Masih dari tempatku berdiri, di tepi jurang kehancuran, gelap berkabut pekat. Dingin menggigit tulang. Sunyi sepi mencekam. Aku bisa saja memutar badan lalu kembali pulang. Tapi hatiku berkata jangan. Dia ingin aku melangkah meniti jembatan sebatang, menuju sebuah batu yang menjulang dari dasar jurang. Katanya di sana ada bahagia.
Aku masih ragu. Karena aku tidak tahu dari apa jembatan itu. Tidak tampak seberti batu, atau kayu. Kayu baru atau rapuh. Tidak seperti beton atau besi. Besi baru atau berkarat. Aku bahkan tidak tahu dia berselimut tanah atau debu, yang jelas itu membuatku tak bisa menduga.
Aku masih ragu. Benarkah ada kebahagiaan itu? Karena di sana tak kulihat apapun selain batu itu, tempat aku nanti akan berdiri di atasnya. Berselimut kabut, berlingkup dingin, berpeluk sepi. Apa? Siapa yang akan membawa kebahagiaan padaku? Aku takut hatiku menipu.
Lalu mulai kulangkahkan kakiku, perlahan. Setapak, dan aku maju. Dua tapak, dan aku mampu. Berkali aku berdesir, singunen setiap kali melirik ke bawah, dasarnya tidak nampak. Aku memilih mendongak, karena dengan begitu aku tak akan menyadari, ada jurang di kanan kiriku.
Ugh!! Apa ini yang menghantam dari kananku? Angin yang begitu kuat membantingku, aku terpelanting. Hatiku habis, jantungku berhenti berdetak. Tapi sesaat kemudian kusadari sebelah tanganku masih berpegang di jembatan sebatang, dan sisa tubuhku terayun menggelantung.
Kupejamkan mata rapat. Menggapaikan sebelah tanganku yang lain. Walau sudah kedua tanganku meraba, aku masih belum bisa mengatakan jembatan itu terbuat dari apa. Kasar, keras, dan menyengat tanganku, dengan suhu yang tak bisa kujelaskan – panas yang amat, atau dingin sangat. Beberapa saat aku terombang-ambing.
Sekuat tenaga kuangkat tubuhku. Kuayunkan kaki hingga bisa mengait jembatan sebatang. Susah payah, tapi akhirnya aku berhasil kembali berada di atas jembatan, menelungkup, mengatur nafas dan hatiku. Aku tidak mau berdiri lagi. Aku masih merasakan hembusan angin itu. Aku tidak mau jatuh lagi.
Aku kembali diliput ragu. Harus kembali atau maju. Karena kini aku berada di tengah perjalananku. Aku kembali dan perjuanganku sia-sia, atau terus dan entah akan mendapatkan apa.
Perlahan aku merangkak maju. Telapak tanganku mulai melepuh, dengkulku tersayat. Aku berpeluh, berdarah. Angin itu masih menghembusku. Terkadang lembut dan hangat menyeka letihku, membuatku melupakan semua kesakitanku. Terkadang keras menerpa, memaksaku berhenti dan erat berpegang.
….
Tangan kananku meraih. Tangan kiriku menggapai. Kaki kananku menapak. Kaki kiriku menjejak.
Aku berdiri di atas batu yang menjulang dari dasar jurang, mencari kebahagiaan yang dijanjikan hatiku.
Yogya Trip with Aik
4 years ago
No comments:
Post a Comment