan Susan berjalan menaiki tangga sambil membahas sesuatu di bagian akhir tugas mereka.

“Gimana sih, San? Bentar-bentar sini, punyaku kebalik atau gimana?”

Keduanya langsung mengelesot di pojok lobi, tak jauh dari tempatku duduk. Tapi mereka terlalu sibuk untuk menyadari kehadiranku. Untuk beberapa saat mereka berdiskusi. Dan aku, aku puaskan diri memandangi yang kurindui.

Ranti membetulkan lagi beberapa hitungan, disesuaikan dengan yang dituturkan Susan, seperti arahan dosen ketika Susan menghadap sebelumnya.

“Susan!”, sesorang memanggil dari lorong di seberang lobi.

“Eh, bentar ya Ran. Jayus manggil tuh, kayanya dia mau bicarakan soal kegiatan Mahasiswa Katolik lusa malam. Udah bisa kan?”, Susan pamit kepada Ranti.

Ranti cuma mengangguk tanpa menoleh ke arah Susan sambil komat-kamit dan terus melanjutkan pekerjaannya.

Aku berdiri perlahan menghampirinya.

“Hai”, sapaku lirih, tak ingin mengejutkan.

Ranti mendongak. Aku bisa lihat dia agak terkejut.

“Hai…”

Tapi aku heran dia tampak tenang, sedang aku malah gugup.

“Maju siapa?”, tanyaku basa basi.

“Pak Heru”

“Beton?”

Dia mengangguk, “Eh, bentar ya. Ini ada yang harus kubenerin. Emmm… ga papa kan?”

“Ga papa lah. Saat ini kita semua sedang diburu. Jahat kalau aku ngajak kau ngobrol di saat genting begini”

Ranti tersenyum lalu sibuk lagi. Aku diam di sebelahnya. Memandangi. Bertanya-tanya lagi apa yang dipikirkannya. Tapi aku merasa sakit hati sendiri, sepertinya dia benar-benar tenggelam dengan tugasnya dan tidak terusik sama sekali dengan kehadiranku.

Amru keluar dari ruang Pak Agil dan memanggilku, “Wo, kamu”.

Sialan Pak Agil. Cepat amat si Amru diberi kartu puas. Aku jadi harus meninggalkan Ranti sebelum sempat bicara apa-apa. Agak ragu aku beranjak. Aku sendiri belum tahu apa yang ingin kubicarakan dengan Ranti. Aku hanya ingin bicara lagi dengannya.

“Buruan…. “, Amru mengingatkan.

“Eh.. ya. Ehm… Ranti. Aku ingin ngobrol dengan kamu setelah selesai ini, kalau boleh”

Ranti memandangku seperti tak percaya. Diam, tapi aku tahu dia bertanya, untuk apa, tentang apa, kenapa, dan mungkin masih banyak lagi pertanyaan lainnya.

“Kalau boleh”, ulangku.

Dia hanya mengangguk. Aku bergegas berjalan untuk masuk ke ruangan Pak Agil, tapi sesaat aku balik ke Ranti lagi, “Please ya. Kalau aku selesai duluan aku akan tunggu kamu. Kalau kamu yang selesai duluan, tunggu aku ya”

Ranti mengangguk lagi.

*masih bersambung, satu lagi deh!*

Read more!

"Bowo!" (4)

Besoknya Anto datang bersama Helen ke kafe tempat aku biasa nongkrong bersama Rizal. Kelakuan Rizal dan Anto. Mereka langsung pergi dan meninggalkan Helen bersamaku.

Aku tidak bisa bilang tidak, Helen cantik. Laki-laki mana pun akan mudah menyukainya, atau mungkin bahkan jatuh cinta. Lihat saja, kulitnya yang putih dan halus tanpa cela. Hidungnya mancung, bibirnya tipis. Wajahnya dipoles make up sederhana tapi mempesona. Rambutnya yang lurus selewat bahu dicat tembaga. Pembawaannya ceria.

Tapi aku tetap bingung harus ngobrol apa dengannya. Aku hanya menanggapi sebisaku obrolannya tentang kegiatannya sebagai aktivis kampus.

Dan aku sama sekali tidak merasa nyaman bersamanya.

***

“Ayo Wo, jangan kecewakan Helen”, rayu Rizal lagi.

Aku masih enggan. Rizal mengajakku ‘double date’ malam minggu ini. Dia akan mengajak Nina pacarnya, lalu aku dimintanya mengajak Helen.

“Jangan paksa Zal. Aku… aku gak nyaman dengan Helen”

“Ah… itu kan karena kamu belum kenal betul dengannya. Cobalah jalan dengan dia sekali ini saja. Mungkin kamu akan bisa lebih santai, siapa tahu kalian cocok”

Akhirnya dengan enggan aku mengikutinya.

Rizal sengaja memilih film hantu supaya dia bisa melindungi Nina yang ketakutan kalau hantunya keluar.

“Kamu mau nonton apa Wo?”, tanya Helen.

“Terserah kamu saja”, aku benar-benar sedang tidak ingin nonton sebenarnya.

“Bareng Nina aja ya?”

Aku mengangguk.

“Nanti kalau aku ketakutan, boleh aku nyungsep di kamu?”, tanya Helen lagi, menggoda.

Aku hanya tersenyum, malas.

Nyatanya hanya Nina yang berkali-kali nyungsep di pundak Rizal. Helen sama sekali tidak tampak takut dengan hantu-hantu yang gentayangan di layar. Aku sendiri, pikiranku sedang tidak di sini. Berkelana ke mana-mana.

Sampai suatu detik ketika kurasakan tangan Helen menyentuh tanganku, lalu menggenggam. Ingin kutarik, tapi aku tak mau Helen malu, jadi kubiarkan. Hanya saja aku diam, tak menanggapi setiap gerakannya.

Aku berangan, seandainya saja Ranti yang ada di tempat Helen saat ini.

***

Hari ini Papi ada kunjungan kerja di sini. Seperti biasa Mami ikut, dan singgah ke kosku untuk menemui anak kesayangannya ini.

Rizal baru saja akan pergi dengan Nina ketika Mami datang.

“Maaf Tante, tidak bisa menemani ngobrol agak lama. Saya harus antar Nina”, pamitnya kepada Mami.

“Iya, Zal, ngga papa. Tante juga ngga lama kok. Jam lima nanti Papinya Bowo juga harus terbang ke Jakarta lagi.”

“Sebenarnya Bowo juga ada janjian dengan Helen, Tante. Tapi dia batalkan karena Tante datang”

Sialan, Rizal ngibul. Aku melotot ke arahnya, Nina senyum-senyum saja di sebelahnya.

“Helen? Kenapa dibatalkan?”, Mami bertanya penuh keingintahuan.

“Iya Tante. Bowo lagi pendekatan sama Helen. Mungkin nanti kalau mereka sudah jadian baru berani kenalin ke Tante. Anaknya cantik Tante, baik lagi. Tante pasti cocok deh!”

“O ya?”, Mami makin penasaran, dan aku makin ingin menggampar Rizal.

“Sudah sana pergi”, hardikku, “Aku mau berduaan sama Mamiku”

Rizal tertawa, menjabat tangan Mami lalu pergi.

Mami memandangku, mungkin ingin mendengar lebih jauh tentang Helen. Tapi aku langsung pura-pura sibuk membongkar bawaan Mami: aneka makanan dan lauk kering.

***

Bulan berikutnya aku pulang. Kak Reny juga di rumah. Kami sedang berkumpul di ruang tengah sibuk sendiri-sendiri, membiarkan presenter acara gosip di tivi juga bicara sendiri.

“Jadi kapan kamu akan kenalin Helen ke Mami?”, tanya Mami tiba-tiba.

Aku diam sejenak sebelum menjawabnya.

“Sepertinya tidak akan pernah”

“Kenapa? Dia menolak kamu? Kamu tidak berhasil mendekati dia? Kenapa? Kurang apa kamu katanya? Dia cari yang bagaimana?”, Mami sampai meletakkan bukunya dan mencondongkan badan padaku.

Kak Reny tertawa melihat wajah Mami yang seperti terluka mengira anaknya ditolak gadis.

“Bukan Mi… Rizal itu membual. Bowo tidak pernah mendekati Helen. Cuma Rizal dan teman-teman saja yang menjodoh-jodohkan kami. Tapi Bowo… tidak sreg”

Mami duduk bersandar lagi mengatur nafas, seolah lega bahwa ternyata bukan anaknya yang tidak laku.

“Sebenarnya”, lanjutku,”ada yang ingin Bowo kenalkan pada Mami dan Papi”

“Oh ya? Kenapa tidak?”

“Karena Bowo masih ragu Mami mau punya calon besan pensiunan guru esde dari desa pelosok”

Aku melihat mata Mami terbelalak, dan Kak Reny menunduk menekur majalahnya. Aku sendiri berdiri beranjak ke kamar, pembicaraan mulai tidak menyenangkan…

Read more!

"Bowo!" (3)

Ranti tidak menjauhiku setelah kejadian itu. Tapi aku yang begitu. Karena berada di dekatnya mengingatkan aku tentang perasaanku, kekagumanku pada kesederhanaan yang membalut segala sisi kehidupannya. Berbicara padanya menjadi menyiksa. Karena aku tak sanggup lagi menatap matanya, lantas menemukan luka dibalik keceriaan yang tetap ditunjukkannya pada siapa saja.

Tak akan ada yang menyadari ada yang berubah pada dirinya. Tak akan ada yang melihat ada yang berubah pada diriku. Tak akan ada yang memperhatikan ada yang berubah pada kami.

Toh selama ini kami tak selalu berdua. Aku lebih sering bersama Rizal teman sekamarku, sedang Ranti lebih banyak bersama Susan, gadis keturunan tionghoa yang satu dosen wali dengannya.

Hanya kami yang merasakan, betapa jarak sekarang sengaja kami ciptakan. Aku masih sering cemburu melihat dia berdekatan dengan laki-laki. Dan karenanya aku berusaha tidak tampak terlalu dekat dengan perempuan. Aku tidak ingin mengingkari kata-kata yang kuucapkan. Meskipun mungkin sebenarnya dia tidak peduli sama sekali.

Aku tak tahu apakah dia tahu alasan sebenarnya. Aku tidak ingin dia tahu. Aku tidak tahu apa yang sekarang dirasakannya. Aku ingin tahu. Tapi kurasa sebaiknya aku tak tahu.

***

Semester demi semester berlalu. Ranti dan Susan masih terus bersama meskipun sudah memasuki semester penjurusan. Keduanya mengambil jurusan Umum. Aku sendiri mengambil Struktur. Tadinya aku menduga Ranti dan Susan juga akan mengambil Struktur, mengingat nilai-nilai mereka sangat mendukung. Tapi dalam hati aku bersyukur intensitas pertemuan kami akan berkurang, dan itu akan memudahkan aku melupakan Ranti.

Oh, benarkah? Karena nyatanya aku kehilangannya. Aku rindu sekedar melihat dia ada di kelas yang sama denganku walau tak saling menyapa. Alih-alih melupakannya, yang ada justru semakin nyata aku melihat senyum lebarnya, tawa lepasnya, langkah setengah lompatnya ketika berjalan, topi butut yang selalu bertengger di kepalanya…

***

“Wo, dapat salam”, kata Rizal begitu dia masuk kamar, sepulang dari nonton dengan Anto teman SMAnya yang kuliah di Ekonomi.

Aku sedang menyelesaikan Tugas Pelat Cangkang-ku. Rizal menjatuhkan diri di kasur.

“Siapa?”, tanyaku.

“Helen”

Aku ingat Helen. Dia satu jurusan dengan Anto. Mereka pernah main ke sini, dan kami sempat berkenalan.

“Kamu ketemu di mana?”

“Tadi dia ikut nonton bareng kami. Harusnya kamu ikut. Helen kayanya naksir kamu” Rizal menggodaku.

“Ga bisa, Zal. Aku harus assistensi ke Pak Heru besok pagi jam delapan. Setelah itu mungkin baru minggu depan lagi bisa menghadap beliau, kan beliau ambil S3 di Bandung”

“Ya deh, tapi… gimana menurutmu?”

“Soal apa?”

“Helen”

“Ah…”, aku ikut merebahkan diri di samping Rizal, “Entahlah. Aku baru ketemu satu kali dengannya”

“Kadang cinta muncul pada pandangan pertama. Kamu percaya itu?”

“Aku percaya itu bisa terjadi. Tapi kayanya bukan pada aku dan Helen”

“Bagaimana kalau Helen yang jatuh cinta padamu pada pandangan pertama?”

“Hmmm… itu bukan salahku. Aku memang mempesona”

Dan kami terbahak berdua.

*bersambung*

Read more!

"Bowo!" (2)

*harap dibaca sambil menyanyikan ‘hardest thing’-nya 98degrees :D*

Kami sedang bermain cross dot di pergantian jam mata kuliah. Aku membalikkan kursi ke belakang sehingga berhadapan dengannya. Kami sudah bosan dengan deret 4 dan sekarang mencoba deret 5. Ranti menang terus. Dan itu membuatnya tersenyum terus. Dan itu membuat aku ingin tersenyum bersamanya. Melihat senyumnya yang tak dibuat-buat, tak dimanis-maniskan, tak dicantik-cantikkan.

Dia memang tidak cantik. Tidak jelek juga. Manis mungkin, dengan segala kepolosannya. Ketika gadis lain memoles wajahnya dengan berbagai warna, dia biarkan coklat gelap yang seolah menjadi kebanggaannya terpapar kepada siapa saja.

“Hey, ngelamun! Ayo giliranmu”

“Aku ga ngelamun. Mikir ini. Kalah terus, lama-lama aku jadi bosen”

Kuletakkan pensilku di samping kertas strimin di hadapan kami.

“Udah nih?”

“Iya, aku ngaku kalah”

“Jadi aku dapet es krim?”

“Ya”

“Conello?”

“Apa aja?”

Dia tersenyum lebar, bahagia.

Kemaren Desi melihat aku dan Rizal sedang makan es krim di kantin. Dan dengan gaya manjanya berkata.”Ih… es krim… mau dong…”

Aku bilang padanya, “Beli aja sendiri, tu di depan”.

Untuk Ranti, sebenarnya tanpa minta pun aku ingin belikan. Tapi dia bukan model yang mau diberi hadiah. Aku tahu. Jadi aku tantang dia main cross dot, dengan taruhan es krim. Dan aku sengaja mengalah, karena aku ingin pulang kuliah nanti aku bisa membelikannya es krim, dan makan bersamanya sambil berjalan ke halte tempat dia akan menunggu bis yang akan membawanya kembali ke kos-nya.

Pernah suatu hari aku menawari untuk mengantarnya pulang.

“Aneh kali Wo, kosmu cuma beberapa blok dari sini, tapi musti nganter aku dulu ke sana”

“Kalau pas kita kuliah di Kampus C, boleh?”

Dia cuma tertawa.

***

Siapa bilang laki-laki itu kuat? Dalam banyak hal laki-laki lemah. Atau barangkali aku saja yang seperti ini. Aku membiarkan kepengecutanku menghalangiku membiarkan perasaanku pada Ranti tumbuh lebih jauh lagi. Aku sudah cukup melihat Kak Reny menangis karena akhirnya harus menyerah pada Papi dan Mami soal Mas Surono. Aku tidak ingin Ranti mengalaminya. Aku tidak yakin Mami mau punya besan pensiunan guru SD di daerah pelosok.

Aku bisa saja nekat dan berjuang demi cinta, seperti Romeo dan Juliet. Ah, dongeng banget. Tapi kupikir, kalau belum terlanjur terjadi, biarlah tak usah terjadi. Tak perlu mengambil resiko seseorang harus tersakiti.

Jadi sore itu… Di bangku beton di bawah pohon di depan perpustakaan, untuk ke sekian kalinya aku duduk di samping Ranti. Dia yang biasanya ramai kali ini sepi. Sibuk sendiri dengan kalkulator dan tugas MT-1 nya yang tak kunjung nol.

“Apa yang salah ya?”, keluhnya.

“Udah, tulis aja Mx=0”

Dia menghela nafas, “Kalau aku cek tiga kali lagi masih belum nol, aku akan pertimbangkan saranmu”

“Atau kamu ganti kertas aja, dan ulang dari awal”

Ranti memandangku, tersenyum. Lalu meremas hasil kerjanya dan melempar ke tempat sampah.

Aku terbelalak melihat yang baru saja diperbuatnya.

“Kau benar”, katanya, “kadang lebih baik begitu. Meneliti dan mencari di mana kesalahannya supaya bisa diperbaiki, malah lebih susah”

Aku seperti menemukan momen untuk mengatakan yang aku pikirkan.

“Itu benar sekali, Ran. Karenanya aku tidak ingin membiarkan sesuatu berjalan ke arah yang tidak diinginkan, lalu kita menyadarinya setelah jauh di tengah perjalanan. Terlambat untuk balik, tapi berhenti jadi menyakitkan”

“Maksud kamu apa, Wo?”

Teriris rasanya melihat ketakmengertian di matanya. Kepolosan tanpa basa-basi yang selama ini selalu ada di sana. Yang meluluhkan tapi aku tahu aku akan hancur karena harus meninggalkannya…

“Aku tidak mau berpura-pura tidak tahu apa yang kita rasakan. Aku tahu kamu tidak menuntut janji atau kata-kata. Aku tahu kamu nyaman dengan perasaan yang cukup kita saling tahu tanpa harus diutarakan”

Kulihat matanya menanti. Mungkin dia berpikir akhirnya aku akan menyatakan cinta padanya. Oh Tuhan, ini menambah perihku melukainya.

“Kamu mau ngomong apa Wo?”

Aku menelan ludah. Dan melihat binar matanya meredup demi melihat ekspresiku yang bukan menunjukkan kebahagiaan atau harapan.

“Aku minta maaf. Tapi kurasa… aku… belum siap dekat dengan perempuan”.

It’s the hardest thing I’ll ever have to do
To look you in the eye and tell you i don’t love you
It’s the hardest thing I’ll ever have to lie
To show no emotion when you start to cry
I can’t let you see, what you mean to me
When my hands are tied, wad my hearts not free
We’re not meant to be

It’s the hardest thing I’ll ever have to do
To turn around and walk away
Pretending i don’t love you

*mau tamat atau bersambung lagi?*

Read more!

"Bowo!"

Aku menoleh ke arah suara itu. Suara renyah yang lebih terdengar seperti suara anak umur sepuluh tahunan, meski si empunya sebenarnya seumuranku.

Dia, seperti biasa, berjalan setengah berlari ke arahku.

“Kamu bawa?”

Aku meletakkan ransel di atas motor yang baru saja kuparkir, “Pasti”, lalu mengeluarkan buku partitur yang dia pesan. Dia ingin chord ‘Endless Love’-nya Lionel Richie.

Kuulurkan buku itu padanya, tapi dia malah tertegun melihatnya, lalu menatap ke arahku dengan wajah lesu.

“Kenapa?”

“Bukunya bagus banget, Wo”

“Ya emang begini. Kenapa emang?”

Ranti terdiam sejenak, lalu tersenyum, “Aku fotocopy yang aku butuhkan aja deh. Kalau bukunya aku bawa aku takut balik ke kamu tidak dalam keadaan utuh”

“Dikerikiti tikus?”

“Hihihi… bukan. Aku pake bantal. Soalnya aku maennya di kasur, kalo capek langsung nggledak aja”.

Diambilnya buku itu dari tanganku. Kubenahi ranselku dan kami berjalan bersama menuju ruang kuliah.

***

Ranti gadis sederhana. Cuek banget dengan penampilannya. Selalu celana jins dan kemeja yang itu-itu saja. Pernah kulihat dengkul jinsnya ditempeli tensoplast.

“Habis bolong, mau nambal belum sempat. Besok deh aku tisik”

Besoknya kulihat tensoplast itu sudah dilepas, tapi tidak juga ditisik.

“Jadi kelihatan bolongnya Ran…”

“Bukankah jins makin belel makin berharga?”

***

Aku tak pernah melihatnya duduk di deretan tengah. Selalu di depan, lalu menyimak dengan serius setiap kata-kata dosen, atau sekalian di belakang dan ngobrol dengan siapa aja yang duduk di sebelahnya.

“Kalau sudah di deret ketiga ke belakang aku ga bisa nyimak dosennya, jadi mendingan sekalian aja di belakang ngobrol”

“Ga sekalian aja kabur dari kuliah?”

“Ga… kalo ngabur rugi aku ngongkos angkotnya jauh-jauh ga dapet apa-apa. Kalo duduk di belakang paling tidak masih bisa ngobrol.” Lalu dia nyengir.

***

Di ujung belakang ruang kuliah, ketika suasana masih riuh rendah menunggu dosen yang terlambat, kupergoki dia melihat ke arahku, entah sudah berapa lama. Aku tersenyum kepadanya, lalu kukerlingkan mata. Dia tampak malu lalu membuang muka. Ah, kalau saja dia putih pasti sudah terlihat pipinya memerah.

Usai kuliah dia menghampiriku, “Maksud kamu apa sih, Wo?”

“Apa?”

“Pake ngedip begitu?”

“Ga papa. Nyapa aja, habis kamu ngelihatin aku tapi diem. Kalau mau nyapa pake suara musti tereak, kamu agak jauh”

Dia memukul aku dengan buku di tangannya.

***

Aku pura-pura tepekur dengan pianoku. Tapi aku mendengar Mami dan Papi sedang bicara dengan Kak Reny.

“Kenapa harus dia Ren?”, suara mami.

“Ya ngga kenapa-kenapa, Mi. Karena memang Reny suka dia”

“Apa tidak ada temanmu yang lain yang kamu suka?”

“Banyak. Reny suka semua teman Reny. Tapi yang Reny inginkan jadi pacar Reny cuma dia”

“Pikirkan lagi, Ren. Pikirkan Papi”

Kak Reny berlari ke kamar melintasi aku yang pura-pura sedang memilih lagu untuk kumainkan.

Pikirkan Papi. Aku tahu yang Papi maksudkan, kedudukannya. Papi seorang pejabat. Pengusaha. Kak Reny membawa ke hadapan Papi seorang pemuda anak supir pabrik roti, yang ibunya berjualan pecel di depan rumahnya tiap pagi.

Mengapa hal seperti ini harus jadi masalah ketika dua orang saling jatuh cinta?

*bersambung*

Read more!