Tuesday, December 23, 2008

Aku menggali keyakinanku (2)

Bisa kurasa nafasku tak lagi memburu. Dan jantungku tak lagi berpacu. Hanya peluhku masih mengalir, membasahi rambutku. Mengalir lewat di sela kedua mata, di tepi bibir, ke dagu. Bertemu dengan yang mengalir menyusur telinga. Menyatu dengan semua yang keluar dari seluruh pori-pori. Bercampur darah di kedua kaki. Perih.

Angin lembut meniup. Membawa pergi molekul demi molekul peluh dan air mata, mengeringkan darahku. Menyejukkan hati dan jiwa. Mengalunkan senandung kerinduan dan cinta. Membuai sukma yang penat berat.

Kupejam mata dan serasa tubuhku mengambang terayun perlahan. Kuhirup aroma bunga di udara. Tak lagi kurasa gelap pekat kabut dan dingin yang menusuk semula, tergantikan terang dan hawa hangat. Bagai bayi diemban bunda, bagi diri dibuai kekasih, aku terlena.

Inikah ia… kebahagiaan itu?

Braak!!! Aku jatuh terhempas di atas batu yang menjulang dari dasar jurang. Semua yang baru saja kurasa tiba-tiba hilang. Angin kembali menjadi dingin. Awan berkumpul menebal, hitam menghadang setiap cahaya yang coba menyentuhku. Setitik air jatuh di ujung hidungku. Lantas di dahiku. Pipi. Tangan. Rambut. Dan makin banyak lagi di sekujur tubuhku, hingga kusadar ini hujan.

Petir menggelegar dan air seperti ditumpahkan dari bejana maha besar. Badai kurasa. Karena angin menderu keras menerpaku yang tersungkur di atas batu. Menelungkup berpegang pada lekuk dan tonjolan kasarnya. Aku takut jika aku berdiri, angin akan menghempasku, atau petir menyambarku. Dingin air hujan seperti ribuan jarum menusuk tubuhku. Aku ingin berpeluk lututku sendiri mencari kehangatan. Tapi kedua tanganku harus berpegang atau aku akan terlempar masuk jurang.

Entah berapa lama aku bertahan. Tapi kemudian mendung menepi seiring hujan berhenti dan angin pergi. Kabut juga lari. Lalu muncul matahari yang seperti wajah smiley melemparkan senyum kepadaku. Menghangatkan lagi tubuh beku. Perasaan nyaman luar biasa setelah apa yang baru saja mendera.

Inikah ia… kebahagiaan itu?

Aku berdiri mendongak merentangkan kedua tanganku. Memejam mata menghayati setiap kehangatan yang merasuki pori-pori. Mengeringkan lagi badanku yang basah kuyup. Dan angin semilir sekali lagi menghembusku.

Kudengar lagi lagu cinta itu. Lembut, merayu. Menyunggingkan senyum di bibir yang lama terkatup butut. Membungakan lagi hati yang lama kering sepi. Menghidupkan lagi jiwa yang lama gersang mati.

Lalu kurasa hangat meningkat. Menjadi panas yang lambat laun semakin menyengat. Aku mulai berkeringat. Kukipas tangan mencoba menyejukkan, tapi aku tahu itu sia-sia. Karena panas tak berhenti merambat. Dan peluhku semakin deras membasahi lagi baju dan tubuhku.

Semakin lama panas bukan lagi hawa. Dia membakar. Laksana api yang melilit aku. Kurasa akan hangus tubuhku ini dalam beberapa waktu. Menggigit bibir sama sekali tidak membantu. Panasnya menyiksa, dan aku meronta, tapi tak berguna. Aku menjerit, berteriak, mengumpat, menyumpah. Tapi tetap tak membawa apa-apa.

Panas tak berhenti membakar. Aku pasrah. Ayo, hanguskan, musnahkan aku! Biar aku akan tahu inilah yang kudapat dari perjalananku melintasi jembatan sebatang meraih batu yang menjulang dari dasar jurang.

Aku sudah bersiap mati. Tapi matahari menjadi ramah lagi. Dan angin meniupkan kesejukan pagi. Membuatku mengira aku telah terbang ke atas awan, bersayap dan berlingkar emas di atas kepala. Maka kubuka mata dan aku masih saja, berdiri di ujung batu yang menjulang dari dasar jurang. Melihat terang namun teduh. Perasaan nyaman luar biasa setelah panas yang tak terkira mencabik tubuhku.

Inikah ia… kebahagiaan itu?

Udara berhenti di kecepatan nol. Temperatur berhenti di dua lima derajat celcius. Intensitas cahaya berhenti di100 candela.

Aku menunggu apa lagi yang akan terjadi. Siksa yang akan berakhir bahagia, untuk bersiklus lagi menjadi siksa dan bahagia dan siksa dan bahagia dan siksa dan bahagia…

Aku mengumpat pada hati dan keyakinanku. “Keparat, kau beri aku bahagia yang bersela derita… Atau derita bersela bahagia?”

No comments: