Kulirik jam tanganku, pukul 15.57.
“Kamu di mana sekarang?”, tanya dia lagi.
“Masih di kantor”
“Kelasnya jam lima lho, keburu?”
“Insya Allah”
“Ok, jam lima ya. Tolong, soalnya aku bener-bener ngga bisa berangkat”
“Iya, aku berangkat sekarang juga”
Kumatikan komputer dan berbenah untuk pulang. Kalau aku cepat mungkin aku masih bisa naik bis.
“Lho, Di, mau ke mana?”, boss-ku yang melihat aku siap-siap pulang seperti tidak rela.
“Pulang, Pak”
“Itu bahan buat hari Kamis lho, jangan sampai ngga siap”
“Ini masih hari Selasa, Pak, santai saja. Saya ada perlu penting nih. Besok saya akan selesaikan, kalau perlu sampai lembur”
Punya bawahan ndableg sepertiku harus sabar, dan percaya. Untung atasanku sedang lega hatinya, dan dia cuma bisa bilang, “Terserah…”
***
Aku belum membawa kostum dan sepatu. Kalau naik bis, mampir ke kos… biar naik ojek juga sepertinya tidak akan keburu. Akhirnya kulambaikan tangan pada taksi pertama yang lewat di depanku.
“Ke atas, Pak. Ngebut”
Dan si supir benar-benar ngebut.
***
Jam lima kurang lima menit aku sampai di depan sanggar, argometer menunjukkan angka 47.800. Kuulurkan selembar lima puluh ribuan, “Ambil aja kembaliannya, Pak. Makasih”. Lalu setengah berlari aku menuju pintu sanggar yang setengah terbuka.
Sanggar sudah penuh. Beberapa member bahkan sudah berdiri mencari tempat. Aku bergegas menuju pojok ruangan tempat CD playernya. Tapi seseorang sedang jongkok di sana menyiapkan musik, dan sudah memakai baju senam. Itu… Tammy.
“Hai, Tam!”
Yang kusapa mendongak dan tersenyum, “Hai, Di. Oh, kamu datang. Monik bilang kamu tidak bisa, jadi dia memintaku datang. Kamu mau mengajar?”
Aku menggeleng, “Mereka tahunya kamu yang datang mengajar, udah kamu aja”, kuletakkan ransel, dan mulai kubuka jaket dan jeansku.
Aku membaca raut muka merasa tidak enak di wajah Tammy. Beberapa member berbisik-bisik sambil melihat ke arah aku dan Tammy, entah apa yang mereka bicarakan.
“Atau kita paroan yuk, nanti aku berhenti di low, kamu masuk ke high dan pembentukan”
“Ngga usah…. Aku sih kalau mau mengajar nyiapin bahannya satu paket. Kamu pasti juga. Kalau dadakan bawa separo-separo mana bisa sinkron?”, dan bagaimana bayarannya, separo-separo juga?– tambahku dalam hati.
Tammy mengangkat bahu dan menyalakan musiknya, “Yooo….k!!” teriaknya memanggil semua yang ada di ruangan untuk bersiap.
“Yoo…k!!”, teriakku menyahut sambil bertepuk tangan. Menyahut? Pura-pura. Karena sebenarnya aku ingin berteriak, “Kurang ajar kau Monik!”
Dadaku sakit rasanya. Marah, kesal, kecewa. Sebegitunya Monik tidak percaya padaku. Aku sudah bilang aku bisa. Dan aku jungkir balik supaya tidak terlambat. Dan aku naik taksi bayar lima puluh ribu, sementara dia cuma akan memberikan padaku fee-nya yang dua puluh lima ribu. Aku ngga peduli rugi buat menolongnya. Tapi tega banget dia mendatangkan Tammy, tanpa memberitahuku pula…
Aku bergerak mengikuti Tammy sambil menggigit bibirku dan berusaha tersenyum. Terserah, sebut saja aku cengeng, tapi aku memang ingin menangis. Aku sakit hati.
Sepuluh menit kemudian pintu sanggar terbuka pelan, Monik masuk dan berjalan menyusur tembok belakang, meletakkan tas dan melepas jaket, lalu mendekati aku.
“Hai Di, kamu datang jam berapa?”
“Jam lima kurang lima menit, seperti yang kujanjikan”, jawabku sambil terus bergerak, tak peduli Monik yang beberapa kali harus menghindar supaya tidak terkena ayunan tanganku.
“Sorry…”, katanya, “aku kira kamu tidak akan bisa sampai tepat waktu, soalnya pengalamanku sendiri kalau naik bis dari sana tidak akan cukup waktu. Jadi kupikir kalau….”
“UUUUH!!!” aku tidak mendengarkan Monik dan berteriak seolah membakar semangat isi kelas. Monik masih ingin berkata sesuatu, tapi aku tidak peduli. Aku terus melihat ke arah Tammy dan bergerak dengan tenaga yang mungkin bisa merubuhkan Monik.
Monik menyingkir, mengambil tempat di pojok belakang. Aku sempat melirik wajahnya yang gelisah. Peduli setan, aku yang harusnya bermuka tidak enak. Tapi aku terus berusaha tersenyum. Benar-benar tidak lucu bergerak sambil merengut. Aku terus menggigit bibirku, atau berteriak seperti orang gila. Kalau tidak, aku akan benar-benar menangis.
Break sebelum pendinginan Monik mendekatiku lagi, “Di, aku…”
“Sudahlah Mon, minggir. Aku mau senam, jangan ngeribetin”, sergahku. Dan dia mengambil air minum lalu kembali ke belakang.
Begitu selesai, aku langsung mengenakan jeansku dan menyambar ranselku. Aku tidak peduli baju dan badanku yang masih basah oleh keringat. “Tam, makasih ya. Aku pulang dulu. Sudah mau maghrib ini”
“Kamu naik apa, Di? Tunggu sebentar deh, aku antar”
“Alah, ngga usah… di depan banyak ojek. Yuk ya, dah”, aku melambaikan tangan sambil berjalan menjinjing jaketku, “duluan ya…!!” teriakku, yang dibalas lambaian tangan beberapa member yang sudah mengenalku.
Sambil berjalan keluar aku mengenakan jaketku. Monik agak berlari mendekatiku.
“Di, jangan marah ya. Sorry, aku bener-bener minta maaf. Karena Tammy sedang tidak ada kelas, aku pikir lebih baik dia yang gantiin aku. Kosnya cuma lima belas menit dari sini, sedang kamu harus…”
“Aku naik taksi. Dan kamu bisa kira-kira berapa ongkosnya. Mon, biar aku kasih tahu kamu satu hal. Fee sama sekali bukan tujuanku mengajar. Aku sudah cukup dapat uang dari pekerjaanku. Aku bersedia gantiin kamu karena aku sedang bisa bantu kamu, dan siapa tahu suatu saat aku yang butuh bantuan kamu. Tapi kamu ngga percaya banget sama aku. Tega kamu datengin Tammy, tanpa ngasih tahu aku pula”
“Aku…”
“Aku pulang dulu..”, dan kutinggalkan Monik yang tidak mungkin akan menyusulku keluar sanggar dengan hotpants dan sport bra.
Aku pulang berjalan, setengah berlari, dan membiarkan sedikit air mataku mengalir. Dan untuk sementara, kurasa, aku tidak akan menemui Monik. Aku bisa meledak.
Read more!