“anakmu berapa ndhuk?”
“tiga,budhe..”
“katanya ada yang kembar?”
aku mengangguk, dia memeluk.
aku telah menemukan yang kucari. tapi aku ragu apakah aku masih ingin menemui.
“dan dia, berapa anaknya budhe?”
dia menggeleng, “dia belum menikah, ndhuk. sudah dilangkahi adiknya, tapi dia masih belum mau juga. aku ndak tahu dia nunggu apa..”
aku telungkup di pangkuannya. perempuan setengah baya yang sudah lebih dari tujuh tahun tak kusapa. perempuan yang pernah menjadi tempat aku berlari ketika tak ada siapa-siapa. yang menyuapiku dengan nasi thiwul gurih asin. atau mendongengiku tentang ‘jakarta’. sambil dia menyibak-sibak rambutku mencari kutu. membuatku aku terkantuk-kantuk di pangkuannya, di bawah teduhnya pohon jambu.
air matanya menetes menjatuhiku, sedang milikku membasahi pangkuannya.
“aku senang melihatmu bahagia ndhuk. doakan kakangmu itu…”
“sampaikan salamku padanya, budhe. aku minta maaf, kali ini aku tidak cukup waktu untuk menemuinya”
sedang sesungguhnya aku tahu aku tak akan sanggup. aku takut dia tidak akan mau menemuiku, seperti dia tidak mau hadir di pernikahanku… entahlah, aku juga tidak yakin aku akan cukup kuat melihatnya. seperti beberapa tahun yang lalu ketika aku bergetar melihat tubuh pendeknya memikul tabung gas di kios di pasar kulon…
apakah aku telah menjadi sombong? apakah dia menjadi rendah diri? sialan, kenapa harus tercipta jurang ini?
karena semua hal telah menjadi berbeda. karena masa telah mengubah manusia, juga kami berdua. betapa aku ingin bersikap biasa saja, seperti anak-anak yang berteman tanpa prasangka. tapi jangan tanya, aku tak yakin aku bisa…
101008
No comments:
Post a Comment