Friday, June 20, 2008

please deh, Cin (6): istri sam

Kami berangkat ke Bogor siang itu juga. Aku ingin bilang tidak, tapi tak bisa. Aku juga tak tahu kenapa Sam ingin aku ikut. Dalam angan jahatku, aku membayangkan istri Sam adalah perempuan sakit-sakitan yang sedang menjemput ajal. Liburan ini adalah usaha Sam untuk membahagiakannya di saat-saat terakhir. Aku dibawa untuk dikenalkan kepada istrinya, mungkin sekalian minta ijin atau pendapat istrinya, mengenai calon pengganti yang akan mendampingi Sam jika dia meninggal.

Gila.
Bahkan dalam cerpen pun aku tidak akan menulis hal sesinting itu.
“Kenapa aku harus ikut?”
“Aku butuh kau ikut”
“Sam, tak kau tahukah perasaanku saat ini? Kau baru saja membuatku hancur, sampai aku tak bisa berkata-kata, bahkan menangis. Sekarang kau memintaku untuk menemanimu berlibur dengan istrimu. Dan kau tidak mau menjelaskan kenapa. Kau sinting, Sam!”
Aku benar-benar marah, dadaku sesak sehingga kata-kataku keluar seperti tertahan.
Sam hanya memandangku dengan mata memohon. Mata itu. Aku tak bisa menolak.

***
Di tol jagorawi, Sam tidak belok kiri ke arah Bogor, tapi mengambil arah lurus ke arah Ciawi/Bogor.
“Kenapa lurus?”, tanyaku.
“Kenapa memangnya?”
“Katanya mau ke Bogor”
“Bogor coret maksudnya”
“Mau ke mana kita? Oh. Puncak?”
“Bukan”
Aku menghempaskan badan ke sandaran, “Aku tidak tahu kenapa aku mempercayaimu Sam. Jangan-jangan kau mau membawaku ke tengah kebun teh, memperkosaku, lalu membunuhku...”
”Cin!”, Sam setengah membentak dan menoleh ke arahku. Dia terlihat terhentak oleh kata-kataku sampai mobilnya sempat oleng sesaat.
“Maaf. Baiklah, aku tidak akan bicara lagi. Mudah-mudahan aku tidak menyesali perjalanan ini”
Sepanjang jalan aku diam. Memandang ke luar jendela. Harusnya pemandangan indah, harusnya. Tapi aku tak bisa merasakan keindahannya. Suasana hatiku terlalu buruk untuk merasakan keindahan.
Sam juga hanya memandang jalan, entah apa yang dipikirkan. Mulutnya juga terkunci.
Akhir pekan begini, jam segini, macet pasti. Perjalanan makin terasa panjang, juga siksaan yang kurasakan. Aku ingin turun dan kembali pulang, tapi tak mungkin.
Tiba-tiba aku menyesal sudah berangkat.
Tiba-tiba aku menyesal menerima cinta Sam.
Tiba-tiba aku menyesal sudah terlalu berharap banyak.
Tiba-tiba aku menyesal bertemu Sam.

***

Hari sudah petang ketika kami memasuki kawasan perkebunan teh sebelum Puncak. Aku tersenyum sendiri mengingat kekhawatiranku tadi. Setelah melewati beberapa kilometer jalan berbatu kami tiba di sebuah rumah kuno gaya Belanda. Aku selalu ingin rumah bergaya belanda. Tinggi. Angkuh. Dengan jendela yang tinggi juga, dan pilar-pilar. Dan halaman yang luas mengelilingi rumah.
Sam membantu membawakan tasku yang hanya berisi beberapa lembar pakaian. Aku heran, dia sendiri tidak membawa apapun.
Aku mengikuti Sam dari belakang. Dua orang yang tampaknya pengurus villa menyambut kami. Yang laki-laki meminta tas yang di bawa Sam, yang perempuan mempersilahkan aku menuju kamar. “Mari, neng”
Aku memandang Sam, minta pendapat.
“Istirahatlah dulu, dia akan mengantar ke kamarmu”
Aku menurut. Sam meninggalkan kami.
Kamarku bersih. Serba putih. Satu-satunya warna adalah bunga mawar kuning yang diletakkan di atas meja rias.
“Terima kasih, boleh tahu namamu?”
“Panggil saja Lilis”
“Terima kasih, Lis”
“Sama-sama Neng”
Lilis berjalan ke arah pintu, meninggalkanku.
“Eh, Lis”
Dia berbalik.
“Kau kenal Sam?”
“Tidak Neng. Saya hanya bertugas mengurus tamu villa ini. Kebetulan akhir pekan ini Pak Sam yang sewa. Katanya akan ada beberapa orang yang datang. Saya dan suami saya sudah siapkan kamarnya”
“Banyakkah yang datang? Kau tahu siapa saja mereka?”
”Maaf, Neng. Saya tidak tahu”
“Ya sudah, terima kasih”
“Saya akan di belakang, kalau-kalau Neng butuh bantuan saya”
Aku mengangguk, Lilis pergi.

