Friday, December 12, 2008

"Aku bawa kondom di dompetku" (1)

Wid berhenti menciumi leherku, mengangkat kepalanya, menatapku.

“Gila kamu Er!”

“Tidak, justru karena aku masih waras”

Wid memandangku penuh tanya.

“Kamu dapat dari mana?”

“Beli, di apotik”

“Kamu berani?”

“Kenapa tidak?”

“Mereka tahu kamu belum menikah?”

“Mana kutahu? Mana mereka peduli? Beli kondom tidak perlu menunjukkan surat nikah, Wid”

Tubuh Wid yang tadi tegang tampak mengendur – juga kelelakiannya yang tadi terasa keras menekan di bawah perutku. Kepalanya tertunduk, matanya terpejam. Kubrengkal tubuhnya yang menindihku. Dia bangkit dan duduk di sebelahku. Diam.

“Justru lebih gila kalau aku membiarkan kita melakukannya tanpa kondom”

Wid masih diam. Menggeleng. Mendesah. Mengumpat. Lalu membetulkan celananya.

“Kamu membuatku tersinggung”, katanya sambil beringsut, pindah ke jok depan di belakang setir. Menyandarkan tubuh dan kepalanya, lalu mengacak-acak sendiri rambutnya.

Kukancingkan lagi braku, dan blusku. Kunaikkan celana dalam yang masih tersangkut di pergelangan kaki kiriku.

“Tersinggung? What have I done?”, tanyaku sambil merapikan rokku yang tersingkap. Wid tidak menjawab. Aku berpindah ke jok di sebelahnya. Wid memijat di antara dua matanya, seolah menahan pening yang luar biasa. Aku memandang ke luar, membuang mata di kegelapan tak berbatas.

Untuk beberapa saat kami terdiam, tenggelam dalam pikiran kami sendiri-sendiri. Sepi, Hanya ada nafas Wid yang masih naik turun. Bersahutan dengan dengkur mesin mobil, dan desah halus blower AC.

Aku tahu kenapa Wid merasa tersinggung.

Ketika memulai menjalin hubungan, aku dan Wid sudah berjanji untuk menjaga kesucian cinta kami, tidak mencampuradukkannya dengan nafsu. Awalnya terasa mudah. Kami sebisa mungkin menghindari kontak fisik, bahkan sekedar untuk bersentuhan.

Sampai suatu hari ketika kami pergi nonton. Di tengah film Wid meraih tanganku, dan entah kenapa kubiarkan. Tidak kusangka efeknya begitu dahsyat. Aku seperti dihempas gelombang rasa maha hebat. Genggaman tangan Wid menggetarkan seluruh tubuhku, mendentumkan genderang di jantungku. Keluar dari theater, Wid menggandeng tanganku, sampai ke mobil.

“Aku tetap akan menepati janjiku, Er”, katanya waktu itu, “aku lebih takut kehilangan kamu, dari pada membiarkan nafsu liarku”

“Aku percaya, Wid. Terima kasih”

Tapi siapa yang bisa menjamin janji kami tak ternodai? Karena Wid lantas berani mencium keningku setiap kali mengantarku pulang. Dan aku mencium pipinya, dan itu terasa indah. Lalu gairah seperti mbedah. Ketika bibir beradu dalam kecupan kecil, rasanya seperti tersengat listrik 1000watt, dan nagih.

*bersambung*

No comments: