sms dari Han.
belum, aku masih klekaran di sini. mau jemput?
boleh. aku lagi cari sarapan di Ngesrep, habis main ke gombel. tunggu sebentar ya.
beja.
biasanya aku pulang harus jalan kaki dulu sekitar sekilo sampai ke jalan besar kalau mau pulang. di sini tidak ada ojek, dan aku tidak enak keseringan minta dianter suami mbak Atik, yang ngurusi sanggar. aku bisa saja mengacungkan tangan pada mobil atau motor yang lewat, numpang. tapi… ah, ngga keren blas. jalan sekilo aja kok pake nyegat kendaraan orang. aku bisa saja numpang peserta lain yang bawa motor atau mobil. tapi mereka biasanya langsung cabut begitu selesai kelas.
hari ini tidak ada mbak Endang, yang mungkin jadi penyebab tidak ada Evi GrEs, tidak ada Naning dan Evi SetBud. tidak ada gerombolan emak-emak sinting yang biasa betah ngobrol ngalor ngidul sambil ngetus keringet yang barusan sengaja diperas. padahal aku butuh ketemu mereka. seperti ayunan kaki dan tangan, dan lompatan, dan engkak- engkuk badan yang baru saja kami lakukan, dan musik menghentak yang menggetarkan kaca di sekeliling dinding kelas; aku membutuhkannya seperti mereka yang doyan alkohol menenggak minuman keras untuk sesaat membakar masalah di kepala.
jadi aku ngisis sendiri di samping jendela. mencoba menenangkan hatiku yang masih berantakan. aku memang sudah tidak menangis. mungkin air mataku telah habis keluar bersama keringat yang kualirkan setiap sore, mm… bisa kah? tapi aku masih belum bisa tersenyum, karena senyumku adalah palsu. tawaku dibuat-buat. dan aku masih belum bisa lagi bernyanyi, karena senandung yang keluar dari mulutku sesungguhnya adalah jeritan.
orang terakhir telah melambaikan tangan dan turun. aku menjejalkan lembaran baju senam yang basah dan bau ke ranselku. melongok sebentar ke arah parkiran, Han belum datang. tapi aku turun juga, harus membayar susu kotak yang tadi kupakai menenangkan perut yang belum puas dengan sebongkah donat.
ring ring…
‘ya… aku lagi mbayar, bentar ya..’
’sekalian beliin suara merdeka ya’
di mobil…
‘jadi dari tadi kamu belum ke kantor?’
‘belum, aku sudah pamit dan sekalian mengunjungi dealer gombel’
’sekarang kita pulang?’
‘lha kamu mau pulang atau mau ke mana?’
‘kamu ngga ke kantor?’
‘aku tetep ke kantor lah…’
‘katanya sudah pamit…’
‘pamit telat thok… bukan nggeblas sampai sore..’
yah, tiwas aku sudah seneng.
semangkuk soto di warung pak Niti, dan sebagasi penuh kasih sayang, mengisi perut dan hatiku, lalu kami pulang.
Han masih membaca koran sebentar. aku tengkurap di matras di depan tivi, ditindih Ar, dipeluk Ir, di dekat Ibit yang terpukau Oliver Twist.
sebuah kecupan di pipi membuatku membuka mata. menyadari tivi telah mati, anak-anak pergi menengok persiapan pentas wayang untuk apitan nanti malam.
‘aku berangkat..’
‘hmm..’
jam sebelas kurang seperempat. aku masih boleh merem seperempat jam lagi, sebelum masak sayur lodeh dan nggoreng tempe. toh aku cuma butuh 20 menit untuk itu.
hmm… hmmm…
No comments:
Post a Comment