Wednesday, May 21, 2008

menunggu

Kegelisahannya semakin memuncak. Entah sudah berapa kali dia duduk, berdiri, duduk lagi, berdiri lagi. Di tepi kasur, di kursi makan, di ruang tengah, di kursi tamu. Mondar-mandir dari kamar, ke dapur. Lalu ke kamar lagi. Menyalakan tv, ditinggal termangu di jendela depan. Lalu kembali ke kamar, mematikan tv. Duduk.
Dipandanginya telpon genggamnya. Tidak berbunyi. Tidak ada panggilan ataupun pesan. Setiap lima menit sekali diceknya. Tentu saja tetap tidak ada, karena kalau ada pasti terdengar bunyi ringtonenya. Dia jadi ragu apakah telponnya itu rusak. Di matikannya, lalu dibuka casingnya. Diambil baterainya, chipnya. Dibersihkan walaupun tidak kotor. Dipasang lagi, dihidupkan. Lalu dicek lagi setiap lima menit, seperti tadi. Dan hasilnya masih sama saja.
Diraihnya novel yang baru dibelinya beberapa hari yang lalu. Ada saat membaca bisa membunuh waktu. Tapi tak jarang sama sekali tidak membantu. Seperti saat ini. Jarinya telah menyibak beberapa lembar, tapi kemudian dia tersadar bahwa tak ada sama sekali yang masuk ke kepalanya. Lewat pun tidak. Lalu dia mengulang lagi ke titik terakhir jalan cerita yang diingatnya. Begitu berulang-ulang. Matanya membaca tapi hati dan pikirannya berkelana...
Diliriknya jam dinding yang dipasang di dinding selatan ruang tengah, tempat dia duduk sekarang. Kenapa jarumnya serasa tidak bergerak? Apakah dia rusak? Lalu dilihatnya jam tangannya, sama persis. Jam di telepon genggamnya, hanya lebih dua menit, deviasi yang masih termaafkan. Jadi jam itu tidak rusak, tidak mungkin semua jam di rumah ini rusak.
***
Dina menyadari siapa dirinya. Di mana posisinya. Bagaimana keadaannya. Ini adalah pilihannya, dan dia sangat mengerti konsekuensinya.Dina juga menyadari siapa Juna. Di mana posisinya. Bagaimana keadaannya. Dan ini juga sudah menjadi bagian dari pilihannya.
Juna sendiri pernah mengingatkan Dina tentang semua ini.
“Aku hanya ingin memastikan kau mengetahui keadaannya”
“Aku sudah tahu, Jun. Semuanya”
“Bukan hanya tahu. Kau harus mengerti”
“Aku mengerti”
“Dan pilihan yang kita buat ini, konsekuensinya...”
“Itu aku juga mengerti, dan aku siap menghadapinya”
Juna memandangi wanita di hadapannya. Ada kesedihan, kepasrahan, harapan, dan cinta yang tak terkira. Dina memandangi lelaki di hadapannya. Ada iba, perlindungan, janji, dan kasih sayang yang berlimpah.
“Aku hanya ingin kau bahagia, Din. Jika ini justru membuatmu menderita, aku tidak akan melakukannya”
“Kenapa kau pikir aku akan menderita? Kebahagiaanku mungkin tidak sempurna. Tapi kalau kau tinggalkan aku, kau justru akan merenggutnya, dan tak akan ada lagi yang tertinggal untukku”
Komunikasi mereka berdua tak pernah berhenti. Juna menelpon dan mengirim sms setiap saat. Dari canda hingga keluhannya. Dari rayuan hingga marahnya. Tidak... Juna tidak pernah marah. Mungkin pernah, tapi tak pernah benar-benar ditunjukkannya. Dia selalu berkata, ‘Nggak papa...’. Dina lah yang terkadang merajuk. Tapi Dina selalu mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak, karena itu adalah bagian dari konsekuensi atas pilihannya. Juna juga tidak pernah mengingatkannya akan hal itu.
Dina tahu persis siapa Juna. Kesibukannya sebagai pengusaha membuat semakin sulit bagi mereka untuk sering berjumpa. Karena bahkan untuk istri pertamanya pun, waktunya sangat terbatas. Juna menjalankan bisnisnya dari Jakarta, sedangkan istri dan tiga anaknya tinggal di Yogya. Juna tidak pernah berada di satu tempat yang sama dalam sehari. Pagi hari dia di Ciputat, siang hari dia menelpon ketika sedang makan siang di Bandung. Menjelang maghrib, smsnya memberitahu bahwa dia sedang perjalanan ke Bogor. Menjelang tengah malam ketika Dina mengucapkan selamat malam, Juna mungkin sudah di Jakarta lagi, sedang bersiap untuk meeting esok hari.
Tapi berjumpa secara fisik, Dina harus menerima betapa waktu Juna untuk bertemu dengannya hampir tidak ada. Penantiannya berhari-hari, kadang harus cukup terbayar dengan satu atau dua jam bersama. Dan Dina menerima semua itu.
***
Seperti hari ini. Penantiannya selama tiga minggu semestinya harus berakhir beberapa jam yang lalu. Juna sedang ada meeting di Bogor. Katanya sebelum terbang ke Yogya dia akan menemuinya. Kalau Juna katakan sedang meeting, Dina tak akan berani menghubunginya. Toh kalau Juna sudah selesai, dia akan memnghubungi Dina sesegera mungkin.
Tapi ini sudah empat jam sejak sms Juna yang terakhir sebelum meeting. Dina ingin menghubungi Juna sekarang, khawatir dia lupa. Tidak, Juna tidak pernah lupa. Tapi empat jam... belum pernah Juna meeting selama ini. Dina tidak mau membuat Juna marah. Tidak, Juna juga tidak akan marah. Paling-paling dia hanya akan menjawab singkat: Masih meeting, bentar ya, nanti aku hubungi. Luv you.
Tiba-tiba Dina terlonjak oleh getar telepon yang digenggamnya. Juna! Bukan. Itu Ibunya. Bukan tak senang mendapat telepon dari Ibunya, tapi dia sedang mengharapkan Juna.
“Halo, Dina?”
“Halo Ibu”
“Ibu habis belanja di Pasar Minggu. Ini sudah mau pulang, Ibu mampir ke tempatmu ya?”
“Jangan sekarang, Ibu..”
“Kenapa? Ah... ada Juna?”
“Mm... iya...”
“Ibu juga ingin ketemu Juna”
“Kan sudah pernah Bu...”
“Itu sudah sejak kapan?”
“Bu, bukannya aku egois. Tapi waktu Juna buat aku sendiri cuma sebentar. Nanti jam lima dia harus berangkat ke Yogya. Kalau Ibu di sini aku tidak bisa...” Dina pura-pura malu melanjutkan kalimatnya.
“Iya... Ibu mengerti. Kalau begitu Ibu langsung pulang aja ya?”
“Iya. Maaf ya, Bu. Nanti kalau Juna sudah pergi, aku akan mengunjungi Ibu. Aku janji”
“Ngga harus sekarang juga”
Hening sejenak.
“Din, Ibu senang Juna mengunjungimu”
“Maksud Ibu apa?”
“Kau tahu maksud Ibu, nak. Ibu sudah khawatir kalau Juna tidak membagi waktu untukmu. Ibu tidak bisa membayangkan keadaanmu kalau kamu ditelantarkan”
“Ibu bicara apa sih? Tidak ada yang ditelantarkan. Ibu mau bicara sama Juna?”, jantung Dina berdegup sekencang-kencangnya ketika menawarkan ini. Dia takut Ibunya mau. Tapi dia tahu juga bahwa ibunya akan berkata,
“Tidak usah, sampaikan saja salam Ibu buatnya. Baik-baik ya?”
“Ya, Bu”.
***
Dina menghela nafas panjang, lega. Direbahkannya tubuhnya di kasur. Lalu ia meringkuk memeluk telepon genggamnya. Air mata yang dia tahan selama bercakap dengan ibunya, tumpah seketika. Berbohong menutupi kepedihannya, lebih pedih dari kepedihan sesungguhya.
Tidak, Bu. Juna tidak di sini. Aku hanya sedang menunggunya datang. Dan aku tidak ingin Ibu melihat anakmu seperti ini. Kalau bukan karena cintaku yang besar kepada Juna, aku akan menyebut semua kemauanku untuk bertahan ini, sebuah kegilaan...
Ibunya sama sekali tidak akan rela anaknya ditelantarkan. Ini juga sudah dibahas sebelumnya. Dia hampir tidak mendukung keputusan Dina menjadi istri Juna.
“Jadi istri kedua itu berat, nak. Apalagi tanpa sepengetahuan istri pertamanya”
“Aku tahu, Bu. Tapi aku tidak akan menuntut banyak. Juna juga tidak akan mengurangi hak untuk istrinya. Aku tidak ingin menyakiti perempuan lain. Aku siap dengan semua yang akan kutanggung karena pilihan ini”
Dan ibunya hanya memeluknya.
***
Suara pintu diketuk membuyarkan pikiran Dina tentang Ibunya. Buru-buru diusapnya airmata dengan tisu. Juna tidak boleh melihatnya menangis. Beberapa langkah ke arah depan, Dina balik lagi ke kamar mandi. Ini tidak cukup dilap dengan tisu. Dina membasuh mukanya, lalu bergegas ke depan untuk membuka pintu.
Dan inilah yang ada di depan matanya. Seorang anak muda yang membawa buket bunga untuknya.
“Ibu Dina? Ada kiriman dari Bapak Arjuna”, senyumnya seolah turut berbahagia atas kiriman bunga yang penuh cinta.
“Terima kasih”, dan dibawanya bunga itu ke dalam. Dibacanya kartu yang diselipkan di antara tangkai-tangkainya: ‘untuk pelangiku, dengan sayang sepenuhnya, Juna’.
Dengan penuh tanya, ragu, kecewa dan harap yang bercampur aduk dalam hatinya, Dina meletakkan buket bunga itu di gelas besar yang diisi air. Dina tak punya vas. Ini baru pertama kalinya Juna mengirimkan bunga.
Dering telepon, kali ini dari Juna. Dina memandang jam dinding sebelum mengangkatnya. Jam 16.20. Jam lima nanti pesawat yang akan membawa Juna menemui anak dan istrinya berangkat. Apakah Juna sudah berada di ujung gang? Atau justru sudah di depan pintu, dan menelpon untuk menggodanya?
“Halo”
“Halo, Dina, sayang”, suaranya terdengar lelah.
“Aku menunggu, lama sekali meetingnya”
“Iya. Aku juga agak kesal ni. Meetingnya alot banget. Baru saja selesai, dua jam lebih lama dari yang kuperkirakan. Tadinya aku pikir bisa menemuimu sebelum ke bandara, tapi sekarang sudah hampir setengah lima. Pesawatku boarding jam lima. Sekarang aku sudah di jalan tol. Maaf, aku tidak bisa datang. Tadi aku sempat memesan.... halo... Din?”
“Ya... ya Jun. Aku dengar. Kiriman bungamu sudah datang barusan”
“Oh ya? Cepet banget. Suka?”
“Suka. Bagus. Aku sempat kaget menerimanya. Kamu belum pernah melakukan ini sebelumnya. Makasih ya”
Terdengar nafas lega Juna di seberang. Sepertinya dia mengira Dina menganggap hal yang barusan dilakukannya itu romantis sekali.
“Sukurlah, aku harap dia bisa menggantikan kehadiranku yang urung kali ini. Aku minta maaf. Lain kali aku usahakan datang”
“Tentu. Selamat jalan. Hati-hati ya...”
“Aku akan menelponmu lagi nanti”
“Ya, jangan lupa”
“Din, aku menyayangimu”
“Aku tahu, da..”
Dan aku mencintaimu, Juna, sangat mencintaimu.
Dina menutup telponnya. Menutup matanya rapat-rapat agar air matanya tidak mengalir. Tapi tak ada gunanya. Inilah kepedihan yang sesungguhnya. Dina sungguh takut bahwa dia harus membeli vas bunga, jika setelah ini Juna akan sering menggantikan kehadirannya dengan rangkaian bunga...
***
Sekali lagi Dina bercermin, memastikan tidak tampak bekas tangis di kelopak matanya. Dia sudah menyiapkan senyum paling bahagia untuk ditunjukkan kepada ibunya.
“Halo, Ibu. Juna sudah berangkat. Aku akan ke sana sekarang”
“Apa Juna akan mengantarmu?”
“Tidak, Ibu. Arah jalan kami beda. Juna bisa ketinggalan pesawat kalau harus mengantar aku dulu. Aku akan naik taksi”
“Baiklah, Ibu tunggu”
“Aku berangkat sekarang. Oh iya, Bu, Juna titip salam hormat untuk Ibu”

*(bukan aku bangeeeeeeeeeeeeeeet....................!!!!!!)

No comments: