Tuesday, October 14, 2008

"Bowo!" (6)

Lobi sudah sepi. Tinggal beberapa anak semester awal yang masih setia menanti. Aku sudah selesai dari tadi, tapi aku menunggu Ranti. Dia dan Susan mendapat giliran terakhir menghadap Pak Heru.

Perasaanku tak karuan. Aku tidak tahu harus bangga atau malu dengan keputusanku yang tiba-tiba terlintas ketika tadi melihat Ranti lagi. Aku lelah mencoba tegar menjadi martir. Aku mengira selama ini aku melindung Ranti dari kemungkinan sakit hati ketika harus berhadapan dengan Papi dan Mami.

Tapi yang ada aku menyakiti Ranti lebih awal, kurasa. Dan aku menyakiti diriku sendiri. Aku tidak tahu apakah Ranti masih memikirkan aku seperti aku memikirkan dia. Aku tidak tahu apakah selama enam semester kami tidak lagi akrab, sudah ada lagi yang menyinggahi hatinya. Yang kulihat dia masih selalu bersama Susan ke mana-mana.

Aku merasa jahat, tapi aku berdoa dia masih belum menerima siapa pun menjadi pacarnya.

Pintu ruangan Pak Heru terbuka, jantungku berdegup kencang memandang ke arah itu dan melihat Ranti dan Susan keluar dengan wajah cerah. Rupanya kartu puas sudah di tangan.

Ranti melihat ke arahku dan berbisik kepada Susan, yang mengangguk, lalu pamit untuk pulang duluan.

“Kita ke kafe aja yuk”, ajakku. Ranti hanya menangguk dan berjalan mengiring di sampingku menuruni tangga menuju kafe di belakang gedung.

***

Kami duduk berhadapan, menghadapi botol coke kami masing-masing. Kikuk, aku tak tahu bagaimana harus mencairkan kebekuan yang memerangkap kami kali ini.

“Ran, aku mau minta maaf”

“Soal apa?”

Ranti, kamu tidak mungkin tidak mengerti yang kumaksud.

“Tentang perkataanku di depan perpustakaan waktu itu”

“Ah, itu sudah lama sekali. Aku sudah melupakannya”

“Aku tidak. Dan aku menyesal mengucapkannya. Aku ingin menariknya kalau bisa”

“Untuk apa? Tidak ada yang perlu disesali. Jangan khawatir, aku baik-baik saja kok”

“Tapi aku tidak. Dan aku ingin memperbaiki kesalahanku. Aku minta maaf karena telah menjadi pengecut dalam cinta kita. Memikirkan diriku sendiri, memikirkan orang tuaku, tapi aku tidak memikirkan kamu”

Ranti terdiam memandang keluar. Matanya berkaca.

“Aku pikir aku melindungi kamu dari kemungkinan buruk yang akan mendatangi kita. Tapi sebenarnya aku adalah pengecut yang tidak berani menghadapi rintangan yang harusnya kita hadapi bersama. Aku justru melepaskanmu. Aku minta maaf. Kau mungkin tidak tahu alasanku mengatakan hal itu saat itu. Aku… waktu itu… tidak berani mengungkapkannya terus terang padamu. Aku…”

“Aku tahu waktu itu kau tidak jujur Wo. Tapi saat itu aku juga belum tahu alasanmu sebenarnya. Apa pun itu, aku yakin kau melakukannya demi kebaikan. Jadi tidak pernah ada sakit hati. Kamu tidak perlu minta maaf”

Sesaat rasa lega merambatiku. Mungkinkah Ranti selama ini bersabar menunggu saat ini tiba? Sebegitukah pengertiannya? Betapa aku ternyata sama sekali belum mengenal Ranti.

“Syukurlah. Sekarang, masih mau kah kamu memberi kesempatan kepadaku?”

Ranti memandangku menahan sesuatu. Harusnya dia tersenyum bahagia. Harusnya dia berkata ‘ya’ dan memelukku. Atau paling tidak meraih tanganku. Tapi dia hanya tersenyum tipis.

“Maaf kan aku,Wo. Aku tidak yakin aku bisa”

Petir serasa menggelegar menyambarku, menyadarkanku akan harapan yang tak terwujud.

“Kenapa? Apakah sudah ada… Ah… ya ampun. Aku minta maaf. Betapa bodohnya aku mengira selama ini kamu masih memikirkan aku”

Aku malu.

“Bukan begitu, Wo. Tidak ada siapa-siapa. Hanya saja, suatu saat, aku tiba-tiba mengetahui alasanmu sebenarnya mengambil keputusan itu”

Aku memandangnya penuh tanya.

“Ya. Tanpa sengaja aku mendengar pembicaraanmu dengan Rizal tentang kakakmu, dan aku. Aku mengerti sekali. Dan itu semakin membuatku rela dengan keputusanmu”

“Ran…. Itu keputusan bodoh yang kubuat. Tolong jangan ingat lagi. Lupakan. Aku… Aku ingin kita bersama Ran. Aku tidak peduli orang tuaku. Aku akan hadapi mereka. Aku tidak akan menyerah seperti Kak Reny. Aku laki-laki, dan aku akan melindungi kamu”

Ranti menggeleng.

“Kau mungkin telah berhasil menguatkan dirimu. Tapi aku belum. Aku takut aku yang tidak akan kuat menghadapi apa yang mungkin akan menghalangi kita. Aku bukan Cinderellla yang bisa penuh percaya diri memasuki istana, dan melingkarkan tangan di lengan sang pangeran lalu berdansa dengannya. Aku hidup dengan kenyataan”

“Ran, kumohon…”

Ranti menggeleng. Menunduk dan mengusap air mata yang mulai menetes di matanya.

“Keputusanmu waktu itu sudah benar Wo. Jangan mencari masalah kalau bisa dihindari”

“Ran, aku mencintaimu”, kata-kata itu tiba-tiba terlontar karena aku tak sanggup lagi menahan perasaan yang sudah terendap sekian lama.

Tapi Ranti berdiri, memanggul ranselnya dan berkata, “Aku juga mencintaimu, dulu. Tapi aku tahu siapa aku, kamu. Aku minta maaf kalau aku tidak setegar yang kamu harapkan. Kamu akan menemukan orang lain yang tepat untukmu, sekaligus untuk orang tuamu. Dan aku juga. Terima kasih atas keterusterangan ini. Setidaknya ini membuat aku lega, karena kita sudah ungkapkan semuanya. Aku pulang dulu, Wo”.

Aku tertunduk menelungkup di meja. Botol coke-ku terguling menggelinding dan jatuh berkeping di samping kakiku.

Remuk seperti hatiku.

*TAMMAT*

No comments: