Tuesday, October 14, 2008

"Bowo!"

Aku menoleh ke arah suara itu. Suara renyah yang lebih terdengar seperti suara anak umur sepuluh tahunan, meski si empunya sebenarnya seumuranku.

Dia, seperti biasa, berjalan setengah berlari ke arahku.

“Kamu bawa?”

Aku meletakkan ransel di atas motor yang baru saja kuparkir, “Pasti”, lalu mengeluarkan buku partitur yang dia pesan. Dia ingin chord ‘Endless Love’-nya Lionel Richie.

Kuulurkan buku itu padanya, tapi dia malah tertegun melihatnya, lalu menatap ke arahku dengan wajah lesu.

“Kenapa?”

“Bukunya bagus banget, Wo”

“Ya emang begini. Kenapa emang?”

Ranti terdiam sejenak, lalu tersenyum, “Aku fotocopy yang aku butuhkan aja deh. Kalau bukunya aku bawa aku takut balik ke kamu tidak dalam keadaan utuh”

“Dikerikiti tikus?”

“Hihihi… bukan. Aku pake bantal. Soalnya aku maennya di kasur, kalo capek langsung nggledak aja”.

Diambilnya buku itu dari tanganku. Kubenahi ranselku dan kami berjalan bersama menuju ruang kuliah.

***

Ranti gadis sederhana. Cuek banget dengan penampilannya. Selalu celana jins dan kemeja yang itu-itu saja. Pernah kulihat dengkul jinsnya ditempeli tensoplast.

“Habis bolong, mau nambal belum sempat. Besok deh aku tisik”

Besoknya kulihat tensoplast itu sudah dilepas, tapi tidak juga ditisik.

“Jadi kelihatan bolongnya Ran…”

“Bukankah jins makin belel makin berharga?”

***

Aku tak pernah melihatnya duduk di deretan tengah. Selalu di depan, lalu menyimak dengan serius setiap kata-kata dosen, atau sekalian di belakang dan ngobrol dengan siapa aja yang duduk di sebelahnya.

“Kalau sudah di deret ketiga ke belakang aku ga bisa nyimak dosennya, jadi mendingan sekalian aja di belakang ngobrol”

“Ga sekalian aja kabur dari kuliah?”

“Ga… kalo ngabur rugi aku ngongkos angkotnya jauh-jauh ga dapet apa-apa. Kalo duduk di belakang paling tidak masih bisa ngobrol.” Lalu dia nyengir.

***

Di ujung belakang ruang kuliah, ketika suasana masih riuh rendah menunggu dosen yang terlambat, kupergoki dia melihat ke arahku, entah sudah berapa lama. Aku tersenyum kepadanya, lalu kukerlingkan mata. Dia tampak malu lalu membuang muka. Ah, kalau saja dia putih pasti sudah terlihat pipinya memerah.

Usai kuliah dia menghampiriku, “Maksud kamu apa sih, Wo?”

“Apa?”

“Pake ngedip begitu?”

“Ga papa. Nyapa aja, habis kamu ngelihatin aku tapi diem. Kalau mau nyapa pake suara musti tereak, kamu agak jauh”

Dia memukul aku dengan buku di tangannya.

***

Aku pura-pura tepekur dengan pianoku. Tapi aku mendengar Mami dan Papi sedang bicara dengan Kak Reny.

“Kenapa harus dia Ren?”, suara mami.

“Ya ngga kenapa-kenapa, Mi. Karena memang Reny suka dia”

“Apa tidak ada temanmu yang lain yang kamu suka?”

“Banyak. Reny suka semua teman Reny. Tapi yang Reny inginkan jadi pacar Reny cuma dia”

“Pikirkan lagi, Ren. Pikirkan Papi”

Kak Reny berlari ke kamar melintasi aku yang pura-pura sedang memilih lagu untuk kumainkan.

Pikirkan Papi. Aku tahu yang Papi maksudkan, kedudukannya. Papi seorang pejabat. Pengusaha. Kak Reny membawa ke hadapan Papi seorang pemuda anak supir pabrik roti, yang ibunya berjualan pecel di depan rumahnya tiap pagi.

Mengapa hal seperti ini harus jadi masalah ketika dua orang saling jatuh cinta?

*bersambung*

No comments: