Saturday, September 20, 2008
"I'm getting married, Ton", I said
"In two months"
"Ah, it is still a long time to come"
Well, not to me, Ton. I'm so impatiently waiting.
"So, should I invite you or not?"
"Sure you should"
"And would you come?"
"Of course I will"
A little more conversation and I hang up the phone.
***
Toni was my ex boyfriend.
We had that relationship when we were in high school. One day we had to go to college and we went separate way, we enrolled different universities in different cities. I didn't want to break up. He was still the man I loved and wanted to get married with, that time.
But one day, for one reason, he said we could not go on. He said he was tired of long distance relationship. Well I would say he was tired of me. So we said goodbye.
I'm not a kind of girl who get my heart broken, break down and cry. My life went on. I had boy friends around me, and one day one has become my boy friend, taking Toni's place. He was the boy I was talking about, the one I was about to marry.
***
One day, on my birthday. A postman came to me and handed me a letter, from Toni.
He said (wrote): Happy birthday, dear. I just realized how empty life is without you.
I stood still. You realize some thing's worthy, when it's gone. Now that he's kicked me out, he said life is empty without me?
I had some one who loved me beside me? What he did he think I would do?
So I wrote him back, "I'm sorry, you are too late"
He said he understood, and he told me to hang on with the one I was with. But he still kept calling, and wrote me letters, and visited me.
"Can I at least have you as my sister?"
"That's fine to me"
Things went that way for years...
***
The day came, my wedding.
I kept my eye on the guests. I couldn't see Toni. But later when the event was over, and everybody was in the house, taking some rest after the tiring day, some body knocked the door.
I opened the door and found Hera, Toni's sister with a young man beside him.
"Hi, Hera. What a surprise! Come on in.." I let them come in and had seats.
After some blah blah, I finally asked Hera, the first question that crossed my mind when I opened the door for her.
"Toni, he's not coming?"
"No, he told me to say hi to you, and wish you a happy marriage"
"He asked for an invitation, and he said he would come"
"I know. But he told us, he didn't know you meant it. He thought you were kidding and he was kinda shocked to receive that. He was still hoping you both could be together again"
What do you expect me to say? Read more!
Saturday, September 13, 2008
Mesin mobil mati.
Kau memandangku, aku memandangmu.
‘Sudah?’ tanyaku
‘Sudah’
‘Belum’
Kau menghela nafas. Lalu seperti biasa membuang muka ke arah jalan, menyandarkan badan. Menarik-narik bibir dengan tangan kananmu, sementara tangan yang lain menggenggam persneling seolah tak kau biarkan dia bergerak sendiri.
Aku bosan melihatmu begitu, dan aku menaikkan kedua kakiku, memeluk dengkulku. Tapi ah, tidak nyaman banget, jadi kuturunkan lagi dan aku ikut-ikutan membuang pandangan ke arah lain.
Diam.
Ok, kau mendekatkan wajah dan mengecup pipi kananku. lalu apa, kau berharap aku pergi setelah itu?
‘Aku belum mau turun’.
Aku masih ingin lebih lama bersamamu. Kenapa waktu seperti berlari kalau kita sedang bersama?
Kau mendekatkan wajah lagi dan mengecup keningku, ‘Turunlah. Masih ada waktu lagi’
Aku menarik diri dan bersandar lagi. Tapi kali ini kau menghadap ke arahku, menatap penuh permohonan supaya aku meninggalkanmu.
Baiklah, tak enak juga bersamamu dalam suasana beku.
Aku melihat ke arah luar. Di warung itu dua orang sedang minum es teh dan sepertinya sedang menunggu pesanannya datang. Tepat di seberang jalan seseorang sedang berdiri menatap tepat ke arah mobil. Dan kulirik ke spion tampak pengemudi mobil di belakang juga sedang menatap ke depan, ke arah mobil kita.
Ah… bagaimana ini? Tidak bisa. Aku benar-benar harus pergi. Tapi… ah mbuh lah. Mungkin belum waktunya.
Aku ulurkan tangan dan kau sambut lantas kau kecup. Kutarik kau mendekat dan menyerahkan pipimu. Tak tepat, sayang. Kupingmu yang berada di depanku. Lembut kupegang dagumu untuk mendapatkan pipi. Tapi… ah, tanggung amat. Sedikit tambahan sudut putar dan bibirmulah beradu dengan milikku.
Diam, jangan mundur, karena kini erat kupegang dagumu. Bukan kecupan, entah apa merasukiku, aku mencium dalam. Sekilas. Ingin kuperpanjang tapi akhirnya kulepaskan. Membiarkan kita berdua kebingungan. Tak sanggup berkata.
Kau memandangku, aku memandangmu.
Sudah, kali ini benar-benar sudah, walau tak akan kukatakan.
Dan kubuka pintu lalu turun. Tanpa berkata-kata meninggalkanmu yang juga terdiam tak bicara. Aku berjalan cepet secepat degup jantungku yang memburu. Bertanya-tanya apa yang kau pikirkan dan rasakan.
Ah, mbuh lah….
bertahun-tahun aku menunggu...
akhirnya datang saat itu. bisakah kau bayangkan perasaaanku? bertahun, ya, bertahun kami hanya saling memandang dan bicara hal tak penting, sedang hati kami bergejolak dan mata kami mengedipkan rasa yang terpendam dalam.
keadaan kah yang membuat kami begitu? keadaan pulakah yang membiarkan dia mengikutiku dan tiba-tiba mendaratkan ciuman di pipiku?
kebahagiaan yang membuncah ketika akhirnya semua terungkap bukan dengan kata-kata. lega tak terkira laksana terbebaskan beban yang menghimpit dada. melambungkan dua anak manusia dimabuk asmara…
tahukah kau, La?
ketika hanya percik-percik itu yang ada, ketika belum terlahir semuanya, ketika hanya mata mengisyaratkan dan hati menduga, aku bahagia dengan setiap perhatian kecilnya. dan hanya sedikit demam hati melihat yang lain bersamanya .
tapi kini setelah rasa diungkapkan, aku meminta lebih dari yang pernah kuharapkan. bahkan ketika dia sudah berikan, makin lebih lagi yang aku inginkan.
dan yang menyiksa batinku adalah, kini aku merasa sakit melihat kenyataan yang sudah kutahu sejak awal, bahwa dia adalah milik seseorang…
Read more!Wednesday, September 10, 2008
please deh, cin (8): the end is the beginning is the end is the beginning....
please deh, cin....
please deh, cin 2: pertemuan pertama
please deh, cin 3: terjebak di kericuhan
please deh, cin 4: percakapan di pagi hari
please deh, cin 5: cinta aku dan sam
please deh, cin 6: istri sam
please deh, cin 7: sang pengembara
"Kau hanya menduga tanpa alasan"�, katanya.
"Benarkah?"
"Apa dasarmu?"�
"Semua SMS itu?"
"SMS yang mana?"
"Haruskah kutunjukkan satu-satu?"
"œYa, tunjukkan!"�
Kuambil handphonenya, lalu kubuka sms-sms dari satu nama. Yang berurutan, yang terselang satu-dua nama.
"So what, kamu lihat kan, isinya biasa aja. Menanyakan kabar. Konsul tentang ini itu. Wajar kan?"
"Benarkah? Kata-katanya terlalu indah untuk disebut wajar"�
"Masalahnya dia memang penulis. Bahasanya memang bahasa sastra. Aku hanya mengimbanginya"
"Aku juga penulis, tapi aku tidak pernah sms indah pada sembarang orang"
Sam tertunduk, menekur, diam, entah apa yang dipikirkan.
Dan aku mendongak, berusaha kuat, berusaha tegar. Ini bukan pertama kalinya. Aku sudah lama berada di sampingnya, dan aku mengerti sekali jiwa Sam. Dia terlalu sentimentil, peka. Dan dia mudah jatuh cinta.
"Aku sadar keadaanku, Sam. Aku sudah mulai tua, tak lagi segar. Dan mungkin juga kau mulai bosan denganku. Apa yang dulu kau lihat indah padaku, menjadi sudah biasa dan tidak isimewa. Aku juga menulis. Tapi mungkin kau bosan dengan gaya tulisanku. Kau menemukan keindahan baru dari tulisannya. Yang segar, yang misterius, yang membuatmu melayang"
"Aku tidak suka kau membanding-bandingkan diri seperti itu"
"Itu kenyataannya"
"Tolonglah, Cin, aku sendiri tidak pernah membandingkanmu dengan orang lain. Apalagi dengan orang yang belum pernah kutemui"
"�Karena kau belum pernah menemuinya, khayalanmu jadi bebas mengembara, dan kau menikmatinya"
"Cin, kau bicara apa sih?"
"Mungkin kau tidak membandingkanku dengannya. Tapi tetap saja kau menemukan keasyikan baru dengannya"
"Oh shit!"
"Aku kasihan padanya. Dia mungkin tidak tahu apa-apa, dan kau mengambil keuntungan darinya. Gadis kecil yang malang. Tapi aku juga kasihan padamu, karena bisa saja dia mempermainkanmu, atau sebenarnya sama sekali tidak peduli padamu"�
�Dan aku kasihan padamu, yang mendera dirimu sendiri dengan cemburu tak menentu"
"Aku lelah, Sam"
Sam menyentuh rambutku. Ingin kukibaskan, tapi kubiarkan. Dan meraihku. Aku memejam mata. Memelukku. Aku bersandar di bahunya. Dan aku mulai terisak.
"Maafkan aku, Cin. Kau sangat mengenalku. Aku bisa mengerti jika suatu saat kau lelah denganku. Aku memang bajingan. Tapi percayalah, ke manapun aku mengembara, kepadamu juga akhirnya aku kembali�
"Berhentilah mengembara, Sam. Kumohon. Berdiamlah di sampingku"
Sam mengeratkan pelukannya. Aku membebaskan isakku yang tertahan cukup lama, karena berusaha menjadi kuat di depannya.
Tidak ada kata-kata Sam yang mengiyakan permintaanku. Hanya diam, karena kutahu dia tak sanggup menjanjikannya. Dan dia tak mau menjanjikan apa yang tidak bisa dia berikan.
Dan aku tahu akan beginilah keadaannya, entah sampai kapan. Read more!
please deh, cin (7): sang pengembara
"Siapa dia?", tanyaku.
"Hanya seorang wartawati junior, masih magang. Jika lolos masa percobaan, dia akan jadi wartawan tetap"
"Hebat sekali, dia sanggup menahanmu di sana sehari lagi"
"Aku hanya ingin membantu dia di titik terakhir. Kasihan kan, kalau tinggal sedikit dia tidak lolos.."
"Apakah tanpa bantuanmu dia tidak akan berhasil?"
"Aku hanya ingin memastikan"
"Baik hati sekali kau. Tentu saja. Kalau sudah jadi wartawati tetap , dengan sendirinya kalian akan seatap. Apa teman-temanmu juga sepeduli itu pada para magang?"
"Kurasa iya"
"Kau tidak yakin. Apa kau juga akan sebaik itu kalau dia laki-laki, atau perempuan tapi tidak menarik hatimu?"
"Kurasa"
"Kau tidak yakin. Apa yang kau rasa tentang dia?" Read more!