Tuesday, October 14, 2008

"Bowo!" (3)

Ranti tidak menjauhiku setelah kejadian itu. Tapi aku yang begitu. Karena berada di dekatnya mengingatkan aku tentang perasaanku, kekagumanku pada kesederhanaan yang membalut segala sisi kehidupannya. Berbicara padanya menjadi menyiksa. Karena aku tak sanggup lagi menatap matanya, lantas menemukan luka dibalik keceriaan yang tetap ditunjukkannya pada siapa saja.

Tak akan ada yang menyadari ada yang berubah pada dirinya. Tak akan ada yang melihat ada yang berubah pada diriku. Tak akan ada yang memperhatikan ada yang berubah pada kami.

Toh selama ini kami tak selalu berdua. Aku lebih sering bersama Rizal teman sekamarku, sedang Ranti lebih banyak bersama Susan, gadis keturunan tionghoa yang satu dosen wali dengannya.

Hanya kami yang merasakan, betapa jarak sekarang sengaja kami ciptakan. Aku masih sering cemburu melihat dia berdekatan dengan laki-laki. Dan karenanya aku berusaha tidak tampak terlalu dekat dengan perempuan. Aku tidak ingin mengingkari kata-kata yang kuucapkan. Meskipun mungkin sebenarnya dia tidak peduli sama sekali.

Aku tak tahu apakah dia tahu alasan sebenarnya. Aku tidak ingin dia tahu. Aku tidak tahu apa yang sekarang dirasakannya. Aku ingin tahu. Tapi kurasa sebaiknya aku tak tahu.

***

Semester demi semester berlalu. Ranti dan Susan masih terus bersama meskipun sudah memasuki semester penjurusan. Keduanya mengambil jurusan Umum. Aku sendiri mengambil Struktur. Tadinya aku menduga Ranti dan Susan juga akan mengambil Struktur, mengingat nilai-nilai mereka sangat mendukung. Tapi dalam hati aku bersyukur intensitas pertemuan kami akan berkurang, dan itu akan memudahkan aku melupakan Ranti.

Oh, benarkah? Karena nyatanya aku kehilangannya. Aku rindu sekedar melihat dia ada di kelas yang sama denganku walau tak saling menyapa. Alih-alih melupakannya, yang ada justru semakin nyata aku melihat senyum lebarnya, tawa lepasnya, langkah setengah lompatnya ketika berjalan, topi butut yang selalu bertengger di kepalanya…

***

“Wo, dapat salam”, kata Rizal begitu dia masuk kamar, sepulang dari nonton dengan Anto teman SMAnya yang kuliah di Ekonomi.

Aku sedang menyelesaikan Tugas Pelat Cangkang-ku. Rizal menjatuhkan diri di kasur.

“Siapa?”, tanyaku.

“Helen”

Aku ingat Helen. Dia satu jurusan dengan Anto. Mereka pernah main ke sini, dan kami sempat berkenalan.

“Kamu ketemu di mana?”

“Tadi dia ikut nonton bareng kami. Harusnya kamu ikut. Helen kayanya naksir kamu” Rizal menggodaku.

“Ga bisa, Zal. Aku harus assistensi ke Pak Heru besok pagi jam delapan. Setelah itu mungkin baru minggu depan lagi bisa menghadap beliau, kan beliau ambil S3 di Bandung”

“Ya deh, tapi… gimana menurutmu?”

“Soal apa?”

“Helen”

“Ah…”, aku ikut merebahkan diri di samping Rizal, “Entahlah. Aku baru ketemu satu kali dengannya”

“Kadang cinta muncul pada pandangan pertama. Kamu percaya itu?”

“Aku percaya itu bisa terjadi. Tapi kayanya bukan pada aku dan Helen”

“Bagaimana kalau Helen yang jatuh cinta padamu pada pandangan pertama?”

“Hmmm… itu bukan salahku. Aku memang mempesona”

Dan kami terbahak berdua.

*bersambung*

No comments: