Wednesday, May 21, 2008

reinkarnasi

*terinspirasi oleh kata-kata seseorang tentang ruang dan waktu. terima kasih.

Detik ketika mata kami beradu, waktu serasa berhenti berputar. Dan aku melihat ribuan kembang api berpendar di langit, menjadi latar belakang baginya, dan dia berjalan ke arahku dalam slow motion.
“Hai, saya Yusril”, dia mengulurkan tangan padaku.
“Kia”, sambutku.

Dalam hati aku masih merutuki orang yang telah membuatku berada di sini. Training pengolahan data kesehatan.
“Tapi, pak. Ini tentang kesehatan,” kataku.
“Iya, memang yang diolah data tentang kesehatan. Tapi yang penting di sini adalah menguasai komputer. Itu saja,” Pak Heru meyakinkan.
"Saya tidak terlalu menguasai komputer. Saya hanya bisa mengoperasikan komputer"
"Oh tidak apa-apa. Yang dibutuhkan memang bukan programmer. Programnya sudah jadi. Ini training untuk trainer operator pengolahan datanya"
Dia bukan atasanku langsung sebenarnya. Tapi kepala bagian sebelah, yang meminta kepala bagianku untuk mengijinkan aku mengikuti training ini, atas usulnya. Celakanya, (atau untungnya?) beliau mengijinkan. “Saya senang kalau bawahan saya bisa maju,” katanya. O yeah, of course.
“Mbak Ratna katanya mau berangkat,” aku masih mencoba mencari celah agar aku tidak berangkat. Lima hari. Kalau hanya satu dua hari aku akan dengan senang hati. Aku belum pernah meninggalkan Tiara anakku, selama itu.
“O , saya tahu. Begitu saya minta, saya yakin dia akan langsung berangkat. Tapi saya lebih mantap kalau dik Kia yang berangkat. Ini training tingkat nasional. Kita membawa nama baik lembaga, tidak mungkin saya meminta Ratna”
“Memangnya apa yang salah dengan Mbak Ratna?”
Tidak perlu dijawab.

Dan lihatlah apa yang terjadi di sini. Ini memang training pengolahan data. Tapi bukankah seharusnya kita mengerti komponen-komponen data yang akan kita olah? Materi pertama adalah menyamakan persepsi tentang hal komponen-komponen data. Kematian Ibu, kematian bayi, K1, K4, bumil, bufas...
Peserta yang hadir di sini adalah dokter, perawat, bidan, sarjana Kesehatan Masyarakat... Aku satu-satunya insinyur. Hampir sepanjang sesi aku diam membisu.
“Mbak Kia, kenapa diam saja. Ayo sampaikan apa yang Mbak pikirkan,” kata ketua kelompok diskusiku.
“Maaf pak, saya hanya sedang berusaha mencerna. Permasalahan ini terlalu rumit buat saya. Pengetahuan saya tentang hal ini terlalu dangkal. Bahkan sampai sedangkal ini lho”, aku membuat spasi 2cm dengan telunjuk dan ibu jariku, “K1 itu apa sih? Saya nggak ngerti apa itu K1, K4. Yang saya ngerti adalah K-225. Itu adalah beton dengan kekuatan tekan 225 kilogram per sentimeter persegi”.
Tidak ada yang bisa menahan tawa mengetahui hal ini. Dan sebuah panggilan mereka ciptakan untukku: Insinyur K1.

Makan siang hari kedua. Yusril sedang menikmati es cendol yang menjadi hidangan penutup kali ini.
“Kenapa makannya pakai tangan kiri?” tanyaku.
Jawabannya adalah seperti echo bagi jawaban yang sudah ada di kepalaku.
“Kurasa sebenarnya aku kidal. Tapi orang jaman dulu kan selalu orientasinya tangan kanan. Katanya kalau tangan kiri itu tidak bagus. Jadi ini seperti dipaksa. Akhirnya aku memang menulis dengan tangan kanan, dan hasilnya tulisanku jelek. Tapi aku main badminton pakai tangan kiri. Kalau aku harus mengerjakan pekerjaan berat seperti memalu, menggergaji, aku pakai tangan kiri”
“Menurutku terserah aja mau beraktivitas pakai tangan kiri. Tapi kalau makan harusnya tetep tangan kanan”
“Kalau makan, ada sendok dan garpu, sendok akan ada di kanan. Tapi kalau cuma sendok aja, dia akan ada di kiri” dia menunjukkan sendok kecil yang dia pegang.
Kau tidak perlu menjelaskan lagi. Aku sudah tahu.

Hari ketiga, selesai kunjungan lapangan ke Puskesmas dan ke desa, dalam lelah karena tadi harus berjalan cukup jauh mengunjungi beberapa bumil (yang ternyata artinya adalah ibu hamil..), kami harus langsung kembali ke kelas untuk mulai belajar memasukkan data. Kami membuka laptop masing-masing.
Sekilas aku melirik wallpaper di laptop Yusril. Foto keluarga. Dia, seorang perempuan cantik yang sedang menggendong anak perempuan yang kira-kira berumur 10 bulan, dan seorang anak laki-laki yang umurnya kira-kira 7 tahun sedang menunjukkan mainan pesawatnya dengan bangganya.
“Keluargamu?”
Yusril mengangguk. Ada yang aneh kurasakan. Yang ini aku tidak tahu. Sama sekali tidak terlintas di kepalaku tentang keluarga Yusril. Aku berusaha menunggu beberapa saat, barangkali pengetahuan tentang ini akan datang kemudian. Tapi itu tidak terjadi.

Makan malam.
Aku tahu dia akan mengambil udang.
“Makanan kesukaanku”, dia menunjukkan satu yang paling besar padaku.
“Aku tahu”
“Tahu dari mana?”
Ya, tahu dari mana? Tiba-tiba saja aku tahu. Aku tahu kau suka udang. Dan aku tahu kau suka sepakbola. Aku tahu tulang belikatmu cedera ketika bermain bulutangkis sehingga sekarang kau tidak bisa main lagi. Tapi aku tidak tahu aku tahu dari mana. Aku tahu, itu saja. Aku tahu semuanya. Kecuali namamu, aku baru tahu ketika kau menyebutkannya.

Malam hampir jam 12. Aku masih menonton TV yang disediakan di kamar hotel. Siaran TV nasional semua. Padahal katanya ini hotel bintang 2. Aku pernah ke hotel bintang 3 yang sudah dipasang TV kabel, sehingga bisa nonton CNN, AXN, HBO, Cartoon Network...
Kuraih remote dan kumatikan. Aku rebah berusaha tidur. Sebenarnya aku lelah sekali, tapi entah kenapa justru aku tidak bisa memejamkan mata. Aku memikirkan Yusril. Tidak, sebenarnya bukan Yusrilnya yang aku pikirkan. Tapi aku sendiri, yang bisa tahu segala tentang dia. Aku tidak mengerti bagaimana aku bisa tahu semuanya. Aku yakin belum pernah bertemu dengannya sebelumnya.
Bunyi HP mengejutkanku. Sindhu.
“Halo sayang, belum tidur?”
“Baru mau tidur. Barusan matiin TV. Mas belum tidur?”
“Bentar lagi, filmnya bagus. Capek?”
“Lumayan, hari ini kunjungan lapangan. Pake acara jalan-jalan”
“Ya sudah, istirahat aja. Met malam sayang”
“Malam”
Biasanya aku yang akan menelpon atau sms Sindhu lebih dulu. Malam ini aku keduluan. Hari ini terlalu padat, dan kepalaku terlalu penuh dengan ketidakmengertian tentang segala ke'tahu'anku tentang Yusril...

