Siang itu lobi lantai tiga di depan ruang dosen terasa seperti ruang tunggu dukun alternatif yang bisa menyembuhkan segala penyakit. Kursi yang dipasang sepanjang dinding di kanan kiri lobi penuh. Di sekitarnya, setiap celah dinding disandari mahasiswa. Masih belum cukup, beberapa orang luber duduk dan bersandar di tangga. Membawa setumpuk lembaran tugas, atau menggendong tabung tempat menyimpan gambar mereka. Duduk, diam, mengobrol, atau membenahi lagi tugas mereka di detik-detik terakhir sebelum maju asistensi.
Minggu depan sudah ujian. Semua orang berburu kartu puas yang akan jadi syarat ikut ujian beberapa mata kuliah. Entah kenapa, selalu begini keadaannya. Kalau belum mepet waktu, dosen sulit sekali ditemui. Dan setelah mendekati deadlline, baru mereka mau ditemui. Padahal pasien mereka banyak sekali, mengingat satu dosen bisa saja mengampu beberapa mata kuliah.
Aku lelah berdiri bersandar di samping pot tanaman entah apa namanya ini, lalu merosot dan jongkok. Tapi tak bertahan lama. Jongkok lebih melelahkan, dan akhirnya kuletakkan pantatku di lantai. Tak peduli kotornya. Berdasarkan daftar antrian yang ditempel di pintu ruang Pak Agil, giliranku masih tiga orang lagi. Dan Pak Agil terkenal teliti, satu orang bisa setengah jam. Kabarnya Galih dan Amru tinggal minta tanda tangan kartu puas saja, jadi paling lama sepuluh menit.
Kecuali tiba-tiba dia kesambet dan memutuskan meneliti lagi pekerjaan mereka, lalu menemukan sesuatu yang harus dibahas lagi…
Sialan. Tiba-tiba jantungku berdegub tak karuan.
Ranti dan Susan berjalan menaiki tangga sambil membahas sesuatu di bagian akhir tugas mereka.
“Gimana sih, San? Bentar-bentar sini, punyaku kebalik atau gimana?”
Keduanya langsung mengelesot di pojok lobi, tak jauh dari tempatku duduk. Tapi mereka terlalu sibuk untuk menyadari kehadiranku. Untuk beberapa saat mereka berdiskusi. Dan aku, aku puaskan diri memandangi yang kurindui.
Ranti membetulkan lagi beberapa hitungan, disesuaikan dengan yang dituturkan Susan, seperti arahan dosen ketika Susan menghadap sebelumnya.
“Susan!”, sesorang memanggil dari lorong di seberang lobi.
“Eh, bentar ya Ran. Jayus manggil tuh, kayanya dia mau bicarakan soal kegiatan Mahasiswa Katolik lusa malam. Udah bisa kan?”, Susan pamit kepada Ranti.
Ranti cuma mengangguk tanpa menoleh ke arah Susan sambil komat-kamit dan terus melanjutkan pekerjaannya.
Aku berdiri perlahan menghampirinya.
“Hai”, sapaku lirih, tak ingin mengejutkan.
Ranti mendongak. Aku bisa lihat dia agak terkejut.
“Hai…”
Tapi aku heran dia tampak tenang, sedang aku malah gugup.
“Maju siapa?”, tanyaku basa basi.
“Pak Heru”
“Beton?”
Dia mengangguk, “Eh, bentar ya. Ini ada yang harus kubenerin. Emmm… ga papa kan?”
“Ga papa lah. Saat ini kita semua sedang diburu. Jahat kalau aku ngajak kau ngobrol di saat genting begini”
Ranti tersenyum lalu sibuk lagi. Aku diam di sebelahnya. Memandangi. Bertanya-tanya lagi apa yang dipikirkannya. Tapi aku merasa sakit hati sendiri, sepertinya dia benar-benar tenggelam dengan tugasnya dan tidak terusik sama sekali dengan kehadiranku.
Amru keluar dari ruang Pak Agil dan memanggilku, “Wo, kamu”.
Sialan Pak Agil. Cepat amat si Amru diberi kartu puas. Aku jadi harus meninggalkan Ranti sebelum sempat bicara apa-apa. Agak ragu aku beranjak. Aku sendiri belum tahu apa yang ingin kubicarakan dengan Ranti. Aku hanya ingin bicara lagi dengannya.
“Buruan…. “, Amru mengingatkan.
“Eh.. ya. Ehm… Ranti. Aku ingin ngobrol dengan kamu setelah selesai ini, kalau boleh”
Ranti memandangku seperti tak percaya. Diam, tapi aku tahu dia bertanya, untuk apa, tentang apa, kenapa, dan mungkin masih banyak lagi pertanyaan lainnya.
“Kalau boleh”, ulangku.
Dia hanya mengangguk. Aku bergegas berjalan untuk masuk ke ruangan Pak Agil, tapi sesaat aku balik ke Ranti lagi, “Please ya. Kalau aku selesai duluan aku akan tunggu kamu. Kalau kamu yang selesai duluan, tunggu aku ya”
Ranti mengangguk lagi.
*masih bersambung, satu lagi deh!*
No comments:
Post a Comment