Saturday, June 14, 2008

please deh, Cin (4): percakapan di pagi hari

Keesokan harinya.

Dia menyuapkan sarapan yang disediakan rumah sakit.
“Apakah kepalamu masih nyeri?”
”Tidak terlalu” aku tak mau menggeleng, karena itu akan membuatku merasakan nyeri itu.
“Aku akan ke sekolah dan mengabarkan keadaanmu”, dia menengok jam tangannya, “baru jam enam. Setengah jam lagi pas ya?”
“Aku bisa menelpon kepala sekolah, tolong ambilkan handphoneku”
“Baiklah, tapi habiskan dulu sarapanmu”

Aku menelan.

“Kau tahu namaku, nama samaranku”
“Ya, dan aku tahu nama aslimu, Laras. Tapi aku lebih suka Cin”
“Apalagi yang kau tahu?”
”Tentangmu? Banyak. Aku tahu semua cerpenmu, pekerjaanmu. Semua ada di web-mu”

Dia menyuapkan satu lagi.

“Aku bahkan tahu lebih banyak dari yang tercantum di webmu. Webmu lebih banyak bercerita yang terkait dengan Menyelinap di Celah Sepi”
“Apa yang kau tahu?”
“Masa kecilmu, keseharianmu, harapanmu”
“Dari mana kau tahu semua itu?”
“Google”

Aku minum sedikit.

“Google, tentu saja. Aku tak tahu ada banyak keterangan tentang aku di internet”
“Ada beberapa, kau cukup terkenal sebagai penulis cerpen”
“Dan kau, aku sama sekali tak tahu tentangmu”, kataku.
“Aku berharap setidaknya kau tahu namaku”
“Aku hanya mulai mengingat bahwa kau adalah yang meminta tanda tanganku di launching novelku. Membuat sangat masuk akal kenapa kau memanggilku Cin”

Pria itu terdiam. Tangannya yang sudah terangkat untuk menyuapkan lagi, tiba-tiba turun. Dan mengaduk-aduk isi piring.

“Kau benar-benar tak bisa menduga siapa aku?”

Aku membaca sedikit kekecewaan di matanya.

“Maaf, aku tidak punya gambaran sama sekali”

Disuapkannya sendok terakhir yang urung barusan.

“Apakah kau tak membaca resensiku?”

Uhuk!, aku tersedak.

“Kau?”

Tersedak lagi. Dia segera mengulurkan minum.

“Kau... wartawan itu?”
“Tak ingat kah namaku?”
“R Sambodo, tentu saja ingat. Oh, kau hebat. Resensimu. Aku bahkan hampir tak percaya kau sedang membahas bukuku. Tiba-tiba saja orang memperhatikan novelku. Sam, kau adalah keajaiban yang dikirim Tuhan buatku. Eh... kau... tak keberatan kupanggil begitu?”

Yang kupanggil ‘Sam’ meletakkan piring yang sudah kosong di atas nakas di samping tempat tidur.

“Apa pun yang kau suka Cin”, dia tersenyum.
“Bagaimana kau bisa berada di sana? Di tengah demo itu. Yang... ah! Kepalaku sakit lagi mengingatnya...”
“Tak usah kau ingat. Kau di sini dan baik-baik saja. Harusnya kau tak perlu heran kenapa aku berada di sana. Aku meliput demo itu”
“Ah, ya. Tentu saja. Hantaman batu di kepalaku membuatku jadi tolol”

Sam tersenyum lagi, ah, senyum yang meneduhkan.

“Aku ingin kau mengerti satu hal. Kalau pun novelmu tiba-tiba laku, itu bukan karena resensiku, tapi karena kau memang berhak atas itu. Mungkin orang butuh waktu untuk membicarakannya, untuk menyadari kehebatan karyamu”

Aku terdiam.

“Dan satu lagi. Aku ingin kau mengerti kenapa aku bisa begitu dalam menulis resensi novelmu”
“Kenapa?”
“Karena aku mencintaimu”

Aku pasti terlihat tolol dan bodoh, melongo mendengar perkataan orang ini. Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi tak tahu apa. Aku ingin marah tapi tak bisa. Ingin bertanya tapi bingung tentang apa. Aku tak bisa berkata-kata.

Sam mengangsurkan handphone yang diambilkannya dari tasku, “Kau harus menelpon kepala sekolahmu”.

terkait dengan:
please deh, cin....
please deh, cin 2: pertemuan pertama
please deh, cin 3: terjebak di kericuhan
please deh, cin 5: cinta aku dan sam
please deh, cin 6: istri sam
please deh, cin 7: sang pengembara
please deh, cin 8: the end is the beginning is the end is the beginning...

No comments: