Saturday, June 14, 2008

aku VS ibu

Tepuk tangan, aku menunduk menghormat, meletakkan microphone, dan turun dari panggung.Teringat Ibu. Dengan suara seriosanya. Biar mbakku bilang ibu kalo nyanyi menakutkan, oh ngga… Ibu pinter baca not. Pitch controlnya hebat! Ibu yang mengajari aku menyanyi.

Waktu sekolah aku bikin kartu ucapan, cincin, tas, apa aja… buat dijual. Ke temen, atau dititipin di toko. Siapa yang ngasih ide? Ga ada. Cuma Ibu yang memintaku nitip donat di kantin sekolah, membuatku berpikir, ‘aku bisa jualan apa ya...?

Waktu awal-awal kos jaman kuliah, tiba-tiba temen dari kamar sebelah menarikku ke belakang rumah kos, ke tempat cucian. Katanya: La, ajari aku nyuci baju. Sabunnya seberapa? Airnya seberapa?Mmmm… aku ahlinya. Siapa yang ngajarin? Ga ada. Cuma Ibu yang memberiku tanggung jawab mengurus baju sejak aku SMP, setelah dua mbakku kuliah di lain kota. Membuat aku menjadikan dua pekerjaan itu, favoritku.

Di lain hari, lagi-lagi aku ditarik, kali ini ke dapur. Katanya: La, ini air udah mendidih belum? Mendidih itu gimana sih?Wordless. Aku sama sekali bukan ahlinya masak. Tapi ya ngertilah yang namanya oseng-oseng, sayur bayem, tempe goreng. Perbendaharaan ‘masak’ yang semakin bertambah setelah aku menikah. Setiap mau masak nelpon Ibu, ‘Bu, bumbunya apa...?’Nyesel kenapa dulu kalo Ibu masak cuma nungguin. Ga pernah bener-bener bantuin, apalagi minta diajarin...

Waktu SD, aku duduk di pojok kelas, menangis. Teman-teman mengolok-olokku karena boneka dari kain yang kubuat untuk pelajaran ketrampilan. Bukan karena jelek, tapi justru karena bagus. Kalo bagus, kenapa diolok-olok? Dengar dulu kata-katanya: La dibikinin... La dibikinin... Dan Bu Guru lebih percaya kata-kata mereka.Sumpah, aku bikin sendiri! Ibu hanya mengajariku tisik ini dan tisik itu....

Suatu ketika anakku sakit. Diopname. Diinfus. Aku duduk di sebelahnya. Nelangsa, sampai ga doyan makan. Begitu anakku sembuh dan keluar dari rumah sakit, gantian aku yang sakit.

Dulu waktu Bapak sakit, diopname, diinfus. Ibu nungguin di sebelah Bapak. Tapi Ibu tetap makan. Katanya: Ibu tidak mau menambah jumlah orang yang sakit.

Ahh... baru jam setengah lima. Masih bisa merem setengah jam lagi.
JRENG JRENG!! Melek-melek udah jam setengah enam. Jadilah lintang pukang gedabigan menyiapkan pagi.Aku ingat jaman dulu. Jam setengah empat Ibu udah kluthak –kluthik di dapur. Nyiapin sarapan. Masak buat makan siang. Aku yang bangun belakangan paling-paling cuma sempat nyapu sebelum berangkat sekolah. Dari dulu aku selalu berpikir, apa aku bisa seperti Ibu, bangun segitu pagi?Terjawab sudah. Sampai sekarang belum berhasil.

Ibu memangku aku, ketika di TK aku tidak mau menyanyi maju, hanya menggelendot padanya dan minum susu.

Ibu menungguiku lomba matematika.

Ibu menungguiku belajar. Memberiku banyak pertanyaan sehingga aku siap menghadapi tes.

Ibu mencariku sambil menangis penuh kehawatiran, ketika aku ngambek dan sembunyi di atas ‘jagrag’ di belakang rumah karena suatu keinginanku tidak dikabulkan (UGH... what a bad girl, aku malu banget mengingat ini!)

Haruskah kuceritakan lebih banyak lagi? Tentang hal-hal yang kelihatan sepele yang dilakukan Ibu untukku? Baiklah, satu saja, yang tak akan terbantahkan mengapa aku menghormati (dan semakin menghormati) Ibu apapun keadaanya. Satu hal yang pertama kali dia lakukan untukku, menjelang dan saat kehadiranku di dunia... Ibu mengandungku selama sembilan bulan, dan bertaruh nyawa melahirkan aku.

You know what, satu hal yang paling kukagumi dari Ibu? Ibu wanita kuat. Karena hanya wanita kuat, yang sanggup meninggalkan hidup nyaman, lalu menikah dengan Bapak, dan mau diajak melarat. Bertahan dan bersama Bapak meraih hidup yang lebih baik, membesarkan lima anak yang bermacam-macam kelakuannya, dan sering menyusahkan (terutama aku!).

Ibu benar-benar wanita kuat. Yang membuatku berharap aku bisa sekuat dia. Yang membuatku malu menjadi wanita cengeng. Aku menjadi sekuat aku sekarang, dengan sebagian besar kekuatan yang kudapatkan dari Ibu, menghadapi sekitar yang sering memandang sebelah mata padaku, berdiri dan berteriak mempertahankan diriku, berjuang dengan segala keterbatasan, survive, dan masih aku merasa, aku sama sekali bukan apa-apa, dibandingkan dengan Ibu.

Tak ada satu pun hal sepele yang Ibu lakukan. Semua hanya kelihatannya sepele. Tapi justru semua itu yang membuat kami, anak-anaknya, tumbuh mandiri. Wataknya yang keras adalah bentuk kemauannya yang sama kerasnya. Betapa dia ingin anak-anaknya menjadi pintar, sehingga kalau tiba masa tes, dia hanya meminta anak-anaknya belajar dan belajar – tinggalkan semua pekerjaan rumah, biar Ibu yang lakukan.

Ibu adalah orang yang penuh kasih sayang, hanya dia sulit untuk mengungkapkan. Bahkan kadang terlihat gengsi untuk menunjukkan. Tapi tidak lagi, ketika kami dewasa dan selalu berusaha menunjukkan sayang, cinta dan hormat kami padanya. Mungkin terlambat, atau sebenarnya sama sekali tidak ada kata terlambat, Ibu sekarang bisa dengan mudah menunjukkan kasih dan kelembutan.

Innal jannatu tahta aqdamil ummahat....

No comments: