Besoknya Anto datang bersama Helen ke kafe tempat aku biasa nongkrong bersama Rizal. Kelakuan Rizal dan Anto. Mereka langsung pergi dan meninggalkan Helen bersamaku.
Aku tidak bisa bilang tidak, Helen cantik. Laki-laki mana pun akan mudah menyukainya, atau mungkin bahkan jatuh cinta. Lihat saja, kulitnya yang putih dan halus tanpa cela. Hidungnya mancung, bibirnya tipis. Wajahnya dipoles make up sederhana tapi mempesona. Rambutnya yang lurus selewat bahu dicat tembaga. Pembawaannya ceria.
Tapi aku tetap bingung harus ngobrol apa dengannya. Aku hanya menanggapi sebisaku obrolannya tentang kegiatannya sebagai aktivis kampus.
Dan aku sama sekali tidak merasa nyaman bersamanya.
***
“Ayo Wo, jangan kecewakan Helen”, rayu Rizal lagi.
Aku masih enggan. Rizal mengajakku ‘double date’ malam minggu ini. Dia akan mengajak Nina pacarnya, lalu aku dimintanya mengajak Helen.
“Jangan paksa Zal. Aku… aku gak nyaman dengan Helen”
“Ah… itu kan karena kamu belum kenal betul dengannya. Cobalah jalan dengan dia sekali ini saja. Mungkin kamu akan bisa lebih santai, siapa tahu kalian cocok”
Akhirnya dengan enggan aku mengikutinya.
Rizal sengaja memilih film hantu supaya dia bisa melindungi Nina yang ketakutan kalau hantunya keluar.
“Kamu mau nonton apa Wo?”, tanya Helen.
“Terserah kamu saja”, aku benar-benar sedang tidak ingin nonton sebenarnya.
“Bareng Nina aja ya?”
Aku mengangguk.
“Nanti kalau aku ketakutan, boleh aku nyungsep di kamu?”, tanya Helen lagi, menggoda.
Aku hanya tersenyum, malas.
Nyatanya hanya Nina yang berkali-kali nyungsep di pundak Rizal. Helen sama sekali tidak tampak takut dengan hantu-hantu yang gentayangan di layar. Aku sendiri, pikiranku sedang tidak di sini. Berkelana ke mana-mana.
Sampai suatu detik ketika kurasakan tangan Helen menyentuh tanganku, lalu menggenggam. Ingin kutarik, tapi aku tak mau Helen malu, jadi kubiarkan. Hanya saja aku diam, tak menanggapi setiap gerakannya.
Aku berangan, seandainya saja Ranti yang ada di tempat Helen saat ini.
***
Hari ini Papi ada kunjungan kerja di sini. Seperti biasa Mami ikut, dan singgah ke kosku untuk menemui anak kesayangannya ini.
Rizal baru saja akan pergi dengan Nina ketika Mami datang.
“Maaf Tante, tidak bisa menemani ngobrol agak lama. Saya harus antar Nina”, pamitnya kepada Mami.
“Iya, Zal, ngga papa. Tante juga ngga lama kok. Jam lima nanti Papinya Bowo juga harus terbang ke Jakarta lagi.”
“Sebenarnya Bowo juga ada janjian dengan Helen, Tante. Tapi dia batalkan karena Tante datang”
Sialan, Rizal ngibul. Aku melotot ke arahnya, Nina senyum-senyum saja di sebelahnya.
“Helen? Kenapa dibatalkan?”, Mami bertanya penuh keingintahuan.
“Iya Tante. Bowo lagi pendekatan sama Helen. Mungkin nanti kalau mereka sudah jadian baru berani kenalin ke Tante. Anaknya cantik Tante, baik lagi. Tante pasti cocok deh!”
“O ya?”, Mami makin penasaran, dan aku makin ingin menggampar Rizal.
“Sudah sana pergi”, hardikku, “Aku mau berduaan sama Mamiku”
Rizal tertawa, menjabat tangan Mami lalu pergi.
Mami memandangku, mungkin ingin mendengar lebih jauh tentang Helen. Tapi aku langsung pura-pura sibuk membongkar bawaan Mami: aneka makanan dan lauk kering.
***
Bulan berikutnya aku pulang. Kak Reny juga di rumah. Kami sedang berkumpul di ruang tengah sibuk sendiri-sendiri, membiarkan presenter acara gosip di tivi juga bicara sendiri.
“Jadi kapan kamu akan kenalin Helen ke Mami?”, tanya Mami tiba-tiba.
Aku diam sejenak sebelum menjawabnya.
“Sepertinya tidak akan pernah”
“Kenapa? Dia menolak kamu? Kamu tidak berhasil mendekati dia? Kenapa? Kurang apa kamu katanya? Dia cari yang bagaimana?”, Mami sampai meletakkan bukunya dan mencondongkan badan padaku.
Kak Reny tertawa melihat wajah Mami yang seperti terluka mengira anaknya ditolak gadis.
“Bukan Mi… Rizal itu membual. Bowo tidak pernah mendekati Helen. Cuma Rizal dan teman-teman saja yang menjodoh-jodohkan kami. Tapi Bowo… tidak sreg”
Mami duduk bersandar lagi mengatur nafas, seolah lega bahwa ternyata bukan anaknya yang tidak laku.
“Sebenarnya”, lanjutku,”ada yang ingin Bowo kenalkan pada Mami dan Papi”
“Oh ya? Kenapa tidak?”
“Karena Bowo masih ragu Mami mau punya calon besan pensiunan guru esde dari desa pelosok”
Aku melihat mata Mami terbelalak, dan Kak Reny menunduk menekur majalahnya. Aku sendiri berdiri beranjak ke kamar, pembicaraan mulai tidak menyenangkan…
No comments:
Post a Comment