Wednesday, May 21, 2008

Bapak

Seingatku Bapak adalah orang paling gesit sedunia. Dia jago pingpong, sekaligus jago badminton. Suatu perpaduan yang aneh, karena teknik keduanya sangat berlainan. Pingpong tak perlu banyak tenaga, sedang badminton sebaliknya. Pingpong lebih ke memantulkan dengan mengarahkan, badminton benar-benar memukul. Pemain pingpong akan kesulitan menyeberangkan shuttlecock melewati net, dan pemain badminton akan melemparkan bola pingpong jauh melampui ujung meja. Tapi Bapak tidak, Bapak bisa dua-duanya. Aku hanya bisa pingpong, tidak berhasil menguasai keduanya seperti Bapak.

Bapak paling gesit sedunia. Masih kuingat ketika Bapak berlari mengejar bola tennis ke sana kemari. Melambungkannya, memukulnya, dan tertawa baik dia berhasil atau mengacaukannya. Melepaskan penat dengan berteriak, berlari, memukul, menghajar, melompat, dan bahkan berguling di tengah lapangan.

Bapak paling cerdas sedunia. Nilai ijazahnya bagus semua, kecuali seni suara. Kata Bapak, ketika ujian baca not balok, hanya ‘matematika’nya yang bekerja. Dia membaca dengan tepat setiap sebutan dan ketukan nadanya, tapi salah nembak nadanya. Pengetahuannya sedunia. Dan selalu ingin lebih tahu. Dia menyebut dirinya orang yang belajar secara horizontal... tidak vertikal. Dia belajar banyak hal, tidak terpaku pada satu hal. Tapi katanya, itu membuat Bapak tidak benar-benar memahami secara mendalam tentang satu hal.

Bapak paling tenang sedunia. Aku hanya bisa mengingat satu dua marahnya. Bapak hampir tidak pernah marah. Hanya ketika marah, Bapak akan sanggup membuat semua orang gemetar, atau kaku hingga tak sanggup berkata-kata. Bapak selalu menasehatiku dengan benar-benar menasehati, tanpa nada menyalahkan atau menghakimi. Memilih saat berdua saja sehingga tidak membuatku merasa malu atau dipermalukan karena terlihat salah di depan orang lain.

Bapak pekerja keras sedunia. Sebagai guru Bapak sempat mengajar di 9 sekolah negeri dan swasta. Bapak berangkat jam setengah enam dengan vespa hijaunya, ke SMA di kecamatan tetangga. Lalu jam-jam siang hingga malamnya untuk sekolah-sekolah di kecamatan tempat kami tinggal. Dan Bapak baru akan pulang jam sembilan, untuk melanjutkan dengan melukis, ketika dia masih punya tenaga. Di akhir tahun ajaran, Bapak akan menulis mengisi Ijazah murid-murid yang akan lulus, demi sekian rupiah perlembarnya. Hingga larut malam. Tidak boleh salah, dan tulisan Bapak sangat indah...

Bapak paling indah sedunia. Aku masih ingat malam-malam ketika Bapak duduk memegang palet dan kuas, menghadapi kanvas di atas tripodnya. Mencoretkan cat minyak, melukis. Aku duduk di sebelahnya menunggui, tanpa berkata. Atau Bapak akan memberikanku sepotong triplek sisa gergajian Pakde Surad, dan kuas kecil serta sedikit cat minyak. Dan aku berlagak seperti Bapak, melukis dengan gayanya. Mencoret, memandang, menyapu, memandang lagi. Lalu pura-pura puas dengan hasil lukisanku, lalu menjualnya, seperti yang Bapak lakukan. Aku sedih karena semua lukisan Bapak dijual, meskipun memang Bapak melukis untuk menjualnya. Tapi tak ada yang bisa kusimpan dari kenangan Bapak sebagai pelukis...

Bapak paling indah sedunia. Kami sering duduk di atas tikar di halaman di malam bulan purnama, atau bahkan ketika tak ada bulan sama sekali. Bapak pendongeng terindah. Dongengnya dari yang lucu sampai yang sendu. Tentang binatang, orang, wayang. Semua dongeng dan kisahnya selalu membuat aku terdiam, terpaku, terpesona. Bapak mengajariku 11 tembang macapat. Dan setiap tembangnya, diceritakan maknanya, atau kisah di belakangnya. Aku paling ingat tembang Asmaradana yang Bapak ajarkan padaku, yang mengisahkan Damarwulan yang sekarat setelah bertarung dengan Minakjingga. Aku bahkan masih bisa menembangkannya untukmu, saat ini juga.

Bapak paling disiplin sedunia. Yang tak pernah membiarkan kami meninggalkan sholat. Yang selalu mengingatkan untuk mengaji, belajar. (Maafkan aku Bapak, karena aku bukan anak yang rajin belajar...) Yang tak pernah bosan mengingatkan: sholat shubuhmu Ndhuk... dijaga.. jangan sampai kesiangan....

Saat ini jika kupandangi Bapak, trenyuh saja yang ada. Kemampuan pandangan matanya jauh dari sempurna, dan lebih dekat kepada buta, karena terkena glaukoma yang sudah sangat parah. Berjalan lambat ke mana-mana, bukan karena tak lagi bertenaga, tapi karena Bapak tak bisa melihat dengan jelas apa yang ada di sekitarnya. Beberapa bulan yang lalu orang tak akan terlalu bisa melihat kesulitannya. Tapi akhir-akhir ini, Bapak sudah tak bisa lepas dari tongkatnya. Bukan untuk menyangga tubuhnya, tapi untuk meraba apa yang akan dipijaknya....

Pagi ini ketika aku mengantar Bapak menunggu bis yang akan membawanya pulang setelah menginap semalam di rumahku, si kondektur berteriak, “Gak pake lama! Gak pake lama!”. Ingin kumaki rasanya. Tak dilihatkah aku menuntun Bapak yang tertatih, berusaha menyusul Ibu yang sudah lebih dulu berada di atas bis. Aku bahkan tak sempat menyalami dan mencium tangannya...

Apa yang bisa kuberikan pada Bapak. Yang telah membuatku seperti sekarang. Dengan segala jungkir-baliknya. Seakan tak akan pernah cukup apapun yang kulakukan untuk membalas pengorbanan Bapak. Segala prihatin yang dilaluinya. Dan aku merasa tak pernah bisa menjadi orang tua sehebat Bapak...

Aku hanya berusaha memberikan apa yang Bapak inginkan saat ini, selagi aku bisa memenuhinya. Hal-hal sepele yang mungkin serasa mengada-ada dan merepotkan. Minta dibelikan ini atau itu, minta diajak ke sana atau ke sana. Sama sekali bukan apa-apa.

Bagaimana aku berterima kasih, Bapak?

2 comments:

ummi said...

La Tree,
Saya begitu tertarik dengan nukilan La Tree. Meskipun tidak pandai menulis dalam Bahasa Melayu, saya ingin mencuba. Namun belum cukup berani untuk memulakannya. Syabas, dan teruskan menulis.
I have a great father too, but he is gone now. So cherish yours and never ever do things that you will regret, meskipun dengan mengata 'ah' :-)

latree said...

terima kasih