Hari terakhir. Wisata. Ke pantai. Tidak ada yang lebih kusukai dari pantai. Aku suka pantai. Terlebih yang bersih seperti ini. Yang membiarkan aku berjalan telanjang kaki di sepanjangnya. Merasakan lembutnya pasir, dan sapuan riak ombak menghantam lembut. Dan anginnya yang sejuk menrepa wajah, menerbangkan rambut. Kadang seolah ingin menerbangkanku, sehingga aku harus mencondongkan badan ke depan kalau sedang melawan arahnya, atau bertahan agar tidak terpuruk ke depan ketika berjalan searahnya.
Tapi kali ini kami duduk. Agak jauh dari air, di bawah pohon kelapa. Yusril di sampingku sedang memegang kaleng soda yang kami beli dari ibu-ibu setengah baya yang tampak kelelahan mengikuti kami menawarkan dagangannya.
“Kia, aku ingin menanyakan beberapa hal. Tapi sebelumnya aku minta maaf, mungkin kau tidak berkenan”
“Apa itu?”
“Apa kita pernah bertemu sebelumnya?”
“Kurasa tidak, kenapa?”
Dia terdiam sejenak, lalu melanjutkan.
“Di mana kau habiskan masa kecilmu?”
“Malang, kau?”
“Subang”, tentu saja. Seperti kemarin-kemarin ini hanya gema dari kata-kata yang sudah ada di kepalaku.
“Jadi kita bukan teman masa kecil”
“Aku rasa juga bukan”
“Tapi mengapa aku merasa sudah mengenalmu?”
Aku memandang ke arahnya. Melihat ke matanya, dan menemukan kebingungan seperti yang kurasakan.
“Benarkah? Mengapa kau merasa seperti itu?”
“Tiba-tiba saja aku tahu semua tentangmu. Aku tahu yang kau suka dan yang tidak kau suka. Aku tahu kebiasaanmu. Aku tahu semuanya. Ini agak menggangguku”
Aku diam.
“Kia, maaf, bolehkah aku melihat bagian belakang pundak kirimu?”
“Yus, kau tahu itu tidak pantas”
“Ya, ya, aku tahu. Maaf. Kalau begitu katakan saja padaku. Apakah di sana ada bekas luka, yang tak sengaja tersayat pisau ketika kau sedang main masak-masakan dengan kakakmu sewaktu kecil?”
Oh Tuhan. Apa yang sedang terjadi pada kami? Aku hanya menunduk. Aku merasa seolah seumur hidupku aku telah mengenal orang ini. Padahal baru beberapa hari yang lalu kami bertemu.
“Kia. Jawablah”
“Haruskah kujawab? Kurasa kau juga sudah tahu. Meski aku juga tidak mengerti bagaimana kau bisa tahu”
“Apakah kau juga merasakan keanehan ini?”
“Ya”
Untuk beberapa saat suasana hening. Kami tenggelam dalam pikiran masing-masing. Terjebak dalam pusaran ketidakmengertian. Teraduk-aduk dalam ketidakpahaman.
“Kia”
“Ya?”
“Aku ingin mengatakan ini tapi takut kau marah”
“Katakan saja. Aku rasa yang akan kau katakan pun juga ada di kepalaku”
“Entah kenapa aku merasa sudah mengenalmu. Sampai ke hal-hal kecil. Dan ini membingungkanku. Maksudku, kita benar-benar baru ketemu kemarin itu kan?”
“Kurasa kau tidak tahu semuanya tentang aku sampai ke hal-hal yang sekecil-kecilnya”
“Maksudmu?”
“Aku yakin pengetahuanmu tentang aku hanya sampai titik masa tertentu. Kau tidak tahu tentang suamiku, anakku. Kehidupanku setelah aku menikah...”
“Apakah itu juga yang...” tak dilanjutkannya kata-katanya, tidak perlu.
“Apa yang sedang terjadi Yus?”
“Aku tidak tahu. Aku tidak tahu. Dan yang paling membuatku tidak mengerti, sekaligus tidak nyaman adalah, perasaan bahwa, entah kapan, di suatu masa yang lalu, kau adalah.... istriku”
Aku memandangnya. Aku tidak menyangka dia akan sanggup mengatakannya.
“Aku hanya menikah satu kali. Dengan Sindhu suamiku sekarang”
“Aku tahu. Dan aku juga hanya menikah satu kali, dengan Dewi istriku sekarang. Aku hanya.... aku... aku tidak mengerti”
Tiba-tiba saja air mataku mengalir. Entah ini air mata apa. Ada kebahagiaan yang membuncah di hatiku. Kebahagiaan karena menemukan seseorang yang meninggalkanku ratusan tahun yang lalu. Ratusan tahun.... Umurku baru 27 dan aku merasakan kerinduan yang terbayar setelah terkubur ratusan tahun! Tapi di saat yang sama aku merasakan kepedihan tak terkira. Orang ini jelas bukan siapa-siapa. Dia hanya orang yang beberapa hari yang lalu datang mengulurkan tangan dan memperkenalkan diri kepadaku.
Dan kusandarkan kepalaku di dadanya. Kupejamkan mata. Tapi aku tidak tidur. aku bisa merasakan dia mencium rambutku. Mungkin dipikirnya aku tidur. Atau justru dia tahu aku tidak tidur, sehingga dia melakukannya? Aku tidak peduli. Aku hanya ingin berada dalam saat ini, yang aku tidak tahu apakah bisa kutemui lagi.
Besok aku akan kembali kepada Sindhu, dan melupakan semua ini. Dan aku akan terus membawa berjuta tanda tanya di kepalaku.
Tiba-tiba aku merindukan Sindhu...

No comments: