Friday, August 22, 2008

Plak..!!

“Itu karena kau telah menyakiti anak-anakku”

Plakk..!!

“Dan itu karena kau telah tidur dengan suami orang, apa pun alasanmu”

“Bun…”

“Jangan panggil aku begitu. Kau tidak pantas panggil aku ‘Bunda’. Kau melakukannya di rumahku, di peraduanku…”

***

Aku tidak percaya itu adalah kau.

Aku tidak percaya itu adalah suamiku.

Aku masih ingat bagaimana aku selalu mengingatkanmu, betapa banyak godaan di dunia yang kita geluti ini. Aku telah berpuluh tahun di dalamnya, dan alhamdulillah aku diberi kekuatan untuk bertahan atasnya. Tidak, Ndhuk. Bukan karena aku ingin menunjukkan padamu bahwa aku ini orang kuat. Aku bisa bertahan sejauh ini bukan berarti aku tidak bisa lupa suatu hari. Aku hanya ingin kau bisa membentengi diri, akan sesuatu yang aku sudah tahu pasti dan aku tidak tahu sekuat apa kau bisa menghindari.

Aku tak percaya bahwa bukan dari dunia itu kau akhirnya jatuh, tapi dari sisiku.

Aku menyayangimu seperti anakku sendiri. Karenanya kuarahkan kau mencari pekerjaan selain yang satu ini. Bukan karena pekerjaan ini hina atau cela. Dia mulia. Hanya saja kau punya lebih untuk bisa jadi lebih dari sekedar seperti aku. Aku selalu heran dengan penolakanmu atas pekerjaan yang lebih baik yang bahkan mendatangi tanpa kau harus mencari. Aku tidak bisa mengerti alasanmu bertahan bersamaku.

Tidak memang, waktu itu. Tapi kini aku tahu bahwa aku bukanlah alasanmu. Bukan itu yang membuatku sedih. Tapi kenyataan bahwa kau manis di hadapanku, tapi pahit di belakangku. Dengan berjuta kebohonganmu yang terbuka bagiku satu per satu. Dan bahwa alasan itu adalah, suamiku.

Ndhuk, firasat-firasat yang buruk sudah lama kurasakan, dan tak ingin aku percayai. Tidak, sampai aku menemukan bukti. Dan kini setelah kugenggam apa yang kucari, aku masih tidak bisa percaya. Aku masih berharap ini mimpi buruk yang akan berakhir ketika aku bangun pagi hari. Nyatanya, aku sudah bangun berkali-kali, dan ternyata ini memang bukan mimpi.

Kau tega pada orang yang selama ini kau panggil ‘Bunda’. Yang memberimu tempat bernaung, dan membiarkanmu menjadi bagian dari keluarga. Aku tidak minta bayaran apa-apa, Ndhuk. Tapi pantaskah jika ini yang kuterima sebagai balasannya?

Andai bisa kau lihat hatiku, yang kini remuk tak berbentuk. Dan kau masih menggelayut di lengan pria yang selama ini menjadi suamiku, sampai kapan lagi, aku tak tahu.

Jika hal terburuk terjadi padamu, dia harus memilih antara kau, atau aku.

No comments: