Tuesday, May 27, 2008

kau buka pintu dan kau biarkan aku masuk

Walaupun ada sedikit ragu, akhirnya aku beranikan diri melangkah masuk dan duduk.
“Kopi?”, kau bertanya.
Aku menggeleng, “Kau tahu aku tidak minum kopi”
“Susu? Aku masih punya susu cair di kulkas, hangat atau dingin?”
“Dingin aja. Ultra, atau Indo?”
“Indo, coklat”
“Enak, terima kasih”

Jadi kau tuangkan segelas dan kau berikan padaku. Untuk beberapa saat aku hanya terdiam memandanginya.
“Ngga suka?”
“Oh, suka”, lalu mulai kuminum, sampai tetes terakhir.
Lagi, kupegang dan kupandangi gelas kosongku. Berdua kita terpaku dalam diam.
“Aku senang kau datang”, kau coba memecah keheningan.
“Aku juga. Kau tak tahu betapa”

Kau ambil gelas dari tanganku dan membawanya ke dapur, aku mengikutimu. Di sana, di dekat kulkas aku berdiri melihat kau meletakkan gelas di wastafel. Harusnya kulakukan sendiri. Aku tidak mau menjadi tamu di sini. Sama sekali tidak mau.
“Kau mau memasak untukku?”, kataku.
“Kau mau aku masak apa?”
“Apa aja. Kau yang pintar masak, bukan aku.”
Lalu kau berjalan mendekati kulkas. Aku minggir sedikit, tapi masih bisa kurasakan sikumu menyentuh tanganku, dan sesaat dadaku berdebar.
Kau buka kulkas, melongok ke dalam, dan mengeluarkan sesuatu.
“Ngga ada apa-apa. Cuma ada kentang. Tau apa yang bisa kubikin dari ini?”
“Baked potatoes with cheese and chili?”
Kau mengangkat bahu, “Apa lagi? Sial, aku bahkan tidak punya brokoli. Bukan sesuatu yang enak untuk makan malam”
“Jangan khawatir. Gak masalah”

Lalu kubantu kau membungkus kentang dengan aluminium foil. Oh Tuhan, dadaku serasa penuh dengan bass drum yang berdebam-debam dan ingin melompat keluar. Aku berusaha tidak melihatmu karena aku tahu aku tidak akan bisa mengendalikan diri. Kita berdua sibuk dengan kentang, pisau, keju, foil, microwave.... Bahkan hingga kentangnya sudah masuk microwave, kau dan aku berdiri saja berdampingan tak berkata-kata. Melihat ke arah microwave, menunggu bunyi beep . Sama sekali bukan kentangnya yang ada dalam pikiranku, entah apa yang kaupikirkan....

beep beep beep beep

Kau ulurkan tangan, kupikir akan membuka microwave dan mengeluarkan kentangnya. Tapi aku salah. Kau meraih tanganku. Aku memandangmu dengan pertanyaan mencecar di kepalaku, sedang kau memandangku dan menjawab pertanyaan tak terdengarku, dengan pertanyaan yang terucap,
“will you stay for a night?”
***
Untuk sesaat aku terpaku, apa yang kauharapkan kukatakan? Tapi cepat-cepat kutarik tanganku. Detik selanjutnya aku menyibukkan diri membuka-buka rak mencari piring. Ya, tentu akan lebih mudah bagiku bertanya padamu. Dan tanganku yang gemetar membuatnya lebih sulit lagi, seluruh tubuhku bergetar... Tapi kubiarkan kau diam menunduk bertelekan tangan di meja. Begini akan lebih baik.

Ini dia, dan hati-hati kukeluarkan kentangnya.
“Bisakah kau bukakan foilnya, ini panas sekali”, pintaku hampir tak terdengar, karena aku masih gemetar.
Tanpa bicara kau bawa piringnya ke meja makan dan mulai membuka foilnya.
“Aku akan buat chili-nya. Harusnya tadi sambil menunggu kentangnya dipanggang, entah apa yang ada di kepalaku tadi”, kau meninggalkan aku sendiri di meja, lalu berkutat dengan chili-mu, yang kau bawa kembali sesaat kemudian.

“Coba icipi,” kau angsurkan sendok berlumur saus merah padaku.
“Kelihatannya pedas”.
Tidak terlalu ternyata.
“Aku minta maaf”, katamu sambil mulai makan.
“Untuk apa?”
“Yang barusan”
“Tidak perlu”
“Aku tak tahu apa yang melintas di kepalaku”
“Aku mengerti”

Dan kita melanjutkan makan dalam diam. Oh Tuhan, ini sungguh menyiksa. Aku bukan datang ke sini untuk begini. Aku sudah mempersiapkan diri untuk percakapan paling hangat yang akan pernah ada. Aku sudah menyiapkan canda, tawa. Dan semua itu lenyap begitu saja ketika kita akhirnya bertatap muka.
Gemuruh di dadaku terlalu kuat untuk kuredam. Menenggelamkan semua yang sudah kupersiapkan. Kentang di hadapanku sama sekali tak bisa kurasakan, tapi tetap kukatakan, “Enak”
“Siapa pun yang bikin rasanya akan sama. Ini sama sekali tidak butuh keahlian”, jawabmu datar.
Sama sekali bukan dirimu. Kau suka bicara detil, berapa menit harus di dalam microwave, bagaimana membungkusnya, hal-hal seperti itu... Ah, aku sungguh tak tahu apa yang kau rasakan. Apa yang kaupikirkan. Aku meraba betapa kita berdua sama-sama dimabuk rindu berkepanjangan. Yang meledak-ledak menunggu terlampiaskan. Tapi di saat yang sama kita tahu kita tak boleh lakukan. Karena kita telah berjanji untuk tidak pergi ke sana. Aku yang minta, dan kau mengiyakannya. Aku pikir aku akan dengan mudah menghadapinya. Tapi ternyata tidak sama sekali.