***
Aku baru selesai mandi. Sam belum menghubungiku. Aku juga malas menghubunginya. Aku menunggu dipanggil untuk dikenalkan kepada istrinya, atau apapu rencananya. Dari tadi aku belum bertemu siapa pun selain Lilis dan suaminya.
Terdengar pintu diketuk, aku buka, dan Lilis berdiri membawa sebuah kotak.
“Pak Sam minta Neng Cin memakai baju ini”, katanya sambil mengulurkan kotak itu padaku.
Agak ragu aku mengambilnya, dan membawanya ke tempat tidur.
“Kau tahu namaku?”, kataku sambil memeriksa isi kotak itu.
“Pak Sam yang kasih tahu”
Sebuah kebaya dan rok panjang berbahan batik.
“Kapan aku harus pakai baju ini katanya? Baju ini seperti baju pengantin”
Lilis tidak menjawab, malah pamit meninggalkanku. Rupanya Sam muncul di depan pintu.
“Itu memang baju pengantin. Aku minta bantuan kakakmu untuk memilihnya. Mudah-mudahan kau suka. Maksudku, biasanya pengantin memilih sendiri baju pengantinnya ‘kan?”
Aku memandang Sam penuh tak mengerti.
Sam duduk di sampingku, meraih tanganku.
“Cin, kau pernah bilang kau mau menikah denganku. Bahkan katamu, waktu itu, kau bersedia menikah saat itu juga”
“Dulu, aku sangat ingin. Sebelum aku tahu kau sudah beristri”
“Kenapa kau mengira aku sudah beristri?”
Aku ingin menggetok kepala orang ini. Bukankah baru siang tadi dia mengatakan akan berlibur dengan istrinya? Dengan agak kasar aku menarik tanganku dari genggamannya.
“Kau jangan main-main denganku, Sam. Sekarang katakan saja apa maumu. Mana istrimu. Kenapa kau ajak aku kemari?”
“Aku tidak pernah main-main denganmu. Aku mau menikah denganmu. Istriku akan ada di rumah ini, hanya jika kau mau. Dan kau kuajak kemari, untuk kujadikan istriku”
“Jadi istri keduamu? Atau ketiga? Ke berapa? Dan kalau kita sudah menikah, istri tuamu akan menemuiku, begitu? Untuk apa? Memaki-maki aku? Atau justru untuk membantunya melayanimu?”
Sam menghela napas panjang, seolah melakukannya untukku yang benar-benar tak bisa lagi menahan diri.
“Maukah kau mendengarkan aku bicara, dan berjanji tak akan memotong, sebelum aku selesai?”
Aku mengangguk.
“Saat ini, Ayah, Ibu, kakakmu, dan adik lelakimu sudah berada di sini. Mereka sudah menunggu sejak tadi pagi. Aku sengaja meminta mereka datang. Juga Ibuku dan kedua adikku. Aku sudah mengajak mereka bicara tentang masalah ini. Tadinya mereka juga sulit untuk mengerti, bahkan adikmu mengatakan aku gila. Tapi akhirnya aku bisa meyakinkan mereka”
Sam berhenti, tapi aku masih diam karena aku tahu dia belum selesai.
“Acara kali ini, hanya untuk keluarga kita. Jika nanti kau menginginkan pesta, mengundang teman dan saudara, kita akan melakukannya. Cin, aku ingin kita menikah, sekarang. Itulah sebabnya, aku katakan istriku akan ada di sini kalau kau mau. Karena kalau tidak, aku akan pulang dari sini tetap sebagai bujangan. Jadi, maukah kau?”
Aku menutup mukaku dengan kedua tanganku. Perasaanku campur aduk tak karuan. Aku bahkan tak tahu apa yang kurasakan, atau harus merasa bagaimana. Tubuhku bergetar karena bahagia. Tapi di saat yang sama aku merasa malu karena telah mencurigai Sam membabi buta.
Sam membuka tanganku, dan menggenggam keduanya.
“Aku sudah selesai, kau boleh menjawab. Kau harus menjawab”
“Oh, Sam. Aku mau. Aku mau. Kau... kau benar-benar sinting. I hate you”
Aku memeluk Sam erat-erat, tak ingin melepaskan.

***

Matahari menyusup celah angin-angin. Hangatnya menyapu lembut wajahku, mengajakku membuka mata, menemukan Sam yang sedang berbaring miring di sampingku, menyangga kepalanya, memandangiku. Tangannya mempermainkan anak rambutku.
“Selamat pagi, Cin....”
“Sam, kamu sedang apa sih?”
“Memandangimu. Aku suka. Kau tampak tenang dalam tidurmu”, lalu dia mengecup hidungku.
Aku menenggelamkan kepala di dadanya. Merasakan kedamaian di dalam rengkuhnya. Masih terasa lagi keindahan semalam. Dimulai dari tatapan, yang diikuti sentuhan, kecupan, ciuman. Dan kami mulai menjelajah penuh keingintahuan. Mendaki bersama dalam tenang, sama sekali tak ada ketergesaan, walau kami didera penasaran. Bisikan cinta Sam di telingaku begitu menggetarkan, meski aku telah berulangkali mendengarnya sebelumnya.
“Sam....”
”Ya?”
“Terima kasih untuk semuanya”
“Kau berhak mendapatkan lebih dari yang kuberikan. Aku minta maaf hanya bisa memberikan ini”
”Kau sudah memberi lebih dari yang kuharapkan. Aku mencintaimu, Sam”
Sam mengecup rambutku lembut, “Dan kau tahu betapa aku mencintaimu”


terkait:
please deh, cin....
please deh, cin 2: pertemuan pertama
please deh, cin 3: terjebak di kericuhan
please deh, cin 4: percakapan di pagi hari
please deh, cin 5: cinta aku dan sam
please deh, cin 7: sang pengembara
please deh, cin 8: the end is the beginning is the end is the beginning...

No comments: