Sendiri aku bertelanjang kaki berdiri di atas pasir di pinggirannya. Kali ini aku berdiri agak jauh, tidak seperti biasanya ketika kubiarkan debur ombaknya menghempas hingga ke dada. Tapi aku masih ingin merasakan ujung lidahnya menjilat, dan mengikis sedikit pasir di bawah telapak kakiku, hingga aku hilang sedikit keseimbangan dan membetulkan pijakanku.
Tak pernah jemu aku menghirup segar aroma garamnya, dan merasakan hembusan anginnya yang kian sore kian kencang mengibarkan rambutku. Mulai dingin. Kurapatkan jaketku dan kusilangkan tangan di depan dadaku. Mataku menatap jauh ke ujung cakrawala.
Hey, apakah cakrawala itu ada ujungnya? Kata Bapak, cakrawala itu setinggi mata kita. Kau pandang lurus saja, dalam segala posisi kau akan mendapatinya setinggi mata. Tadinya kupikir itu hanya teori ketika kita akan melukis. Tapi tidak. Aku sudah mencobanya. Ketika aku berdiri, maka ia setinggi mataku. Dan orang-orang yang berdiri di sekitarku, maka tinggi mata mereka kurang lebih segaris dengan sang garis cakrawala. Dan ketika aku jongkok, maka cakrawala itu setinggi mataku, dan orang-orang yang berdiri, tinggi mata mereka berada di atasnya.
Sore ini agak mendung, dan aku tidak begitu jelas melihatnya. Hanya karena aku telah bertahun-tahun hidup di sini, aku bisa mengira-ngira di mana ia. Sesaat lagi ketika matahari mulai terbenam, akan terlihat garis yang membiaskan bola cahaya merah itu. Atau memantulkannya di atas riak ombak lautnya? Dan semburat warna oranye, ungu, biru menghiasi langitnya. Aku kadang menambahkan sedikit hijau di kanvasku, dan Bapak bertanya kenapa ada kehijauan di situ? Sedikit sisa kuning matahari bercampur dengan sisa biru langit siang hari, kataku.
Seperti beberapa waktu yang lalu, entah untuk ke berapa kalinya, sore ini lagi-lagi aku tiba-tiba ingin berlari ke sini. Merasa aku akan menemuimu sedang menunggu. Kutinggalkan begitu saja palet dan kuas di lantai, bahkan agak terlempar ke bawah kaki tiga yang menyangga lukisan setengah jadiku. Tapi kau tak ada. Dan anehnya, aku sama sekali tidak kecewa.
Bukan juga lega. Dan bukan pula tersadar bahwa memang tidak seharusnya kau ada. Perasaan itu begitu kuat, membawaku kemari. Seolah kau telah menjanjikan hari ini akan datang menemuiku di sini, membawakan coklat yang aku pesan. Aku tahu, dan kaupun tahu, betapa sesungguhnya aku sama sekali tidak peduli apakah kau akan membawakan coklatku atau tidak. Aku hanya ingin kau datang....
Itu dia... matahari mulai tenggelam menghilang. Tak ada lagi warna kehijauan di sudut-sudut bidang langit. Hanya tersisa rona jingga kemerahan yang lama kelamaan menjadi kelabu, dan kelam. Kupandang langit dan berharap melihat bintang, seolah dia adalah kau yang menyapaku dari kejauhan. Dan mengerling, menjanjikan bahwa suatu saat kau akan datang. Tapi mendung tak membiarkan hampaku sedikit terobati menemukannya.
Kubalikkan badan, memandang sebentar ke lautan. Dan pulang. Setelah ini, entah berapa kali lagi aku akan berlari ke sini tanpa ada kau kudapati. Sudah dua tahun. Tapi aku tak peduli. Aku tahu kau akan datang. Aku tahu....
Yogya Trip with Aik
4 years ago
No comments:
Post a Comment