Tiba-tiba aku menyesal telah datang ke sini. Aku tak sanggup menanggung kebahagiaan yang terlalu berlimpah ini. Aku akan tenggelam di dalamnya... aku akan tenggelam...
“Rin...” kau membuyarkan lamunanku.
“Uh. Ya, Tom?”
“Kau baik-baik saja?”
“Uhmm.. ya.. kurasa”
“Kau seperti tidak sedang di sini”
“Apa maksudmu? Aku di sini, badan dan pikiranku”, aku tidak berbohong.
“Tapi sejujurnya”, lanjutku, “aku berharap aku berada di lain waktu dan tempat”
“Kenapa?”
“Aku takut melanggar janji, Tom”
“Aku hampir melakukannya, maaf”, kau menunduk, diam lagi. Diam lagi. Diam lagi.

Diam lagi.

Kentang di hadapanku telah habis entah ke mana. Aku sama sekali tidak merasa kenyang memakannya.
Aku berdiri membereskan piringku. Kutarik piringmu dan kubawa ke wastafel. Kucuci. Kukeringkan, dan kukembalikan ke rak. Aku ambil sebotol air putih dari kulkas dan membawanya bersama dua gelas kosong ke meja tempat kau masih terdiam di sana. Kutuang untukmu, dan untukku.

“Kau menyesal datang kemari?”, kau seperti bisa menebak pikiranku.
“Apa yang membuatmu berpikir begitu? Sama sekali tidak. Aku senang datang kemari. Bertemu denganmu. Melihatmu memasak. Mengobrol...”
“Omong kosong. Kita sama sekali tidak bisa menikmati pertemuan ini. Rin, aku... ini... tidak nyaman untukku”
“Kau benar, Tom. Ini menyiksaku”.

Perlahan kau raih tanganku. Kali ini kubiarkan. Juga ketika kau mengecupnya, aku tak berbuat apa-apa, toh sesaat akhirnya kau lepaskan juga.

“Aku masih mencintaimu, Rin”
Aku menunduk. Mempermainkan jari tanganku, mengetuk-ngetuk gelas.
“Kau berharap aku menjawab apa?”
“Tak usah kau jawab. Aku sudah tahu”
“Kau jangan sok tahu”
“Aku tahu. Kita berdua tahu. Dan kita juga tahu itu tak boleh”
Gelasku sudah kosong.
“Well. Makan malamnya sudah selesai. Sekarang apa?”, tanyaku.
“Tinggalkan aku...”

Aku terdiam. Memejamkan mata. Hatiku perih terasa diiris-iris. Ini sama sekali bukan yang kuharapkan ketika aku berangkat ke sini. Kepedihan ini. Kepedihan yang ditimbulkan oleh kebahagiaan dan mimpi yang tak teraih. Tak kusangka kita berdua tak sanggup menghadapinya. Bahkan kau yang selalu terdengar tegar dan menguasai diri, hancur oleh kenyataan ini. Kau benar, Tom. Seharusnya aku tidak kemari.

Aku berdiri, memandangmu yang masih tak mau memandangku. Hanya terpaku pada gelasmu. Aku melangkah ke pintu keluar. Berharap kau katakan sesuatu. Tapi kau tetap begitu. Bahkan ketika kubuka pintu dan siap melangkah keluar. Kau tetap begitu.

Aku berharap sekali lagi kau memintaku untuk tinggal, karena jika kau lakukan lagi, aku berjanji akan tinggal. Katakan, Tom. Katakan... Tapi kau tetap menunduk dan terdiam. Aku menunggu, dan kau tetap diam.

Dan kulangkahkan kaki keluar apartemenmu. Kututup pintu. Aku tidak langsung pergi. Aku tak bisa. Badan ini begitu tak berdaya. Hati ini hancur berkeping. Aku bersandar di pintumu, membiarkan tangisku pecah membanjiri wajahku. Sungguh aku berharap kau mendengarku, keluar dan meraihku dalam pelukmu.

Namun bisa kubayangkan kau di dalam sedang merasakan yang sama. Menderita dan hancur karena semua ini. Dan tak satu pun di antara kita sanggup menanggungnya. Betapa bodohnya aku mengira, bahwa dengan bertemu akan menyelesaikan masalahnya.

Sekuat tenaga kuseret langkahku menjauhimu. Dan kukatakan pada hatiku untuk menjauh dari hatimu. Tak peduli betapa sulitnya. Tak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkannya. Tak ada gunanya menyimpan secuil pun kenangan, yang akan membawa kembali kenangan-kenangan lainnya, dan menghancurkan kita karena tak bisa memiliki seutuhnya. Ingin kusalahkan orang tuaku yang telah menjodohkan aku, tapi aku tak mampu. Ingin kusalahkan kau yang tak membawaku lari saat itu juga, tapi aku tak bisa.

Malam berkabut. Hatiku juga. Aku pergi, dan kau boleh yakin aku berjanji, aku tak akan kembali.

Semarang, 26 Mei 2008

No comments: